DALAM menyongsong Hari Bayangkara Negara 1 Juli 2010, kemungkinan tepat jika kita mengkaji masalah terorime di Indonesia. Ketika penulis diminta berbicara dalam program siaran Rumah Publik yang disiarkan langsung oleh TVRI, ada pertanyaan bertubi-tubi dari pemirsa. Mengapa teroris sulit dibasmi?
Pertanyaan itu penting disosialisasikan melalui media massa, membasmi teroris memang sulit. De facto, mereka bukan hanya mampu merekrut kader-kader baru relatif berusia belia usia 18-33 tahun. Tetapi, negara juga tak pernah bisa menyadarkan ”kesalahan” mereka.
Lihat para residivis teroris. Begitu keluar dari penjara, mereka kembali bergabung dengan teroris yang belum tertangkap dan melakukan teror lagi. Penjara tak sanggup memenjarakan mereka karena doktrin agama sulit disadarkan. Tentunya bukan tugas Polri menyelesaikan masalah itu. Tetapi, itu merupakan PR negara secara holistis. Tulisan ini mengkaji varian faktor mengapa teroris sulit dibasmi.
Pertama; Sejarah, flash back kapan teroris mulai marak? Setelah Israel semakin angkuh mengobarkan permusuhan dan perang di Timur Tengah.
Kedua; Politik standar ganda Amerika Serikat selalu membela Israel dan memusuhi negara-negara Islam, terutama sejak era Presiden George Bush Senior (tahun 1980-an) dilanjutkan era G. Bush Junior (awal 2001). Era Presiden Barak Husen Obama, politik AS merangkul dunia Islam. Namun, residu politik Bush masih membayangi political will Obama.
Ketiga; Dari poin pertama dan kedua, lahir perlawanan di mana-mana dengan sasaran sama. Yaitu, menghancurkan kepentingan AS dan sekutunya. Mereka disebut teroris karena cara yang dilakukan, seperti bom bunuh diri, justru membahayakan kemanusiaan secara universal bahwa korbannya bukan sasaran, tetapi siapa saja, bahkan yang tidak ada sangkut pautnya dengan sasaran. Politik Bush cenderung anti-Islam dimanfaatkan kaum teroris menjadi amunisi ampuh memengaruhi umat untuk direkrut menjadi calon-calon teroris (kaderisasi)
Keempat; Pasca strategi keras radikal mengubah strategi deradikalisasi. Menyaru sebagai dai menyampaikan ayat-ayat keras dan dahsyat tentang jihad, tentang perang, dan pahala surga di masjid-masjid, di diskusi-diskusi terbatas, bahkan door to door.
Kelima; Kemiskinan-pengangguran menjadi constributing faktor pemicu remaja mudah tergiur dogma-dogma keagamaan yang dahsyat (surga neraka). Daripada hidup susah mencari kerja lebih baik jihad untuk mati syahid lebih cepat masuk surga dijemput istri-istri cantik jelita 72 bidadari. Itulah asal munculnya istilah siap untuk menjadi calon manten. Sebab, teroris-teroris remaja yang siap melakukan bom bunuh diri menurut mereka adalah calon-calon pengantin.
Keenam; Budaya masyarakat permisif mudah menerima kehadiran orang lain dan tenggang rasa (ewuh pekewuh) dimanfaatkan dengan baik oleh teroris.
Ketujuh; Sistem data penduduk manual dengan mudah seseorang memiliki KTP ganda akan mempersulit identifikasi. Hal itu juga memudahkan tersangka melarikan diri ke luar negeri atau ke tempat lain yang mereka mau.
Ayat-Ayat Dahsyat
Dari tujuh faktor di atas, kini kita bedah faktor yang keempat (4) menggunakan taktik deradikalisasi. Itu artinya kelompok teroris mengubah pola aksi dari radikal keras dengan bom bunuh diri dengan dakwah bilkoul dan dakwah bilhal. Mereka tampil sebagai mubalig dan ustad pada umumnya, tetapi selalu menyelipkan ayat-ayat keras dan dahsyat yang dapat membakar semangat jihad orang-orang yang baru semangat belajar agama dan dangkal pengetahuan keagamaannya.
Orang-orang semacam itulah yang sering menjadi sasaran lunak para teroris untuk menjadikan mereka ”calon-calon pengantin”, istilah lain dari pelaku bom bunuh diri atas nama jihad yang keliru atau sesat tadi. Dengan sasaran Amerika yang sudah telanjur terstigma buruk di negara-negara Islam sebagai musuh bersama umat Islam, ayat-ayat dahsyat akan sangat efektif dan komunikatif diterima kaum muda. Lihat kader-kader baru yang direkrut teroris. Ternyata mereka mayoritas berusia 18-30 tahun. Adapun ayat-ayat keras dan dahsyat itu, antara lain, surat Maidah ayat 44 yang artinya begini: ”Barang siapa menghukumi sesuatu tidak dengan hukum Allah, maka dia kafir”.
Surat Taubat ayat 38, yang artinya: ”Wahai orang-orang beriman, mengana ketika kamu diperintahkan untuk perang di jalan Allah, kau malah lebih memilih mencari dunia? Apakah kau lebih mencintai dunia ketimbang akhirat, padahal kesenangan dunia itu cuma sebentar dan sangat sedikit, sedangkan kesenangan akhirat abadi selama-lamanya”.
Jika seseorang telah terkunci dengan dalil-dalil dahsyat tersebut, semangat mereka untuk mati dalam jihad akan terus membara dan sulit sekali disadarkan. Sebab, mereka telah membuka kitab suci dan menafsirkan ke satu persoalan: Mati sahid. Apa yang penulis kemukakan di kajian ini adalah fakta dari keterangan mantan-mantan teroris yang sadar dan telah kembali ke jalan yang benar.
Deradikalisasi
Kemiskinan menjadi constributing factor kaderisasi teroris yang sulit dibasmi. Itu sesuai dengan teori Nabi Muhammad SAW: Kadalfakru an-yakuna kufron (Kemiskinan kawan karib kejahatan). Itu juga menjadi PR negara. Teroris harus diperangi bukan hanya secara fisik (operasi kepolisian), tetapi juga secara komprehensif. Ketujuh faktor kajian penulis tadi mungkin bisa dijadikan titik berangkat deradikalisasi. Ketujuh faktor tersebut menjadi bungker-bungker persembunyian teroris. Bukan bungker di bawah tanah, tetapi bungker sosial yang tentu akan lebih sulit mencarinya.
Dalam kajian ini telah penulis diskrepsikan faktor kausalitas mengapa teroris tak mudah dibasmi. Solusinya, antara lain, pemerintah telah membuat program deradikalisasi teroris ke sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, dan lembaga-lembaga pemasyarakatan.
Program deradikalisasi harus melibatkan banyak pihak untuk merumuskan materi apa yang bisa menyadarkan teroris agar kembali ke jalan yang benar. Sebab, tanpa materi yang tepat upaya itu akan sia-sia. Ibarat dokter salah memberikan obat kepada pasien.
Polri punya program community policing (pemolisian komunitas-komunitas). Hendaknya para komandan lapangan dan kewilayahan dapat cerdas mengimplementasikan dan memetakan skala prioritas garapan. Misalnya, komunitas masyarakat pesantren, komunitas masyarakat nelayan, komunitas masyarakat kampus, dan komunitas masyarakat buruh. Mereka rentan dengan dogma-dogma yang mengatasnamakan agama karena keterbatasan pengetahuannya. Itu adalah PR bagi para Kapolda dan Kapolres se-Indonesia.