Pembunuhan Cina di Batavia: Wiranto vs Prabowo versi 1740


Tragedi Mei 1998 yang membawa banyak korban di kalangan keturunan Tionghoa sering disamakan dengan pembunuhan orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740. Benarkah demikian?

Bukankah, berlainan dengan tragedi Mei 1998 yang menyulut kejatuhan rezim orde baru, peristiwa dua abad sebelumnya tidak menyebabkan pergantian rezim. Waktu itu Belanda justru makin berkuasa di Nusantara.

Perebutan kekuasaan
Walaupun tidak langsung meneliti persamaan dua peristiwa berdarah itu, Widjajanti Dharmowijono tetap melihat paralel antara peristiwa berdarah 1740 dengan kejadian serupa tahun 1998. Misalnya pada tahun 1740 di Batavia terjadi perebutan kekuasaan antara Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier dengan pendahulunya Gustaaf van Imhoff yang datang lagi ke Batavia setelah menyelesaikan jabatan gubernur jenderal di Ceylon, sekarang Sri Lanka.

Pada tahun 1998 bisa dikatakan juga terjadi perebutan kekuasaan antara dua pembesar ABRI yaitu Pangab Jenderal Wiranto dengan Danjen Kopassus Letjen Prabowo Subianto. Dan korban konflik macam ini sudah jelas, itulah rakyat kecil, termasuk kalangan Tionghoa. Maklum, kalau dua gajah berlaga maka pelanduk pasti akan mati di tengahnya.

Dalam disertasinya untuk memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra pada Universiteit van Amstedam, Widjajanti yang keturunan Tionghoa melihat bahwa sejarah memang telah berulang. Ia menggunakan istilah bahasa Prancis déjà vu, yang arti harafiahnya “sudah pernah lihat.” Tetapi patut dicatat zaman Reformasi telah membawa perbaikan pada posisi keturunan Tionghoa di Indonesia. Karena itu kesempatan sejarah akan berulang memang mengecil, walaupun orang harus tetap waspada.

Berikut bincang-bincang bagian terakhir dengan Widjajanti Dharmowijono setelah mempertahankan disertasinya akhir Oktober 2009 di Amsterdam.

Unduh

Ogah baca? Dengar/unduh versi audionya dengan mengklik ujung tanda panah berikut:

Radio Nederland [RNW]: Salah satu hal yang juga dibahas dalam bukunya ibu Widjajanti ini adalah pembunuhan orang Tionghoa di Batavia tahun 1740, pada bagian akhir buku itu ditulis bahwa anda mengalami semacam déjà vu, kok rasanya seperti yang saya alami sendiri pada tahun 1998. Bagaimana itu bisa dikatakan déjà vu, berulang kembali?

Kasak kusuk
Widjajanti Dharmowijono
[WD]: Kalau déjà vunya itu saya alami waktu membaca terutama novel yang ditulis oleh Simon Franke mengenai Fa. Fa itu seorang perempuan keturunan Cina yang tinggal di Batavia kuno, ya sekitar tahun 1740an itu. Dan Simon Franke ini dengan apik sekali melukiskan bagaimana perasaan dan ketakutan si Fa ini menghadapi suasana kasak kusuk.

Jadi dia tidak tahu sebetulnya apa yang akan terjadi. Tapi dia merasa ada suasana yang tidak enak. Yang dia dengar di daun-daun berdesik. Yang dia rasakan melihat dari pintu dan sebagainya. Melongok dari pintu. Tapi dia tidak bisa mengetahui dengan yakin apa gitu yang akan terjadi. Tapi dia tahu, punya perasaan dan dia mendengar pasti akan terjadi sesuatu yang kurang baik untuk orang Tionghoa, orang Cina pada waktu itu.

Dan saya juga punya perasaan seperti itu, tahun 1998. Padahal di Semarang, tempat saya tinggal, kan tidak terjadi apa-apa. Cuma, sebelumnya kan ada kejadian macam-macam. Ada pembakaran klentenglah, dan sebagainya, pembunuhan orang Cina juga ada. Ada peristiwa yang satu orang, satu orang, melibatkan beberapa orang kelompok-kelompok kecil itu, dan saya mempunyai perasaan yang ketakutan juga sih. Kok diekspresikan dengan begitu tepat dalam romannya Simon Franke, tahun 1947 ditulisnya. Jadi waktu itu Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya, tapi orang Belandanya masih mau nggondhèli (memegang) terus kan?

RNW: Kalau saya baca bukunya Ibu Widjajanti, saya juga melihat tahun 1740 itu kan ada perebutan kekuasaan antara Gubernur Jenderal Valckenier dengan bekas gubernur jenderal satunya Van Imhoff. Kemudian tahun 1998 juga akan pertarungan kekuasaan antara Wiranto dan Prabowo.

Van Imhoff dan Valckenier
WD
: Betul. Ya, ini tentunya tidak saya tulis dalam disertasi saya. Saya menamakan dua orang yang anda sebut itu sebagai Van Imhoff tahun 1998 dan Valckenier 1998, karena kok saya lihat banyak sekali persamaannya. Dan juga keadaannya pada waktu itu, kalau di Jakarta itu kan selama berhari-hari, tiga hari. Dan keadaan itu dibiarkan, seperti sama sekali tidak ada yang akan menenangkan atau yang berusaha untuk mengatasi situasi. Polisi tidak ada, tentaranya entah ke mana.

Nah, kan sama dengan yang 1740. Cuma yang 1740 lebih lama lagi. Dan orang waktu itu dengan enaknya bisa menjarah, mengambil segala sesuatu. Dan ada satu yang sangat mencolok yaitu tahun 1998, itu juga ada beberapa orang Cina yang dituduh menimbun entah itu beras, entah itu bahan bakar, sembako. Dan itu juga tertulis dalam novelnya Simon Franke bahwa orang Cina itu dituduh menimbun beras. Dalam hal itu jelas beras. Sehingga orang Eropanya, orang Belanda terutama, sampai kelaparan, katanya. Lha kok sama, saya pikir.

RNW: Déjà vu, banyak hal yang sama, pelajaran yang kita bisa tarik dari dua peristiwa bersejarah ini apa?

WD: Yang tadi saya belun cerita adalah bahwa dalam novelnya Simon Franke yang tadi saya cerita mengenai Fa, adalah bahwa dari orang Cina itu diciptakan suatu vijand beeld, suatu citra musuh. Jadi dalam kafe-kafe, zaman dulu sudah ada kafe lho ya, tahun 1740 yang araknya nota bene diproduksi orang Cina, tapi yang datang di sana itu mantan pegawai VOC yang minum-minum, enggak ada pekerjaan. Mereka minum-minum di sana, dan mereka cerita. Kamu sudah denger enggak orang Cina si A menimbun beras; orang Cina B gini, orang Cina C gitu. Jadi mereka itu sudah bunuh-bunuhan lho orang Cina itu. Jadi mereka, di antara mereka sendiri, menciptakan satu vijand beeld, atau satu citra musuh yang kemudian dipercaya dan disebar-sebarkan.

Sama dengan tahun 1998. Dalam hal itu bukan di kafe, tapi di koran. Saya lihat banyak sekali surat kabar, ya seringlah yang menyatakan bahwa itu ada lagi orang Cina yang ketemu dan menimbun sembako atau apa. Jadi, sama. Saya lihat juga banyak sekali persamaannya dalam hal itu.

RNW: Apa yang kita bisa pelajari kalau begitu? Dalam rangka misalnya, supaya sejarah tidak berulang?

Merobek-robek
WD
: Ya, ya. Itu memang, memang saya antara lain ingin menulis buku itu, karena mungkin naif ya saya, tapi saya ingin orang belajar dari sejarah. Dan sejarah itu sebagian termuat dalam disertasi saya. Yaitu bahwa orang mbok ya jangan percaya gitu lho, kalau ada gosip-gosip, isyu-isyu, itu jangan terlalu cepat percaya. Karena kalau saya lihat itu semua kejadian yang menimpa orang Cina, itu berangkatnya dari isyu.

Misalnya saya lupa, itu di Pekalongan atau di mana, dan kapan, tahun 1997 atau 1998, dikatakan ada orang Cina yang merobek-robek Al Qur’an misalnya. Belum tentu benar kan? Tapi orang percaya lalu toko-toko orang Cina dirusak semua. Nah, seperti itu kepingin sekali saya ajari, kalau bisa. Masyarakat supaya jangan terlalu cepat percaya isyu-isyu seperti itu. Karena nanti jadinya seperti tahun 1740.

RNW: 1740 mungkin agak lain, masyarakat waktu itu kan belum begitu maju. Tapi 1998 kan terjadi ketika sebenarnya tidak ada kebebasan. Seberapa jauh kemudian faktor kebebasan ini juga bisa katakanlah mencerdaskan masyarakat supaya tidak percaya pada hal-hal yang sebenarnya omong kosong saja, atau sebenarnya tidak ada buktinya.

WD: Ya, saya kira itu faktornya luar biasa pentingnya. Saya lihat sesudah tahun 2000 lah ya, itu makin cerdas sebetulnya orang Indonesia. Tidak cepat percaya, tidak terlalu cepat emosi dan saya kira kalau bisa terus seperti itu ya tidak ada lagi problem untuk siapapun, tidak untuk orang Cina, tidak untuk orang Melayu atau orang Dayak dan sebagainya.

Dimasuki rokok
Misalnya kejadian yang berlangsung di Kalimantan itu kan juga parah sekali. Pada waktu itu saya menjadi koresponden wereldnet, dan saya cerita. Karena saya melihat gambar atau foto yang sangat berkesan, sampai saya berhari-hari bermalam-malam endak bisa tidur. Salah satu yang bertikai itu mengangkat kepala, kepala saja, dari kelompok yang lainnya. Kemudian kelihatan kepalanya aja dan lubang hidungnya itu dimasuki rokok. Nah, itu kan sangat keterlaluan sekali. Saya endak tahan sekali lihat fotonya.

RNW: Ditarik ke zaman sekarang saja ya. Kalau kita melihat posisi kalangan Tionghoa di Indonesia zaman sekarang. Imlek sudah merupakan hari libur nasional, aksara Cina sudah boleh dipakai di mana-mana. Bahkan juga bayi-bayi yang lahir sudah boleh lagi pakai nama Tionghoanya. Sepintas ini kayaknya perkembangan positif ini.

WD: Ya, perkembangan positif, asal kedua pihak tahu diri. Tidak hanya yang, ya kita hidup di Jawa, jadi Jawa, gitu ya. Sebetulnya saya tidak suka mengatakan pribumi dan sebagainya, tapi yang jelas kedua pihak itu harus tahu diri. Ya orang Tionghoanya juga, tentunya. Jangan pethitha pethithi (sok, red.), pamer mobil dsb. Ya mereka harus tahu sendirilah kalau hal itu tidak disukai. Dan saya selalu menginginkan bahwa orang Tionghoa itu mengerti bahwa dia itu mewakili orang Tionghoa lainnya.

Saya sebagai orang Tionghoa itu selalu mengingat itu, karena ajaran orang tua saya. Pokoknya kamu jangan mencolok, jangan macem-macem di tengah-tengah orang banyak, karena kamu dianggap sebagai wakil dari satu kelompok, kelompok peranakan Tionghoa, kelompok Tionghoa. Jadi kalau itu umpak-umpakan, nanti semuanya kena.

Punya hak
RNW: Kalau melihat perkembangan belakangan, tampaknya Indonesia sudah berhasil menanggalkan warisan kolonial dan salah satunya adalah penggolongan berdasarkan ras ini. Tapi pelajaran apa yang Ibu Widjajanti dapatkan dari menulis disertasi, menulis buku ini?

WD: Saya terutama ingin bahwa orang Tionghoapun, atau orang keturunan Tionghoa mengetahui bahwa nenek moyang mereka, itu sangat berani dan sangat banyak sumbangannya terhadap Indonesia. Jadi mereka, artinya generasi saya dan generasi anak-anak saya, tahu bahwa merekapun mempunyai hak atas yang namanya tanah Indonesia. Karena selama ini kan terhadap mereka selalu dikatakan, ya kamu itu orang asing, pendatang dan sebagainya. Sudah mubazir ya, kalau menurut saya. Sudah ketinggalan zaman. Sudah bergenerasi-generasi. Saya ini generasi ke delapan yang lahir di Indonesia. Indonesia ya sudah negara saya.

Tapi saya sedih melihat bahwa banyak orang Tionghoa peranakan Tionghoa yang tidak tahu sejarah mereka sendiri. Tadi saja saya ketemu seorang teman yang saya kenal dari kecil, katanya saya senang sekali membaca terutama sejarahnya, bab ketiga disertasi saya. Di situ saya menulis tentang peranan orang Tionghoa dalam sejarah Indonesia. Dan ternyata cukup banyak andilnya. Itu saya saya ingin bahwa semua orang Tionghoa itu tahu. Jadi dia pertama merasa bangga, tapi tidak arogan. Dia tahu bahwa, oh ya, orang tua saya atau nenek moyang saya itu memang berbuat cukup banyak untuk Indonesia. Dan ini negara saya juga.

Dagang terus
Tapi di pihak lain juga saya ingin orang Tionghoa tidak hanya terus berkutat pada bidang dagang terus. Kan cukup banyak bidang yang sekarang terbuka untuk orang Tionghoa. mBok ya jangan tahunya dagang, gitu lho. Kalaupun dagang ya dagang yang baik.

RNW: Jadi tentara?

WD: Jadi tentara ya kenapa tidak, ya?

RNW: Masih ada hal lain yang mungkin saya luput, tapi ingin dikatakan oleh Ibu Widjajanti?

WD: Ya mungkin terutama kebanggaan itu ya. Dari kedua pihak itu harus ada apresiasi terhadap yang lainnya. Orang Indonesia, saya katakan orang Indonesia, tapi yang saya maksud orang non-Cina, katakanlah. Orang non-Cina itu harus mempunyai waardering, apresiasi untuk orang yang Cina. Tapi sebaliknya juga demikian. Jangan menganggap bahwa orang Cina itu lebih tinggi, atau lebih gimana dibandingkan dengan orang yang non-Cina. Namanya kita punya negara sama-sama. Kalau kita memang serumah, orang yang serumah, ya harus akurlah. Indonesia itu memang merupakan rumah kita bersama. Ya, harus akur.

RNW: Terima kasih banyak, ibu Widjajanti.

WD: Terima kasih kembali, saya senang sekali berbincang-bincang dengan anda.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *