Negara Tak Boleh Kalah dengan Preman


Tindakan premanisme yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
mengatasnamakan kelompok agama akhir-akhir ini semakin meresahkan. Terkait
itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ditagih janjinya soal negara
tidak boleh kalah dengan aksi premanisme. “Kita minta kepada Presiden untuk
membuktikan ucapannya bahwa negara tidak boleh kalah dengan perilaku
premanisme,” kata anggota DPR dari FDIP Eva Kusuma Sundari saat jumpa pers
bersama Kaukus Pancasila Parlemen DPR-DPD RI di Gedung DPR, Senayan,
Jakarta, 28 Juni lalu.

Bukankah kita terheran-heran menyaksikan kinerja polisi yang nyaris tak
berdaya tatkala menghadapi kelompok-kelompok massa yang kerap melakukan aksi
kekerasan, main paksa dan main hakim sendiri terhadap pihak-pihak lain?
Bukankah itu yang ke sekian kalinya terbersit di benak kita saat membaca
berita tentang Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan pembubaran paksa
pertemuan antara para korban Orde Baru di Banyuwangi, Jawa Timur, dengan
tiga anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, 24 Juni lalu?

Tak pelak, aksi tak simpatik FPI itu pun menuai kecaman. Ada yang minta
agar mereka diberi sanksi tegas sesuai hukum yang berlaku, ada juga yang
minta agar organisasi mereka dibekukan bahkan dibubarkan. Wajar saja,
mengingat aksi-aksi kekerasan oleh FPI kian meresahkan akhir-akhir ini.
Beberapa waktu lalu, misalnya, mereka meneror warga Tionghoa di Singkawang,
Kalimantan Barat, dengan menghancurkan patung Naga Emas. Disusul kemudian
dengan pembongkaran terhadap karya seni patung Tiga Mojang di Perumahan Kota
Harapan Indah, Bekasi. Berikutnya, giliran Gereja HKBP di Tangerang dan
Bekasi yang ditutup paksa. Yang membuat kita tidak habis pikir, bahkan di dalam
kantor lembaga tinggi negara pun, yakni di Mahkamah Konstitusi, 24 Maret
lalu, massa FPI berani melakukan aksi kekerasan terhadap pengacara yang
mengajukan permohonan uji materiil UU Penodaan Agama (Uli Parulian dan
Nurkholis).

Inilah yang membuat kita bertanya-tanya. Benarkah, seperti disinyalir
selama ini, ada orang-orang kuat yang membekingi FPI? Jika itu benar, kita
sangat menyesalkannya. Indonesia adalah negara hukum (*rechstaat*), bukan
negara kekuasaan (*machstaat*). Di negara hukum, kekuasaan sebesar apa pun
dan yang dimiliki pihak manapun seharusnya tunduk dan berpedoman pada hukum.
Terkait itulah maka tak ada alasan bagi negara untuk tidak menindak tegas
FPI sesuai hukum yang berlaku. Untuk itu kita meminta aparat kepolisian
mampu bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok massa yang kerap beraksi
represif terhadap pihak-pihak lain. Kita percaya polisi sanggup
melakukannya. Sebab, selain mereka adalah aparat keamanan dan penegak hukum
yang sudah terlatih, mereka pun dilengkapi dan sarana-prasarana modern dan
jumlah personil yang memadai.

Itulah paradoksnya: jika terhadap kelompok-kelompok teroris yang sangat
membahayakan itu polisi mampu menunjukkan kinerja yang patut dipujikan,
mengapa terhadap ormas-ormas itu polisi malah melempem? Apa gerangan yang
membuat polisi kerap terlihat lemah tak berdaya tatkala berhadapan dengan
kelompok-kelompok preman itu?
Di sinilah letak persoalannya. Bahwa polisi kerap bertindak setengah
hati terhadap para pelaku aksi premanisme yang mengatasnamakan agama
itu. Mengapa?
Karena negara ini, yang menjadi pengguna (*user*) polisi, sedang berproses
menjadi negara gagal (*failed state*). Menurut Noam Chomsky (2006),
setidaknya ada dua karakter utama yang membuat suatu negara dapat disebut
sebagai negara gagal. Pertama, negara yang tidak memiliki kemauan atau
kemampuan melindungi warganya dari berbagai bentuk kekerasan, dan bahkan
kehancuran. Kedua, tidak dapat menjamin hak-hak warganya, baik di tanah air
sendiri maupun di luar negeri; dan tidak mampu menegakkan dan mempertahankan
berfungsinya institusi-institusi demokrasi. Bukankah kedua karakter negara
gagal itu sangat jelas terlihat dalam Insiden Banyuwangi?

Sedangkan Robert I. Rotberg (2002) mengatakan, sindrom negara gagal
antara lain terlihat dalam keamanan rakyat yang tidak bisa dijaga, konflik
etnis dan agama yang tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara
terus menipis, ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam menghadapi masalah
dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri. Keamanan rakyat
(termasuk wakil rakyatnya) yang tak bisa dijaga, bukankah sindrom ini juga
terlihat dalam insiden 24 Juni itu?

Tetapi, apakah tak terlalu tergesa-gesa menyimpulkan Indonesia sebagai
negara gagal? Kalaulah Insiden Banyuwangi atau peristiwa-peristiwa seperti
itu amat jarang terjadi di negara hukum ini, bolehlah kita menilai
kesimpulan tersebut terlalu cepat. Tapi, jujurlah menjawab pertanyaan ini:
bukankah aksi yang melanggar hak asasi pihak-pihak lain seperti itu sudah
berulang kali terjadi dan aparat kepolisian selalu lambat dalam bertindak?
Bahkan mantan presiden Abdurrahman Wahid pun pernah diusir oleh kelompok
preman yang sama di Purwakarta, Jawa Barat, dalam acara ”Merajut Cinta yang
Terserak, Merangkai Silaturahim Menuju Purwakarta Wibawa Karta Raharja”
tahun 2006 silam.

Sekarang terpulang kepada pemerintah. Adakah *good will* untuk
menyelamatkan negara ini? Itulah yang harus dijawab, bukan dengan kata-kata,
tetapi dengan tindakan nyata.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *