Bulan Mei bagi Indonesia merupakan bulan yang penuh peringatan. Begitu saya membuka
kalender Bulan Mei 2014 ini perhatian saya langsung tertuju pada banyaknya tanggalan merah (hari libur
nasional) yang bertengger di tengah-tengah minggu kerja. Ada hari buruh internasional (tanggal 1, hari
Kamis), hari Waisak (15, Kamis), Isra’ Miraj (27, Selasa) dan hari Kenaikan Yesus Kristus (29, Kamis).
Otomatis Bulan Mei ini banyak terjadi harpitnas (hari kejepit nasional, yaitu satu hari kerja yang diapit
dua hari libur.
Di samping hari-hari libur tersebut Bulan Mei di Indonesia juga banyak hari-hari peringatan
penting yang mestinya memperoleh perhatian yang sama besarnya. Tanggal 2 merupakan Hari
Pendidikan Nasional dan tanggal 20 merupakan Hari Kebangkitan Nasional. Tidak lupa juga Bulan Mei
merupakan Bulan Reformasi bagi Bangsa Indonesia dengan terjadinya kerusuhan sosial dan runtuhnya
Orde Baru di tahun 1998.
Apabila kita menggunakan Mei 1998 sebagai titik awal dari perubahan bangsa dan negara
Indonesia, maka sudah 16 tahun masa reformasi ini berjalan. Apakah kita sudah dalam kondisi yang
lebih baik dari masa Orde Baru? Atau apakah kita justru tersesat dan kehilangan arah pembangunan
sehingga membuat kondisi masyarakat menjadi lebih buruh dan lebih rapuh daripada orde sebelumnya?
Jawabannya bisa diperdebatkan dengan sengit tanpa batas waktu yang jelas.
Yang pasti di Bulan Mei tahun 2014 ini Indonesia sedang berada di persimpangan jalan arah
pemerintahan negara selanjutnya. Sudah terasa tanda-tanda bahwa hanya akan ada dua kubu yang maju ke
babak pemilihan presiden: Kubu Jokowi dan kubu lainnya (bisa Prabowo, bisa Aburizal Bakrie). Adanya
dinamika di dalam tubuh Golkar menyebabkan posisi Prabowo lebih kuat daripada posisi Aburizal Bakrie
untuk maju menjadi calon presiden dalam Pemilu bulan Juli mendatang.
Walaupun pemilihan presiden ini merupakan topik yang sangat hangat untuk diperbincangkan,
beberapa kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur baru-baru ini mengalihkan
perhatian publik dari pentas politik. Adanya tindak kejahatan pelecehan seksual terhadap anak-
anak TK yang terorganisasi di Jakarta International School (JIS) dan kasus sodomi terhadap puluhan
anak di Sukabumi (kabar terakhir dicurigai 70 lebih anak telah menjadi korbannya) menggemparkan
seluruh lapisan masyarakat. Kita disadarkan bahwa pendidikan dan perlindungan anak tidak bisa hanya
diserahkan kepada pihak sekolah. Pihak keluarga harus secara proaktif menjadi pihak pendidik utama dari
anak-anaknya.
Namun dengan kondisi ekonomi yang semakin sulit, jumlah waktu dan tenaga yang bisa
dialokasikan oleh orang tua untuk melakukan fungsi pendidik anak semakin berkurang. Para buruh mesti
kerja seharian untuk memperoleh penghidupan yang pas-pasan. Pendapatan yang pas-pasan ini membuat
para buruh mesti mencari jalan alternatif untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
Sebagian ada yang menjadi TKI/TKW ke luar negeri. Memang mereka bisa memperoleh
pendapatan yang lebih besar, tapi itu juga berarti fungsi mereka sebagai pendidik utama anak-anak
mereka juga hilang. Saya tidak akan terkejut apabila yang menjadi pelaku kejahatan pelecehan seksual
terhadap anak-anak dan para korbannya datang dari keluarga yang fungsi orang tua mereka sebagai
pendidik tidak ada atau sangat minim sekali.
Gagalnya pendidikan bagi anak-anak para buruh dan karyawan ini membentuk lingkaran setan
bagi kehidupan keluarga mereka. Mereka tidak akan mampu untuk memperbaiki kehidupan mereka
melalui generasi keluarga mereka selanjutnya. Anak-anak mereka akan kalah bersaing dengan anak-anak
lainnya yang memperoleh akses dan kualitas pendidikan yang jauh lebih baik.
Dilihat dari sudut pandang ini 16 tahun masa reformasi belum dapat menghasilkan kondisi bangsa
dan negara yang lebih baik. Para buruh memang berhasil memperoleh hari libur di peringatan hari buruh
internasional. Tapi perjuangan mereka untuk memperbaiki nasib tidak bisa digantungkan pada kenaikan
upah atau penghapusan sistem kerja outsourcing. Pendidikan bagi anak-anak mereka juga memegang
faktor yang penting agar perjuangan orang tuanya menuai hasil dan anak-anaknya tidak terjebak menjadi
[Type text]
buruh dengan upah murah lagi.
Di Indonesia Hari Pendidikan Nasional diperingati sehari setelah Hari Buruh Internasional.
Hal ini bisa dijadikan peringatan bagi kaum buruh bahwa perjuangan perbaikan nasib buruh juga butuh
pendidikan yang memadai. Tanpa pendidikan yang memadai bagi kaum buruh dan seluruh rakyat
Indonesia, masa reformasi ini tidak akan mampu merubah kehidupan bangsa dan negara kea rah yang
lebih baik. Akibatnya, demokrasi masih dimengerti sebagai pihak dengan suara terbanyak sebagai pihak
yang benar, dan DPR menjadi badan legislatif yang impoten untuk membuat undang-undang. Anggota
DPR yang dipilih dan didemo agar memikirkan nasib para buruh kebanyakan gagal menyalurkan aspirasi
para buruh tersebut.
Gerakan Reformasi Indonesia semestinya menjadi motor kebangkitan nasional Indonesia untuk
menjadi bangsa dan negara yang lebih kuat dan lebih maju. Hari-hari penting di bulan Mei di Indonesia
mengingatkan kita akan pentingnya posisi buruh, pendidikan bangsa dan pengorbanan yang terjadi
dalam gerakan reformasi. Saat ini kita butuh lebih banyak langkah-langkah kongkret terhadap ketiga hal
tersebut. Jangan sampai bulan Mei di tahun-tahun mendatang kita memperingati hari-hari penting tersebut
dengan perasaan hampa. (RO – Twitter: @iamwongkampung)
ternyata Reformasi Lebih Buruk dari pada Orde Baru, keadaan Indonesia semakin semrawut terutama Korupsi semakin Mel;uas dan Bebas di Indonesia ini