Ba’asyir Terbukti Danai Teroris Aceh


Majelis Hakim akhirnya memvonis Abu Bakar Ba’asyir selama 15 tahun penjara.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya memvonis Abu Bakar Ba’asyir selama 15 tahun penjara. Hakim menilai Amir Jamaah Anshorut Tauhid terbukti menggerakkan pengumpulan dana kegiatan pelatihan terorisme di Aceh.

“Menyatakan terdakwa, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana terorisme,” kata Ketua Majelis Hakim Herri Swantoro, saat membacakan putusan, Kamis 16 Juni 2011.

Hukuman ini tidak main-main dijatuhkan oleh majelis hakim. Dalam pertimbangannya, majelis menyatakan Ba’asyir terbukti meminta dana kepada sejumlah orang untuk membantu program jihad. “Terdakwa meminta saksi Syarif Usman untuk membantu dana dalam program jihad,” kata Hakim Herri.

Syarif Usman, kata hakim, menyerahkan dana tersebut sebanyak dua kali masing-masing Rp100 juta.

Selain itu, hakim juga mengungkapkan, saksi Haryadi Usman terbukti menyerahkan uang sebesar Rp150 juta kepada terdakwa sebagai infaq. Kepada Haryadi, kata Hakim, terdakwa mengatakan bahwa membutuhkan dana untuk keperluan jihad. Hal tersebut disampaikan oleh terdakwa, kepada Haryadi di rumah makan Abu Nawas, Jakarta Timur.

Hakim mengatakan bahwa ada rencana terdakwa untuk melakukan jihad fi sabilillah. “Terdakwa telah menghasut saksi Syarif Usman dan Haryadi Usman untuk memberikan dana yang digunakan untuk jihad di Aceh yang membutuhkan dana besar,” kata Hakim.

Meski demikian, Hakim tidak melihat Ba’asyir memasok senjata beserta amunisinya ke kamp pelatihan militer di Janto, Nangroe Aceh Darusalam. Menurut hakim, senjata beserta amunisi dalam pelatihan militer di Aceh antara lain dipasok oleh Abdullah Sunata dan Abu Tholut.

Majelis menilai, hal yang memberatkan tuntutan karena Baasyir tidak mendukung upaya pemerintah memberantas terorisme. Selain itu, terdakwa juga dinilai pernah menjalani hukuman pada kasus serupa.

Tidak terlibatnya terdakwa dalam aktivitas pengeboman di tanah air seperti Bom Bali, Bom Marriot dan Bom Masjid Mapolresta Cirebon tidak akan jadi fokus pemeriksaan pertimbangan hakim.

Putusan hakim itu langsung ditolak Ba’asyir. “Saya dengan izin Allah menolak, karena keputusan ini zalim,” kata Ba’asyir. “Karena keputusan ini mengabaikan syariat Islam, dasarnya UU toghut, hanya didasarkan pada Undang-undang. Haram hukumnya saya menerima,” tegas dia.

Pihak pengacara pun langsung mengajukan banding. Achmad Michdan, selaku pengacara Ba’asyir, mengajukan protes. Menurutnya, ada seorang saksi yang dapat meringankan kliennya, namun tidak dihadirkan dalam persidangan. Saksi itu adalah Chairul Ghazali.

“Saksi Chairul Ghazali adalah saksi di dalam BAP, dia menyatakan ada proses penyiksaan terhadap tersangka dan saksi. Mestinya majelis menghadirkan saksi itu,” kata Michdan.

Selain itu, jaksa dengan kasusnya tidak menyatakan itu sebagai terbukti sebagai subsider tapi majelis justru berpendapat ini subsider. “Ini kontradiktif,” kata dia.

Tak hanya kubu Ba’asyir saja yang tidak puas atas vonis tersebut. Jaksa pun juga mengajukan keberatan. Karena, vonis ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan yang disampaikan jaksa pada 9 Mei 2011. Saat itu, Jaksa meminta agar majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada Ba’asyir seumur hidup.

Dalam tuntutannya, jaksa menilai Ba’asyir terbukti menyediakan dana untuk pelatihan militer di Aceh. Menurut jaksa, Ba’asyir juga menyebarkan paham yang dapat memicu tindak kekerasan atau aliran radikal. “Islam wajib berkuasa, bukan dikuasai, daulat atau kilafah islamiah adalah unsur pokok dalam Islam,” lanjut jaksa menirukan ajaran Ba’asyir.

Alasan jaksa, hakim memutus pasal subsider dalam vonis Ba’asyir. Sementara jaksa sebelumnya menuntut pasal lebih subsider yakni Pasal 14 jo Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme. Jaksa mengaku, ada beberapa bagian yang puas namun ada pula yang tidak puas. “Tidak puasnya masalah pasal berbeda dan hukumannya juga,” kata dia.

Meski demikian, jaksa mengaku cukup puas dengan semua fakta persidangan yang dipertimbangkan hakim.

Dijaga ketat
Persidangan tahap akhir Ba’asyir ini mendapat perhatian khusus dari kepolisian. Polda Metro Jaya menyiagakan sekitar 3.446 personelnya untuk menjaga sidang vonis Ba’asyir ini.

Petugas Polda Metro Jaya juga mensterilkan lokasi sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan cara memeriksa setiap pengunjung. Selain itu, Polda juga mendapatkan bantuan pengamanan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan menyiapkan penembak jitu untuk mengantisipasi aksi anarkis.

Peningkatan keamanan juga diberlakukan pada lokasi objek vital. Pengamanan itu dilakukan sebagai langkah antisipasi terhadap potensi gangguan keamanan.

Peningkatan penjagaan ini memang ada dasarnya. Karena sejumlah aksi teror merebak di sejumlah wilayah menjelang pembacaan vonis Ba’asyir.

Teror terbaru yang mengambil korban jiwa adalah penembakan terhadap polisi di Palu, Sulawesi Tengah, akhir Mei 2011. Dua anggota polisi, Bripda Januar Yudhistira dan Bripda Andi Irbar Prawiro Bhayangkara tewas di tempat. Satu polisi, Bripda Dedy Anwar luka parah.

Polisi menangkap beberapa orang terkait penembakan itu. Dua diantaranya tewas ditembak. Belakangan, polisi menyatakan para pelaku sebagai anggota Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), organisasi yang turut didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir. Namun, pada akhirnya, klaim polisi itu dibantah oleh JAT.

Tak hanya penyerangan menggunakan senjata. Polisi juga menuding gerombolan teroris juga berencana menyerang dengan racun sianida. Rencana itu terungkap setelah polisi menangkap enam tersangka teroris di Kemayoran, Jakarta Pusat, pada Jumat 10 Juni 2011 siang.

Mereka, berencana meracuni polisi di sejumlah tempat. Dari keterangan sementara yang diperoleh polisi, aksi teror racun di Jakarta itu dikendalikan dari Palu. “Mereka berencana memberikan racun di tempat-tempat makan polisi di Jawa Tengah, Jakarta, Jawa Timur, termasuk di Poso,” kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Anton Bahrul Alam.

Di dunia cyber, teror juga muncul. Akun twitter @Alhamazah menyebar ancaman pemboman sejumlah tempat. Hingga kini, polisi belum mampu mengungkapnya. Terakhir, Selasa 14 Juni kemarin beredar pesan singkat (SMS) ancaman dari nomor seluler 082123552496. Ancaman itu berbunyi:

Asslm. Wahai singa2 Tauhid Indonesia persiapkan mental, fisik & silah yg kalian punya. Utk Jihad Global yg dilaksanakan di PN Jaksel 16 Juni 2011. Kami telah memasang 36 peledak di seluruh Indonesia, yg akan meledak bersamaan ketukan palu hakim yg menghakimi Ust. Abu Bakar Ba’asyir. Sebarkan berita gembira ini“.

Ancaman tidak hanya diterima aparat kepolisian. Kapolda Metro Jaya, Irjen Sutarman, mengungkapkan adanya ancaman yang diterima majelis hakim yang menangani perkara Ba’asyir. Ancaman itu dikirim melalui SMS. “Memang benar ada ancaman terhadap perangkat sidang seperti hakim,” kata Sutarman.

Untuk mengamankan sidang ini, polisi harus merogoh koceknya sebesar Rp40 juta. “Jumlah biaya itu untuk setiap kali sidang.”

Kasus Ba’asyir dari Masa ke Masa
Ba’asyir ternyata sudah berulang kali tersandung dalam kasus terorisme dan makar. Ba’asyir atau biasa juga dipanggil Ustaz Abu dan Abdus Somad lahir pada tanggal 17 Agustus 1938 di Jombang, Jawa Timur. Dia adalah seorang tokoh Islam keturunan Arab yang merupakan salah satu pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu’min bersama dengan Abdullah Sungkar pada 10 Maret 1972 dan saat ini Ia bertindak sebagai pengasuh Pondok Pesantren Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Berlatar belakang sebagai santri di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur pada sekitar tahun 1959, Ba’asyir kemudian menamatkan kuliahnya di Fakultas Dakwah Universitas Al-Irsyad, Solo Jawa Tengah pada tahun 1963. Kariernya sebagai aktivis Islam dimulai saat ia berstatus sebagai mahasiswa dan bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Solo.

Ia selanjutnya menjabat sebagai sekretaris Pemuda Al-Irsyad Solo dan kemudian terpilih menjadi ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia pada tahun 1961 serta terpilih menjadi ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam. Pasca mengakhiri statusnya sebagai mahasiswa, Ba’asyir kemudian mendirikan Pondok Pesantren Al-Mu’min bersama Abdullah Sungkar, Yoyo Roswadi, Abdul Qohar H, Daeng Matase, dan Abdullah Baraja yang kemudian Ia didaulat untuk memimpin pondok pesantren tersebut.

Namun, perjalanan hidup Ba’asyir tidak berjalan dengan tenang. Dia terlibat dalam berbagai kasus, bahkan Ia pernah melarikan diri dan tinggal di Malaysia selama 17 tahun atas penolakannya terhadap penerapan asas tunggal Pancasila pada masa Orde Baru tahun 1982.

Pada tahun 1983, Abu Bakar Ba’asyir ditangkap bersama dengan Abdullah Sungkar. Ia dituduh menghasut orang untuk menolak asas tunggal Pancasila. Ia juga melarang santrinya melakukan hormat bendera karena menurut dia itu perbuatan syirik. Tak hanya itu, ia bahkan dianggap merupakan bagian dari gerakan Hispran (Haji Ismail Pranoto) salah satu tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia Jawa Tengah. Di pengadilan, keduanya divonis 9 tahun penjara.

Ketika kasusnya masuk kasasi, Ba’asyir dan Sungkar dikenai tahanan rumah pada 11 Februari 1985. Saat itulah Ba’asyir dan Abdullah Sungkar melarikan diri ke Malaysia. Kemudian pada tahun 1999, sekembalinya dari Malaysia, Ba’asyir langsung terlibat dalam pengorganisasian MMI yang merupakan salah satu dari Organisasi Islam baru yang bergaris keras. Organisasi ini bertekad menegakkan Syariah Islam di Indonesia.

Pada 10 Januari 2002, Kejaksaan Negeri (Kejari) Sukoharjo, akan melakukan eksekusi putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap pemimpin tertinggi MMI tersebut. Akan tetapi, pada 19 April 2002, Ba’asyir menolak eksekusi atas putusan Mahkamah Agung (MA), dan kemudian ia pada 20 April 2002 meminta perlindungan hukum kepada pemerintah apabila ia dipaksa menjalani hukuman sesuai putusan kasasi MA tahun 1985.

Sebab, dasar hukum untuk penghukuman Ba’asyir, yakni Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Subversi kini tak berlaku lagi dan pemerintah pun sudah memberi amnesti serta abolisi kepada tahanan dan narapidana politik (tapol/napol).

Selanjutnya, pada 8 Mei 2002, Kejagung akhirnya memutuskan tidak akan melaksanakan eksekusi terhadap Abu Bakar Ba’asyir atas putusan Mahkamah Agung (MA) tersebut.

Namun, Ba’asyir belum bisa bernapas lega. Dia kembali dikaitkan dengan aksi terorisme. Pada 18 Oktober 2002, Ba’asyir ditetapkan tersangka oleh polisi menyusul pengakuan Omar Al Faruq kepada Tim Mabes Polri di Afghanistan juga sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali. Ia terbukti tidak bersalah, namun Ba’asyir tetap dijerat dengan pasal pemalsuan KTP dan akhirnya divonis 1,5 tahun penjara oleh Mahkamah Agung.

Kemudian, pada 28 Februari 2003, Ba’asyir kembali dituduh terlibat peledakan bom Malam Natal tahun 2000, berencana membunuh Presiden Megawati dan mencoba menggulingkan pemerintahan yang sah atau makar.

Tahun berikutnya, Ba’asyir kembali berurusan dengan hukum. Tepatnya pada 30 April 2004, selepas dari Rutan Salemba, Ba’asyir ditahan kembali di Mabes Polri dengan tuduhan terlibat bom Marriott I dan bom Bali II.

Tepatnya pada 3 Maret 2005, Ba’asyir dinyatakan bersalah atas konspirasi serangan bom Bali pada tahun 2002 dan divonis 2,6 tahun penjara, akan tetapi ia dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan terkait dengan bom pada tahun 2003.

Selanjutnya, pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 2005, masa tahanan Ba’asyir dikurangi 4 bulan dan 15 hari dan kemudian Ia dibebaskan pada tanggal 14 Juni 2006.

Dan yang terbaru, Senin, 9 Agustus 2010 Baasyir kembali ditangkap di Kota Banjar, Jawa Barat dalam perjalanan menuju Jawa Tengah dengan tuduhan terlibat dalam gerakan teroris di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Ba’asyir dituntut pidana seumur hidup dalam sidang Senin, 9 Mei 2011.

JPU mengatakan, Ba’asyir dianggap telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal penyediaan dana pelatihan militer di Aceh

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *