Menjaga ‘api’ ingatan tragedy kemanusiaan Mei 1998


Menjaga ‘api’ ingatan tragedy kemanusiaan Mei 1998

Dilaporkan: Setiawan Liu

 

Jakarta, 9 Mei 2022/Indonesia Media – Peneliti sejarah, aktivis perempuan Ita Fatia Nadia melihat perlunya menjaga ‘api’ ingatan terhadap Kerusuhan Mei 1998, kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang notabene juga tragedy kemanusiaan. Sehingga masyarakat termasuk etnis Tionghoa jangan sampai melupakan peristiwa kerusuhan Mei 98 tersebut. “Kita harus tetap menjaga ingatan bahwa peristiwa termasuk kerusuhan, pembunuhan, perkosaan pada Mei 1998 itu ada. Jangan sampai dilupakan. Itu yang membuat saya terus berjuang untuk ‘api’ ingatan terhadap Kerusuhan Mei 98,” Ita F. Nadia mengatakan kepada Redaksi.

 

 

Pada Komnas (Komisi Nasional) Perempuan sendiri, (pimpinan dan anggotanya) juga sudah tidak lagi memperhatikan Mei 98. Padahal Komnas Perempuan berdiri karena dipicu peristiwa Mei 1998. Seharusnya Komnas menyelenggarakan upacara terus menerus peringatan Mei 1998. Ita sempat membaca beberapa tulisan anak-anak muda (generasi millennial/mereka yang lahir pada 1980 – 1990, atau pada awal 2000) tentang 1998 di medsos (media social). “Semuanya (tulisan/testimony) melenceng. (tulisan generasi Millenial mgn Kerusuhan Mei 98) seakan-akan, saya (dicap) tidak bisa move on. Sehingga saya jelaskan bahwa Mei 98 sebuah kejahatan kemanusiaan yang diingkari oleh Bangsa Indonesia sendiri,” kata Ita F. Nadia.

 

Mereka (generasi millennial) mengatakan, ‘ …. mba Ita (Fatia Nadia) nggak capek-capek menceritakan, mengulas kerusuhan Mei 1998, move on dong ….’ Tetapi baginya, tidak ada sikap menyerah apalagi melupakan. Hal tersebut bukan masalah move on atau tidak, tapi kejahatan kemanusiaan yang diingkari oleh Bangsa Indonesia sendiri. Terkait acara tgl 12/5 (Kamis), yakni peringatan alm. Ita Martadinata juga relevan. Sebagaimana alm. Ita Martadinata adalah martir (orang yang rela menderita atau mati daripada menyerah). Alm. Ita Martadinata mewakili seluruh korban Mei 98. Acara di Semarang (12/5) tidak saja Peringatan Sin Chi Ita Martadinata (di Rumah Doa Boen Hian Tong, Gg. Pinggir No. 31 Semarang), tapi upaya menjaga ingatan pada peristiwa Mei 1998. “Apapun alasannya, saya harus datang, walaupun keesokan harinya (tgl 13/5) saya sudah harus berangkat ke Belanda. Saya tetap berangkat dari Yogyakarta ke Semarang, setelah itu ke Jakarta (bandara Soekarno Hatta, Cengkareng) dan terbang ke Belanda,” kata Ita F. Nadia.

 

Bahkan ada pembuat film, yakni Andrea (berlatar belakang Tionghoa) hadir di Semarang untuk pembuatan film dokumenter. Produsernya, Mandy Marahimin yang ibunya keturunan Tionghoa (bekerja sebagai chef masakan Tionghoa). Andrea dan Mandy bekerjasama menyutradarai film dokumenter dan pribadinya sangat concern dengan peristiwa kemanusiaan Mei 1998. “Saya juga berharap generasi millennial, anak-anak muda Tionghoa agar tidak melupakan kewajiban untuk tetap menjaga ‘api’ (ingatan terhadap kerusuhan berdarah Mei 1998. Sehingga peristiwa yang sama tidak akan terulang lagi,” kata Ita F. Nadia.

 

 

Ibunya almarhum Ita, (yakni) ibu Wiwin sengaja datang (dari Surabaya) ke Semarang, hadir dan berdoa. Ini pertama kali, ibu Wiwin sebagai bhiksuni kembali mendoakan anaknya, Ita Martadinata. Karena selama ini, keduanya sangat dekat dan sering komunikasi. Ibu Wiwin sempat mengalami depresi, tapi sekarang sudah mulai baik karena hidup sendiri di biara menjadi bhiksuni. “Dia terbantu (pemulihan). Pada acara peringatan di Semarang (12/5), pertama kali, dia mendoakan anaknya, alm. Ita Martadinata,” kata Ita F. Nadia.

 

Ia mengaku masih ingat beberapa aktivis Posko Buddhis (Tim Relawan untuk Kemanusiaan/TRUK, didirikan oleh Romo Sandyawan) terutama Apong Tamora yang membawa ibu Wiwin pertama kali ke secretariat Kalyanamitra (Kelompok studi gender Surakarta; para aktivisnya antara lain Sita Aripurnami, Ita F Nadia, Mira Diarsi, Lies Marcoes, Yuyud, Sekar Pireno). Dari Posko (Komunitas) Buddhis, ibu Wiwin terdorong aktif di Kalyanamitra. Selanjutnya, ibu Wiwin datang sendiri. “Waktu mau ke Amerika (bersama alm. Ita Martadinata) untuk memberi kesaksian, bersama beberapa tokoh Buddhis, kami sempat rapat di Wihara Ekayana Graha (Jl. Mangga Dua, Tanjung Duren). Inisiatif awal dari Setiawan Liu, Apong Tamora,” kata Ita F. Nadia. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *