Menyambut matahari di pagi yang baru, terlebih menyambut pagi-pagi di tahun yang baru, lumrah untuk orang berharap bisa bangun di negeri yang tak dipenuhi korupsi. Tak lagi ada koruptor seperti Gayus yang meski pegawai rendah saja bisa menjarah uang rakyat dalam jumlah yang bila mau dicapai oleh para guru desa bergaji Rp.1 juta maka mereka harus menabung dan mengajar terus selama puluhan abad atau ribuan tahun! Belum lagi jarahan ataupun hasil kongkalikong para pejabat tinggi, perwira tinggi, jaksa tinggi, hakim tinggi, makelar kasus kelas tinggi, bandar narkoba kelas tinggi, pembalak liar kelas tinggi.
Negara sejatinya tak boleh punya nilai raport merah dalam penegakan hukum yang pula harus adil, karena tegaknya hukum dan keadilan memang adalah alasan paling dasar bagi hak hidup sebuah pranata dari kebudayaan makhluk manusia yang bernama negara.
Setiap melemahnya penegakan hukum selalu berbanding terbalik dan dengan kecepatan berganda pada penguatan kriminalitas dengan segala motif dan alasannya – ekonomi, politik, sampai pasal kesetiaan pada agama. Kriminalitas di segala bidang yang sampai terstruktur resmi dan dengan jejaring sangat luas sehingga sudah sangat sukar dibereskan, apalagi sudah pula mengakar dalam budaya. Setiap ayah dari keluarga kaum minoritas Kristen di desa-desa di Pakistan yang mayoritas Muslim, di Mongol yang mayoritas Buddhis, dan pelbagai negara lainnya, hanya boleh mengurut dada bila anak gadis kesayangannya diculik dan diperkosa tanpa penindakan hukum yang berarti atas pelakunya. Begitu juga kaum minoritas agama lain di negara lain.
Dulu orang sudah merasa amat terluka hati nuraninya saat menyaksikan kematian Mahatma Gandhi, pejuang kerukunan umat Hindu dan Islam di India yang ternyata harus dibunuh lantaran perjuangannya dinilai menghalangi perjuangan agama mereka, dan pihak Hindu pun sampai mengucapkan komentar yang harus terdengar logis bahwa untunglah yang bunuh adalah orang Hindu sendiri, kalau dari pihak lawan tentu permusuhan akan lebih membesar. Tapi jauh di kemudian hari ternyata kita masih menyaksikan pula pembunuhan atas Perdana Menteri Mesir Yusuf Wahbah yang beragama Kristen oleh seorang yang justru satu gereja dengannya hanya karena si pembunuh menilai tindakannya itu merupakan keharusan logis demi mengurangi permusuhan umat Muslim Mesir terhadap kelompok minoritas Kristen.
Negara diharap oleh warganya buat jadi alat mengoptimalkan keamanan, ketertiban, keadilan, serta mempercepat kemakmuran. Itu harapan yang jelas dan feasible. Terlebih ketika peradaban manusia mencapai demokrasi. Sistem yang mampu mengarahkan negara sepenuhnya hanya untuk yang terbaik bagi rakyat. Demokrasi pun bukan saja menyediakan mekanisme pergantian pemimpin tanpa pertumpahan darah yang biasanya darah rakyatlah yang lebih banyak ikut tertumpah, proses suksesi dalam sistem inipun menjadi mekanisme alamiah peningkatan kualitas pemimpin dalam hal mencapai semua tujuan mulia bernegara. Paling sedikitnya saja, demokrasi mengakhiri tata sosial yang di dalamnya warga tak bisa menuntut apa-apa meski istri atau kekasihnya diperkosa di tengah jalan oleh para pangeran. Raja Daud, yang kendati muda saleh dan pilihan Tuhan, terdorong membunuh Uria untuk merebut Batsyeba, dan tanpa ada sanksi hukum publik. Raja Louis XIV sesuka hati mengundangkan hukum negara yang berdasar tafsiran piciknya pada Lukas 14:23 – “paksalah umat lain masuk agama kita” – untuk membantai siapa saja yang tak segereja dengannya.
Tapi di banyak negeri ternyata demokrasi tak membawa negara lebih baik. Ketidakadilan terus tumbuh mengganas. Gara-gara konsep negara yang penuh salah kaprah. Pembangunan tak pernah dikerahkan secara memadai untuk mengembangkan daya kreatif warga. Padahal daya cipta adalah kunci keunggulan budaya. Kunci keberhasilan ekonomi sebagai upaya memenuhi kebutuhan di tengah kelangkaan, sambil mampu menjaga serta mengembangkan kualitas ekosistem. Juga politik, karena hanya dengan daya cipta bisa dipelihara nyawa civil society yang adalah fondasi demokrasi.
Dan fondasi daya kreatif adalah kasih yang diteladankan Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. []
Benni E. Matindas
Pengajar Filsafat; Penulis buku “NEGARA SEBENARNYA”