Peringatan Tragedi Mei 98 di penuhi pengunjung.


Panitia tidak menduga, walaupun ada long weekend memorial
day, ternyata peringatan Tragedi Mei98 kali ini diminati sampai full house. Audiens yang datang bahkan
ada yang tidak kebagian kursi. Pasalnya banyak orang yang penasaran ingin melihat film yang jarang
di tahyangkan “40 Years of Silence-An Indonesian Tragedy “ the untold story , yang di produksi oleh
Prof. DR. Robert Lemelson.

Acara yang diadakan oleh ICAA dan disponsori oleh Duarte Inn bersama
Indonesia Media dibuka dengan kata sambutan serta pengheningan cipta bagi korban-korban tragedy

DR.FRits-Hong-Ketua-Umum-ICAA

Mei’98 di Indonesia oleh Ketua umum ICAA (Indonesian Chinese American Association) , DR.Frits
Hong .Bertindak selaku moderator adalah Prof. Juliana Widjaya Ph.D. dari UCLA department CSEAS.

Film yang berdurasi lumayan itu menceritakan kehidupan dari para tapol dan keluarganya serta
keturunannya yang tidak tahu menahu terkena stigma sehingga harus kehilangan masa depan mereka.
Periode yang diliput oleh Film yang mengangkat humanisme dari sudut Psikologi dan Antrhopologi ini
dimulai dari tahun 1965 sampai 1998. Pembuatan dari film ini memakan waktu yang lama sekitar 8 tahun
dan melibatkan banyak ahli dari kalangan pegiat HAM dari dalam maupun luar negeri. Semua pelakon
adalah korban nyata , jadi boleh dibilang sebagai the true story. Kecuali clipping dari adegan documenter
yang disisipkan sebagai ilustrasi pendukung mungkin hasil rekayasa ulang .

Sebelum acara dimulai diperdengarkan clipping audio dari Radio Netherland tentang Tragedi Mei ’98
di Indonesia ada persamaanya dengan Tragedi 1740 dimana terjadi pembunuhan masal terhadap sekitar
10.000 orang Tionghoa di Batavia.

DR. Robert Lemelson Producer

Wijayanti Darmowiyono Ph.D. orang asal Semarang membeberkan
karya tulisnya di Universitas van Amsterdam. Saat itu di Batavia terjadi perebutan kekuasaan antara
Gubernur Jenderal Adrian Valkenier dengan pendahulunya Gustaf van Imhoff yang dilihat parallel seperti
perebutan kekuasaan 1998 antara Pangab Jenderal Wiranto dengan DanJen Kopassus Let Jen Prabowo
Subianto. Disana dinyatakan seperti pepatah mengatakan bahwa kalau gajah bertarung , pelanduk mati
ditengahnya , yang menggambarkan pelanduk sebagai rakyat yang menjadi korban.

Respon audiens setelah menyaksikan film tersebut beragam;

Ada yang mengatakan tragedy G-30-S adalah rekayasa CIA, kendati Dr.Lemelson meragukan bahwa
kemampuan CIA bisa menyebabkan pembantaian 500.000 – 1juta orang. Terkesan memang orang
Indonesia masih menyimpan kebiasaan jelek yaitu suka menyalahkan orang.

Ada yang mengatakan mengapa Robert Lemelson tidak buat film Tentang Tragedi Mei’98 , terutama
tentang kekerasan terhadap kelompok Tionghoa seperti pemerkosaan dan lain sebagainya. Lemelson
mengatakan orang Indonesia yang harus buat sendiri. Komnas HAM dan Yayasan Peduli Kemanusiaan
sudah menuju kearah itu, tapi tidak ada yang berani maju untuk bicara sebagai korban. Untuk membuat
film harus ada pelakonnya terutama film sejarah, tidak bisa asal-asalan, ujarnya.

Juliana Widjaya Ph.D (UCLA)

Ada yang masih terasa sangat terancam untuk bicara masalah Tragedi Mei ‘ 98 dan mengharapkan
seseorang bisa maju kedepan. Lalu ada yang bilang :“Hanya bule yang bisa bikin film macam begini”,
kata seorang audiens.

Cara-cara pemerintah menghandle urusan begini memang tidak menyokong, hanya Presiden Gus Dur
yang berani menyatakan maafnya kepada para korban-korban ex PKI.

Lemelson juga mengakui dan menyesali , kendati di Amerika masih saja ada organisasi yang
tidak mendukung Film Screening ini karena alasan-alasan tidak pada tempatnya seperti takut akan
mempengaruhi bisnis mereka dengan Indonesia.

Waktu zaman ORBA mereka takut membicarakan urusan ’65, baru setelah ORBA diganti dengan periode
Reformasi, maka sedkit demi sedikit orang berani bicara masalah ini.

4 keluarga yang dipilih dalam adegan filmnya kiranya cukup mewakili penderitaan korban ’65. Mereka

Prof-Geoffrey-RobinsonDirector-CSEAS-UCLA

dari kalangan suku Bali, Jawa, dan Tionghoa serta berbagai latar belakang pendidikan.

Stigmatisasi terhadap ex anggota PKI, ataupun yang bukan PKI tapi di PKI-kan, dan keluarganya
serta keturunannya telah membawa penderitaan yang tidak kunjung berakhir. Dari perlecehan sosial
dilingkungan hidupnya, penyiksaan fisik dilevel masyarakat (horizontal), susahnya masuk ke perguruan
tinggi, susahnya mendapat pinjaman bank untuk modal usaha, sampai sudah matipun makamnya masih
harus digali dan dipindahkan.

Dimana letak pengamalan perikemanusiaan dari sila kedua di tubuh
Pancasila ?. Dr. Lemelson juga merasa aneh mengapa ex anggota PKI sampai dihukum sedemikian
sadisnya , padahal PKI adalah organisasi yang legal sebelumnya. (bukan organisasi terlarang sebelum

Audiens yang masih kebagian tempat duduk

orba).

Hanya orang Indonesia sendiri yang bisa memperbaiki semua ini , yaitu dengan mengedukasi saudara-
saudaranya agar anarki bisa dibuang jauh-jauh dan membawa bangsa Indonesia ke tingkat peradaban
yang kelebih tinggi.

Maka Peringatan Tragedy, termasuk Tragedy ’98 harus terus ada demi tidak
melupakan sejarah, dan mengingatkan kepada kita bahwa jangan ada lagi tragedy-tragedy semacam ini di
Indonesia.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *