ULASAN MENGENAI IDENTITAS INDONESIA ETNIS TIONGHOA


Tiga belas tahun pasca Tragedi Mei 1998. Tragedi yang menorehkan luka diskriminasi terhadap warga
etnis Tionghoa. 13 tahun lalu, mereka jadi tumbal, sasaran kekerasan. Proses hukum mandek, tapi
harapan akan keadilan terus tumbuh. Reporter KBR68H Johana Purba berbincang dengan etnis
Tionghoa, 13 tahun setelah Reformasi, soal ‘menjadi Indonesia’.

“Diumumkan di Masjid, siapa yang anaknya tidak pada pulang, jangan diharap hidup, anaknya sudah
pada mati.” Tiga belas tahun lalu, Ruminah mendapatkan kabar kematian putranya, Gunawan,
dari pengumuman di masjid. Anaknya tewas pada peristiwa kerusuhan Mei 1998 di sebuah pusat
perbelanjaan daerah Klender, Jakarta Timur. Ruminah tak lelah mencari. Mendatangi pusat perbelanjaan
yang dibakar massa, kantor polisi, sampai ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Di situ ia hanya
bertemu baju, ikat pinggang dan cincin milik Gunawan. Tak ada jenazah. “Cincin, gespernya Gunawan,
dan ukirannya itu ukiran dia. Pokoknya bawa pulang, mungkin ini kali (buktinya).”

Di kampung Ruminah, ada 7 anak yang jadi korban pembakaran pusat perbelanjaan tersebut. Ibu-
ibu kerap berkumpul dan lantas membuat paguyuban tahun 2001. Mereka juga membentuk Kampung
Kenangan Mei 1998 di kawasan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Di situ ada prasasti untuk mengenang
mereka yang tewas dalam kerusuhan. Tingginya sekitar 2 meter, berupa tonggak dan sebuah wadah
lingkaran berisi sebuah gambar jarum dan benang merah. Di situ tertulis: Untuk Mengenang Gunawan
dan Korban Mei 98. “Karena kalau ibu-ibu kan hatinya masih luka, ada benangnya merah. Dan ada
puteran, bunder. Nah itu, jarum untuk mengobati luka. Luka Mei 98 kan lebar, dalam. Tetapi dijahit
sedikit-sedikit. ”

Peristiwa Mei 1998 juga masih membekas di hati Ester Jusuf, aktivis HAM dan advokat etnis Tionghoa.
Dia memang tak merasakan rumahnya dibakar massa, terluka atau diperkosa. Tapi ia tekun memberikan
pendampingan kepada para korban Tragedi Mei 1998. “Yang menyerah banyak, sudahlah itu masa lalu,
tidak mau membicarakan lagi. Bahkan ada yang begitu diperlihatkan satu buku Mei 98, tidak mau lihat.
Banyak yang setelah 98, mereka bangkit lagi. Ada berbagai hal lah, ada yang makin gigih dan bangkit
secara lebih baik. Ada juga yang memang hancur.”

Esther kini tengah merancang konsep Rumah Kenangan Mei. Bukan museum, tetapi rumah pengharapan.
Untuk itu, Ester dan kelompok Solidaritas Nusa Bangsa giat menggalang dana. Baik dengan cara menjual
produk hasil kerajinan korban Mei 1998 atau mencari donatur. “Memang kita punya luka yang sama.
Tetapi pijakan dari Rumah Kenangan Mei adalah harapan kita yang sama. Kita berharap masa depan yang
lebih baik. Jadi Tragedi Mei 1998 itu biar jadi pelajaran yang tidak akan kita lupakan. Pesan yang terus
menerus jangan terjadi lagi. Harapan, membangun bangsa yang lebih baik. Kalau 1998 ada kekerasan
yang luar biasa, kita tidak tahu siapa dan masih dalam proses, tetapi jangan ada lagi.”

Tan Swie Ling, bekas tahanan politik etnis Tionghoa. Dia dipenjara selama 13 tahun karena dituduh
komunis. Sekeluarnya dari penjara dia aktif dalam pergerakan warga etnis untuk menghapus diskriminasi.
Kata dia, sejarah diskriminasi sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda sampai era kemerdekaan.
Penjajah Belanda berurusan politik dagang dengan orang Tionghoa. Kemudian dalam Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, warga etnis Tionghoa masuk dalam kategori ‘Timur Asing’

bersama warga Arab dan India. Tan Swie Ling yakin, konflik antar etnis, termasuk dengan etnis
Tionghoa, adalah buatan penguasa. Motifnya: kekuasaan dan perdagangan, dengan mengorbankan
kelompok Tionghoa. “Jadi kerusuhan anti Tionghoa hanya pintu pembuka meledaknya instabilitas
plitik. Dia bukan sasaran pokok, dia hanya sebagai alat untuk bagaimana menyulut kebakaran di negeri
ini. Ini sangat tergambar jelas pada saat mereka ingin menjatuhkan Soekarno pada tahun 1963, dan
kemudian tahun 1965 juga lewat G30S, itu juga terjadi kerusuhan, semua itu lewat jalur sulut
dulu Tionghoa. Termasuk tahun 98, karena posisi Tionghoa sebagai rumput kering.”

Reformasi 1998 seharusnya jadi titik balik. Tak boleh lagi ada penyerangan dan diskriminasi terhadap
etnis tertentu di negeri ini. Namun, tak mudah jadi Tionghoa di negeri ini, bahkan setelah tonggak
Reformasi berdiri 13 tahun lalu. Agustinus Wibowo, lelaki 30 tahun etnis Tionghoa, menghabiskan
separuh hidupnya di perantauan. Kuliah di Beijing, lantas bertualang di Afghanistan, Tajikistan,
Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan dan lainnya. Perjalanan panjang ini membuat penulis
buku “Garis Batas” dan “Selimut Debu” ini merefleksikan lagi identitasnya sebagai Tionghoa. Ia masih
ingat ketika ia didatangi seorang warga lokal ketika kuliah di Beijing, Tiongkok.

KBR menanyakan sewaktu dia di Beijing ditanya “Kenapa orang orang membunuh bangsa Cina?”,
Agustinus menjawab: “Kita dalam situasi apa, garis batas kita bergeser, identitas kita bergeser. Waktu aku
kecil dalam kondisi hingar bingar diskriminasi, identitas yang mencuat adalah warna kulitku sebagai
orang Tionghoa. Yang kemudian membuat aku sadar tentang sebuah identitas. Tetapi waktu aku ke
Tiongkok, identitasku bergeser, aku bukan dianggap minoritas tetapi dianggap orang Indonesia dan ini
mengaitkan dengan kejadian 98. Yang menurut orang Tiongkok itu sebuah tragedi terhadap ras mereka.
Ya disini ada pergeseran identitas itu.”

Ruminah yang lahir di Brebes, merasa harus menutup rapat identitasnya sebagai etnis Tionghoa. Baru
tahun lalu ia berani terbuka soal identitas ini. Sejak bertahun-tahun lalu pindah ke Jakarta bersama
suaminya, ia sering mendapatkan perlakuan kasar. Anak-anaknya juga kena getahnya. Karenanya ia
sering tak mengaku sebagai etnis Tionghoa kepada orang yang baru dikenal. “Dulu lagi muda saya baru
punya anak, kok saya dimusuhin mulu di Jakarta. Katanya ‘Saya Cina Loleng, makan babi sekaleng, tidak
habis ditempeleng.’ Kadang saya gregetan dikatain melulu. Anak-anak saya juga begitu, sering
diludahin dari atas. Anak saya enggak ada kan yang matanya sipit. Kalau itu suka diludahin sama orang di
atas.”

Tan Swie Ling juga pernah merasakan kerasnya hidup sebagai Tionghoa di Indonesia. Ia menjadi saksi
persidangan Sudisman, anggota polit biro PKI, di Mahkamah Militer Luar Biasa pada 1967. Akibatnya, ia
dipenjara selama lebih 13 tahun. Lepas dari penjara, ia mengaku mengalami berbagai macam
diskriminasi oleh pemerintah Orde Baru. Ia percaya, penguasa ada di belakang tindakan diskriminatif
terhadap kelompok etnis Tionghoa. Ia menulis soal ini juga dalam bukunya ‘G30S 1965, Perang Dingin
dan Kehancuran Nasionalisme, Pemikiran Cina Jelata Korban Orba’.

“Isu mengenai anti Tionghoa sama sekali bukan karena komunitas pribumi yang anti, tidak suka kepada
etnis tionghoa. Rasisme terjadi karena tindakan penguasa. Baik penguasa Belanda maupun Indonesia.”
Meski diskriminasi masih ada, Tan Swie Ling bangga menjadi bangsa Indonesia. “Kalau saya jelas,
merasa anak Indonesia. Anak Indonesia yang terlahir sebagai etnis Tionghoa.” Tionghoa, Jawa, Sunda,

Kalimantan, Padang, Makassar, Ambon, Papua, apalah bedanya? Begitu gugat Ruminah, ibu rumah
tangga, etnis Tionghoa. “Kenapa sih hidup jadi begini? Emang ada apa sih antara orang Tionghoa, sama
orang Sunda, Jawa? Emang kenapa sih, kayaknya sama aja. Kita juga sudah hidup di Indonesia sudah
bertahun tahun. Nenek, cucu, sampe punya sawah lebar di Brebes. Eh, kata saya, emang ini negara lo?
Semua orang juga punya, bangsa Indonesia kan sudah bergaul. Ngapain musti takut.”

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

2 thoughts on “ULASAN MENGENAI IDENTITAS INDONESIA ETNIS TIONGHOA

  1. feni
    April 17, 2017 at 2:41 am

    diskriminasi apaan 98 itu
    kalo memang itu diskriminasi, mengapa korban mati lebih banyak pribumi

  2. Perselingkuhan-Intelek
    April 17, 2017 at 10:19 pm

    diskriminasi, kalau bukan diskriminasi mengapa korban hidup lebih banyak dari etnis Tionghoa ? diperkosa, dipotong alat vitalnya, disiksa, dibakar, dijarah, dirampok, diskriminasi ini sudah berjalan sebelum anda lahir ke bumi Indonesia yang diskriminasi ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *