Di Indonesia, Islam menjadi nampak begitu menakutkan. Majelis Ulama Indonesia, Menteri Agama, dan berbagai organisasi Islam nampaknya punya sumbangan besar bagi radikalisasi keagamaan ini.
Tak bisa lagi orang membela diri dengan mengatakan bahwa gagasan Islam sebagai agama kekerasan adalah sekadar hasil skenario Barat atau Zionisme internasional. Faktanya, kekerasan demi kekerasan terjadi di Indonesia. Dari serangan terhadap gereja di berbagai kota, serangan terhadap Ahmadiyah yang memakan korban nyawa, bom buku, bom masjid di Masjid Mapolres Cirebon, bom Paskah yang ditemukan di Serpong, sampai terbongkarnya jaringan Negara Islam Indonesia, menunjukkan bahwa ancaman radikalisme Islam ini tidak main-main.
Teori-teori sosial mengatakan radikalisme lazim hadir akibat rasa ketertindasan ekonomi-politik. Namun untuk rangkaian contoh yang disebut tadi, sulit melihat adanya keterkaitan dengan basis ekonomi. Para pelaku dan mereka yang menggerakannya tidak nampak sebagai kaum yang tertindas secara ekonomi maupun politik. Mereka bukan kalangan yang lazim disebut kaum marjinal yang frustrasi. Sebagian yang terlibat adalah lulusan perguruan tinggi atau bekerja di perusahaan modern.
Karena itu, salah satu jawaban yang mungkin ada pada tataran gagasan. Para pelaku aksi radikal ini melakukan tindakan kekerasan karena ada gagasan di kepala mereka yang membuat mereka merasa wajib melakukan kekerasan. Dan salah satu sumber yang paling potensial mendorong orang melakukan kekerasan di luar batas normal tersebut adalah agama. Tepatnya: penafsiran tentang agama.
Analisis ini, misalnya, bisa ditarik dari hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip), Jakarta, pada Oktober 2010 sampai Januari 2011 lalu tentang Radikalisme Islam dan Toleransi. Respondennya mencakup 590 guru agama dan 993 siswa kelas 8 sampai kelas 12.
Hasil penelitian yang perlu dicermati antara lain adalah:
– 23,6 persen guru dan 13,1 persen murid menyatakan kesetujuan atas organisasi radikal (mungkin seperti FPI).
– 62,7 persen guru dan 46,7 persen murid menolak berdirinya tempat ibadah non-Islam di lingkungan mereka.
– 21,1 persen guru dan 25,8 persen murid menganggap Pancasila tidak lagi relevan sebagai ideologi negara.
– 76,2 persen guru dan 84,8 persen murid menyetujui pemberlakuan Syariat Islam.
– 28,2 persen guru dan 48,9 persen murid bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral.
– 22,7 persen dan 41,1 persen murid bersedia terlibat dalam aksi penyegelan serta pengrusakan rumah ibadat atau fasilitas milik aliran keagamaan lain.
Memang tak terlalu jelas metode penarikan sampel dan pengajuan kuesioner yang dilakukan. Misalnya, apakah sampelnya diambil dari seluruh sekolah di Jakarta, atau hanya di sekolah-sekolah tertentu. Atau apakah sampel ditarik hanya dari mereka yang aktif dalam kegiatan keagamaan atau dari seluruh siswa. Atau apakah wawancara dilakukan orang per-orang, dengan pewawancara yang nampak netral (misalnya tidak berjilbab), atau dilakukan beramai-ramai di sebuah kelas.
Namun, apapun kelemahan metodologis yang mungkin ada, hasil di atas tetap mencengangkan dan mengkhawatirkan.