Pedagang kopi di Senen, antara sejarah kebakaran dan selera pelanggan
dilaporkan: Setiawan Liu
Jakarta, 1 Oktober 2022/Indonesia Media – Pedagang kopi di Pasar Senen Blok III, Jakarta Pusat legendaris Djaya Gunawan atau Ang Kim Giok (82) mengaku tidak trauma dengan kebakaran berulang kali dalam sejarah termasuk pada era Gubernur alm. Ali Sadikin (1966–1977) hingga terakhir tahun 2016 lalu. Runutan kebakaran; 15 Januari 1974, 23 November 1996, 27 Januari 2003, 15 November 2016 sampai Januari 2017, yang secara keseluruhan 10 kali insiden. Sampai akhirnya Pasar Senen Blok III akhirnya selesai direnovasi dan kembali menampung 3.531 pedagang sejak Januari 2018. “(akibat kebakaran) masih ada sisa-sisa (bekas) toko, tapi bagian belakangnya. Toko saya pas di depan gardu listrik di terminal Senen. Saya masih kenali (bekas reruntuhan kios pasar), karena lokasinya di ujung pintu masuk terminal bus kota, busway,” Djaya mengatakan kepada Redaksi.
Runutan sejarah berdagang kopi di Pasar Senen lama dan sekarang, termasuk pengubahan merek kiosnya. Karena sudah 45 tahun beraktivitas di Senen, ia sempat buka kios di Blok III, IV dan V. Kiosnya dikenal pelanggan dengan merek ‘Seluruh Kawan’. Setelah insiden tahun 1996, kiosnya habis terbakar. Ia membangun kembali tapi mengambil keputusan untuk ganti merek kios/toko dengan nama ‘Kopi Nusantara’. “Karena merek baru untuk memberi nuansa baru paska kebakaran. Saya tetap semangat berjualan kopi, bukan hanya beragam jenis kopi dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, tapi juga maraknya berdiri café-café sekarang ini terutama di Jakarta. Indonesia juga lumbungnya kopi,” kata Djaya.
Selama 45 tahun dagang kopi, ia melihat budaya minum kopi orang Indonesia tidak lepas dari selera masing-masing. Kopi bukan hanya sebatas khas Arabica dan robusta. Tetapi setiap daerah di Indonesia, termasuk Gayo (Aceh), Toraja, Pangalengan Jawa Barat sampai Wamena (Jayapura, Papua). Beberapa pelanggan bisa langsung tahu kalau kopinya diganti. Karena perbedaan selera dan cicipan (terhadap kopi dari daerah tertentu) bisa dirasakan. “Beberapa pelanggan yang biasa minum kopi robusta, sering kali menolak kalau dikasih Arabica. Walaupun Arabica lebih mahal, tapi selera dan cicipannya belum tentu bisa terima,” kata Djaya.
Sebagian besar pelanggannya berasal dari Jakarta dan sekitarnya, terutama Depok, Bekasi dan lain sebagainya. Pasokan kopi dari berbagai daerah, termasuk daerah dataran rendah seperti pulau Bangka. Ada juga pasokan bukan dari pabrik atau perusahaan kopi, melainkan perorangan. Contohnya kopi Wamena yang dibawa secara hand-carry dari Papua. “Mungkin dia (supplier kopi Wamena) hanya sambilan, atau pas kebetulan berkunjung ke Jakarta. Dia menawarkan kopi Wamena, tapi saya tidak bisa beli dalam jumlah banyak. Karena harga kopi Wamena lebih mahal dibanding kopi lain, misalkan Sidikalang arabica. Kopi Wamena, ada dua-duanya robusta dan Arabica. Karena lebih mahal, jarang ada yang mau beli kopi Wamena,” kata pengurus Yayasan Wihara Dharma Jaya komplek STS Sunter Jakarta utara. (sl/IM)