Sejarah klenteng STS sampai 4 generasi, dari Senen ke Sunter
dilaporkan: Setiawan Liu
Jakarta, 28 Agustus 2022/Indonesia Media – Klenteng di pecinan Segitiga Senen (STS) seberang Pasar Senen, Jakarta Pusat dibangun pada tahun 1826 oleh alm. Thio Kie Cin, yang sampai sekarang (per Agustus 2022) diturunkan kepada cicitnya, yakni Djaya Gunawan atau Ang Kim Giok (82). Kawasan pecinan STS akhirnya diremajakan pada tahun 1988 – 1989. Sehingga seluruh penghuni termasuk keluarga Thio Kie Cin harus pindah. “Waktu Gubernur DKI masih dijabat R. Soeprapto (1982–1987), semua warga sudah diberitahu mengenai rencana peremajaan. Lalu (pembongkaran) semasa pemerintahan Wiyogo Atmodarminto,” Djaya Gunawan mengatakan kepada Redaksi.
Silsilah keluarga Thio Kie Cin; punya anak namanya Thio Kang Ho. Lalu Thio Kang Ho menikah dan punya anak, namanya Thio Boan Nio, yang menikah dgn Ang Soei Cuan (Bapak Djaya). Tio Boen Nio dan menikah dengan Ang Soei Cuan, punya anak, Djaya Gunawan (Ang Kim Giok). Pemerintah dan warga sempat membentuk panitia pembongkaran dan pembangunan Wihara STS. “Saya ditunjuk sebagai ketua tim (pembongkaran dan pembangunan). Warga lain nggak berkenan. Alasan lain, saya adalah cicit dari Thio Kie Cin, sehingga wajar mengetuai tim pembongkaran dan pembangunan Wihara,” kata Djaya Gunawan.
Panitia dan keluarga Thio Kie Cin mendapat bantuan pemerintah DKI Jakarta, senilai Rp 32.500.000 (tiga puluh dua juta, lima ratus ribu rupiah). Bantuan tersebut bagian dari sistem tukar guling tanah klenteng STS. Pemerintah DKI Jakarta dan pihak developer sudah tidak bisa menunggu lama untuk pembangunan Graha Atrium, Plaza Atrium di lokasi bekas pecinan STS Senen Jakarta Pusat (Jakpus). “Kami ditawarkan lokasi di Sunter, tepatnya Jl. Sunter Agung Utara. Saya jalani apa adanya. Seiring waktu, proses pembangunan Wihara STS (di Sunter) ternyata banyak yang dukung, terutama umat-umat Buddha,” kata pemilik nama Visuddhi Tisarana, SN Vajra.
Hitung-hitungan ongkos ganti ruginya, tanahnya saja Rp 25.000 per meter persegi. kavling 15 x 6 meter yang harganya setara Rp 25 ribu sebagai tukar guling aset. Panitia pembangunan wihara juga dikasih 40 x 40 atau sekitar 1600 meter persegi. Semua surat-surat, waktu pembongkaran diurus pemerintah DKI dan developer. IMB (Izin Mendirikan Bangunan) Wihara di Sunter juga langsung disetujui oleh gubernur R. Soeprapto, Wiyogo Atmodarminto. “Kami bangun sendiri dari uang ganti rugi sebesar Rp 32.500.000 sampai akhirnya diresmikan pada tanggal 3 Agustus 1991 oleh Sangha Mahayana Indonesia dan Ditjen Bimas (bimbingan masyarakat) Buddha, Kementerian Agama. Sejak saya ditunjuk sebagai ketua tim dan proses pembangunan Wihara, saya sempat ragu. Karena kondisi (lingkungan) Klenteng yang di Senen (Jakpus) berbeda dengan yang di Sunter (Jakarta Utara). Lokasi lama, kan terbuka. Kalau Wihara yang sekarang (Sunter, Jakarta Utara) masuk ke dalam komplek,” kata Djaya.
Kegiatan persembahyangan diurus oleh tiga generasi sejak Thio Kie Cin masih ada. Setelah anak, cucunya, yakni Thio Kang Ho dan anak perempuannya, Thio Boan Nio meninggal, Djaya Gunawan menjadi tumpuan kelanjutan persembahyangan. Beberapa patung Buddha, ornamen bangunan, meja-meja antik kuno dengan aksara Tionghoa masih disimpan di gudang. Atmosphere Klenteng yang dibangun thn 1826 dan pindah ke Sunter Jakut sejak 31 tahun yang lalu, masih ‘terlihat’ secara batiniah. Tahun 1977, Djaya masih berumur 37 tahun berinisiatif gelar kebaktian Mahayana pertama kalinya. Ia mengajak anak-anak keluarga Tionghoa yang tinggal di STS Senen Jakpus untuk ikut kebaktian. “Sejak pembongkaran (STS di Senen Jakpus) 32 tahun yang lalu, saya masih ingat kondisi bangunan. Kebanyakan, semua (bahan bangunan) kapur dan batu bata. Tidak ada semen. Saya kan ikut bongkar pasang. Saya dagang di Senen, klenteng kan dekat dengan toko saya, saya bolak-balik klenteng – Toko. Bongkar bahan-bahannya, lalu dibawa ke Sunter. Kalau ada (bahan bangunan bekas klenteng di STS Senen) yang kuat, dimanfaatkan lagi,” kata Djaya. (sl/IM)