“Kami yang Menanti Keadilan”


Mugiyanto (korban penculikan) Penyintas Peristiwa Penculikan Aktivis Tahun 1998; Kini Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) di Opini Kompas, 24 Mei 2014, hari ini cukup menarik, membuka kebohongan kebohongan Prabowo, Kivlan Zen, Fadli Zon…

 

HAMPIR selama sebulan terakhir, wacana di media mengenai calon presiden untuk Pemilu Presiden 2014 sangat kental diwarnai isu pelanggaran HAM, khususnya terkait kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi tahun 1997-1998.

 

Ada tiga alasan yang melatarbelakangi hal ini. Pertama, salah satu capres potensial, Prabowo Subianto, diduga kuat terlibat dalam beberapa pelanggaran hak asasi manusia pada masa Orde Baru, terutama kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis.

 

Kedua, saat ini adalah bulan Mei yang 16 tahun lalu ditandai momentum-momentum sejarah kebangsaan: penembakan mahasiswa di kampus Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 dan peristiwa kerusuhan 13-15 Mei yang mengorbankan lebih dari 1.000 jiwa, disertai turunnya Soeharto sebagai Presiden RI pada 21 Mei.

 

Ketiga, dan ini yang menjadi pemicu utama, adalah pernyataan Mayjen (Purn) Kivlan Zen dalam acara ”Debat” TV One pada 28 April 2014 mengenai penculikan aktivis 1997-1998. Pada acara yang disaksikan jutaan pemirsa di seluruh Tanah Air itu, Kivlan Zen yang pada 1998 menjabat sebagai Kepala Staf Kostrad, dengan nada bangga dan berapi-api, mengatakan, ”Yang menculik dan hilang, tempatnya saya tahu di mana, ditembak, dibuang….”

 

Pengakuan yang otoritatif

Saya adalah salah satu dari sembilan orang yang selamat dari penculikan dan usaha penghilangan paksa oleh pasukan Tim Mawar Kopassus tahun 1998 yang sedang dibicarakan oleh Kivlan Zen. Saya mendengar langsung ucapan Kivlan Zen karena—bersama istri—saya sedang duduk di depan televisi. Ada hening di pikiran saya, dengan jantung berdetak hebat.

 

Istri saya menatap saya dalam diam. Yang muncul di pandangan saya kemudian adalah wajah kawan-kawan terdekat saya yang sampai hari ini masih belum ketahuan kabarnya: Petrus Bimo Anugerah, Wiji Thukul, Herman Hendrawan, dan Suyat. Juga wajah-wajah Yani Afri, Yadin Muhidin, Ucok Siahaan, Noval Alkatiri, Deddy Hamdun, dan wajah-wajah lain yang tiap hari saya lihat dalam poster yang ada di IKOHI, tempat saya beraktivitas.

 

Saya tidak habis pikir, mengapa orang di TV itu, Kivlan Zen, berbicara tentang penderitaan manusia dengan sedemikian enteng. Saya lebih menganggapnya sebagai perasaan keji. Tak tahukah dia bahwa tiap hari selama lebih dari 16 tahun, segenap keluarga dari 13 aktivis yang masih hilang itu masih sabar menunggu kembalinya orang-orang yang mereka cintai. Bahkan, empat orangtua dari mereka yang hilang meninggal dalam penantian panjang.

 

Bagi saya, Kivlan tak hanya telah melukai rasa kemanusiaan keluarga korban. Lebih dari itu, yang sedang ia pertontonkan adalah mempermainkan penderitaan keluarga korban dengan menganggap para korban hanya sebagai angka semata. Saya jadi ingat apa yang pernah dikatakan diktator Uni Soviet, Joseph Stalin, ”Satu orang mati adalah sebuah tragedi, satu juta orang mati adalah sebuah statistik.”

 

Apa yang disampaikan Kivlan Zen adalah sesuatu yang penting. Sebab, saat peristiwa penculikan dan penghilangan paksa terjadi, jabatannya adalah Kepala Staf Kostrad. Dengan jabatan yang melekat pada dirinya, pernyataan Kivlan Zen adalah pengakuan yang otoritatif dan memiliki konsekuensi hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 165 KUHP yang mengharuskan setiap orang yang mengetahui atau memiliki informasi tentang tindak pidana kejahatan harus melaporkannya kepada aparat penegak hukum.

 

Pernyataan Kivlan Zen juga merupakan sebuah pengakuan bahwa tindakan penghilangan paksa terhadap 13 orang yang masih hilang adalah benar adanya. Sejauh mana Kivlan Zen sendiri terlibat, siapa pelaku, korban, bagaimana peristiwa dan tempat kejadian adalah informasi penting yang harus ditindaklanjuti oleh penegak hukum, dalam hal ini Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

 

Menanggapi perkembangan tersebut, keputusan Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 7-8 Mei 2014 untuk membentuk tim dan melakukan pemanggilan terhadap Kivlan Zen harus diapresiasi. Namun, untuk mempercepat proses pengungkapan kasus dan memberikan kepastian hukum tidak hanya kepada korban, tetapi juga pelaku harus ditindaklanjuti.

 

Pemanggilan Prabowo oleh Komnas HAM sangat penting dilakukan. Terutama untuk mendalami pernyataannya selama ini bahwa ia hanya bertanggung jawab atas  “pengamanan” terhadap sembilan aktivis, yang semua sudah ”dibebaskan”, serta membantah bertanggung jawab atas 13 aktivis lain yang masih hilang. Bantahan ini sebenarnya telah dimentahkan oleh kesaksian beberapa korban yang selamat, antara lain Faisol Riza dan Rahardja Waluya Jati—bahkan Pius Lustrilanang dan Desmon J Mahesa—yang mengatakan, saat berada di tempat penyekapan, mereka sempat berkomunikasi dengan Herman Hendrawan, Yani Afri, Sony, Deddy Hamdun, dan lain-lain. Ini berarti, antara mereka yang telah dilepaskan dan yang masih hilang pernah disekap di tempat yang sama.

 

Perjuangan sepanjang usia

Dalam berbagai kesempatan, Fadli Zon mengatakan bahwa usaha keluarga korban dan aktivis HAM untuk menuntut penyelesaian kasus ini adalah kampanye lima tahunan yang ditujukan untuk menjegal Prabowo Subianto menjadi capres. Fadli Zon tampaknya menutup mata, tidak mau melihat, bahwa sejak hari pertama keluarga korban tahu anak dan suami mereka hilang, mereka telah berjuang dengan melakukan berbagai pencarian.

 

Waktu 16 tahun bukanlah pendek. Selama itu pula perjuangan keluarga korban telah melalui berbagai milestone, misalnya penyelidikan oleh Komnas HAM (2005-2006), penyerahan hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung (2006), rekomendasi DPR kepada Presiden (2009), pemberian Surat Keterangan Keluarga Korban Penghilangan Paksa dari Komnas HAM (2011), serta rekomendasi Ombudsman kepada Presiden (2013).

 

Keluarga korban penghilangan paksa tak berutang apa pun pada partai politik yang saat ini sedang berkontestasi melalui pemilu. Sebaliknya, partai politik yang ada hari ini memiliki utang sejarah kepada mereka yang telah jadi martir dalam perjuangan menentang otoritarianisme Orde Baru. Perjuangan kami untuk kebenaran dan keadilan melampaui politik elektoral yang menjemukan hari ini. Perjuangan kami adalah perjuangan sepanjang usia, kecuali kebenaran dan keadilan bisa kami raih lebih cepat sebelum ajal menjemput.

 

Satu hal yang sekarang masih kami tunggu dan perjuangkan adalah tindakan presiden yang kami anggap sebagai ultimum remedium untuk kasus ini (Djisman Samosir, 2011). Ultimum remedium adalah upaya terakhir dalam penegakan hukum manakala sanksi-sanksi lain sudah tidak berdaya. Presiden SBY kami anggap pihak yang turut bertanggung jawab atas penundaan dan pengingkaran hak dan keadilan bagi korban sehingga kasus ini menjadi kelihatan rumit dan penuh politisasi.

 

Karena itulah, Presiden SBY pulalah yang harus memberikan ultimum remedium untuk kasus ini dengan cara mengimplementasikan rekomendasi DPR yang meliputi:

(1)          pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc;

(2)         pencarian 13 orang yang masih hilang;

(3)         pemberian kompensasi dan rehabilitasi kepada keluarga korban; dan

(4)         ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.

 

Kami sadar, waktu yang tersisa bagi SBY tidak mungkin lagi cukup untuk memenuhi semua harapan korban. Tetapi, setidaknya SBY bisa meletakkan landasan bagi ultimum remedium bagi pemerintah selanjutnya untuk menyelesaikan kasus ini, dan pada saat yang sama Presiden SBY bisa melakukan graceful exit yang akan dikenang generasi mendatang.

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

227 thoughts on ““Kami yang Menanti Keadilan”

  1. james
    May 24, 2014 at 5:34 am

    Lanjutkan Penyelidikan dan Pengusutan dan Pengadilan para Pelaku Peristiwa Mei 1998 ini, sampai kapanpun harus diselesaikan , memang itulah yang diharapkan dan diinginkan oleh Para Kelarga Korban, hanya Luar Biasa SBY mejabat sebagai Presiden selama 10 tahun Tidak Sempat Menyelesaikannya ??? Luar Biasa !!! hanya dapat terjadi di Indonesia !!!

  2. Sudirman
    May 25, 2014 at 1:52 pm

    Kalau Prabowo selalu main kayu, main keras, main paksa, pakai uang2 yg tidak halal dan berkuasa
    benar2 para pahlawan, para pejuang yang sejati pendiri negara Republik Indonesia Raya tahun 1945 akan menangis dan tidak dapat tidur dialam baka dengan damai.
    Orang2 tidak ber prinsip dan tidak berhati nurani manusiawi, keji akan meraja lela dibumi pertiwi.
    Hidup lah Capres Pak Jokowi! Rakyat kecil berdiri di belakangmu dan mendukungmu! Pasanglah mata di belakang punggungmu dan waspada ber hati2 lah menghadapi orang2 ambisius, korupsi, iri hati dan keji!
    Semoga Tuhan yang Mahakuasa melindungi Pak Jokowi dari segala Mara Bahaya!

  3. Setiawan
    May 26, 2014 at 12:27 am

    isi suratnya bagus, menggugah kembali hati nurani para pemimpin, khususnya mereka yang berani membongkar keterlibatan TNI (eks ABRI, khususnya Kopassus, Kostrad)

  4. Astuti
    May 27, 2014 at 2:14 pm

    Bangkai walau dibungkus dengan rapi akan berbau juga. Jangan sangka semesta alam tidak ada yang mengatur dan mengadilinya. Keseimbangan untuk harmoni keadilan di seluruh jagat raya tidak terbatas hanya sewaktu ada badan di kehidupan yang pendek dan maya ini. Pembalasan kutukan akan terjadi walaupun jauh setelah badan dikandung tanah; kebobrokan tidak akan dapat di-tutup2.
    Jiwa2 yang dianiya akan selalu menghantui dan berseru mencari keadilan makanya keturunan anak cucu mu selanjutnya akan di kutuk dikejar roh2 yang tidak puas, koruptor2 keji tidak mungkin dapat menegakan keharmonisan keadilan maka agar negara kita dapat diberkati Tuhan dan sejahtera tegakkan lah keadilan secara jujur. Apa yang tampak elok diluaran tidak akan kekal hanya kedok belaka karena telah meminum banyak darah sesama manusia yang tidak bersalah.

  5. ali somali
    May 29, 2014 at 10:24 am

    Sejatinya kubu Prabowo-hatta adalah kumpulan orang2/partai2 sakit hati, prustasi, bangkrut, gila kekuasaan dan bermental bunglon. Ingat, masa reformasi 16 th lalu, ada tokoh yg mngklaim diri sbg tokoh reformasi, anti militerisme, ingin mbangun masy sivil madani. Tp sekarang, demi kepentingan diri dan kelompoknya dia gadaikan idealismenya, dia makan kembali kotoranya sendiri. Parahnya lagi dia mengatasnamakan kepentingan bangsa indonesia. Dasar Sengkuni.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *