Substitusi Sorgum untuk Pakan dengan Keekonomian, Nutrisi


Substitusi Sorgum untuk Pakan dengan Keekonomian, Nutrisi

dilaporkan: Setiawan Liu

 

 

 

 

 

 

 

 

Jakarta, 28 September 2020/Indonesia Media – Substitusi tepung sorgum untuk animal feed (pakan) harus mengacu pada nilai keekonomian dan nutrisi untuk pertumbuhan dan kelangsungan ternak dan ikan. Pakan adalah aspek penting dalam proses budidaya, dan menghabiskan sebagian besar biaya budidaya sampai 60 – 70 persen dari keseluruhan biaya produksi. Sisanya, 30 persen untuk komponen biaya listrik, bibit, tenaga kerja dan lain sebagainya. “Bahan utama pakan ikan, (yakni) tepung ikan, minyak ikan dan karbohidrat. Cost paling kecil ada pada karbohidrat. Untuk pakan udang, menggunakan tepung terigu. Kalau (terigu) disubstitusi dengan sorgum, pelaku usaha, pembudidaya harus memperhitungkan keekonomian, efisiensi harga dan nutrisi yang bagus,” Ketua Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) Wajan Sudja mengatakan kepada Redaksi.

Sorgum merupakan salah satu komoditas yang menarik untuk diselami lebih dalam. Memiliki karakter tanaman yang kuat, tahan kering, beresiko kegagalan produksi rendah dan input pertanian yang rendah. Sorgum batang manis (Sorghum bicolor L) mudah ditemukan di Indonesia. Di Bali, sorgum ini dikenal dengan nama Jagung gimbal. Masyarakat Bali sudah mengolah biji sorgum menjadi tepung sorgum untuk dijadikan jajanan khas Bali. Salah satu lokasi percontohan budidaya sorgum yang dipelopori oleh BPTP Bali ada di Desa Tiga, Bangli. “Untuk success story nya, (negara) Norwegia dengan salmonnya. Tahun 1985, FCR (feed convertion ratio) salmon 1 : 1,8 (satu kilo salmon butuh 1,8 kilo pakan). Secara bertahap, FCR turun menjadi 1 : 1,2 (satu berbanding satu koma dua), satu kilo salmon butuh 1,2 kilo pakan). Kalau kita bisa seperti Norwegia, terutama untuk udang, sektor perikanan Indonesia bisa berdaya saing. Kalau cost tidak turun, kita sulit bersaing dengan pasar dunia,” tegas Wajan.

Lebih jauh lagi biaya pakan bisa diturunkan jika dilakukan pemuliaan induk ikan untuk menghasilkan benih unggul yang irit pakan. Sebagai contoh berkat benih unggul hasil selective breeding, Norwegia berhasil menurunkan FCR. Biaya budidayanya di Norwegia akhirnya turun dari NOK 70/kg (Rp 140.000/kg) menjadi hanya sekitar NOK 15/kg (Rp 30.000/kg). Sehingga harga ikan salmon saat ini CNF negara tujuan ekspor turun ke 7 US Dolar per kilogram. “Setiap generasi (budidaya), dari induk yang baru menjadi lebih irit 15 persen. Setelah 16 generasi, terakumulasi (penghematan biaya produksi) sehingga industry perikanan Norwegia berdaya saing tinggi. Kita bisa mulai dengan tepung sorgum untuk substitusi (pakan),” tegas Wajan.

Di sisi lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) seharusnya mendesain Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Direktorat Pakan untuk mengembangkan teknologi pakan dan benih unggul. Dengan demikian, Direktorat tersebut bisa fokus pada upaya penurunan biaya pakan melalui penurunan FCR. Tetapi sejak 10 tahun belakangan ini, Direktorat Pakan seakan diabaikan. Direktorat Pakan KKP seyogyanya bisa menurunkan biaya bahan baku pakan, salah satunya tepung terigu yang diimpor. Cara yang efektif yakni dengan  menerapkan HS (harmonized system) Codes yakni pembedaan grade tepung terigu. “Antara terigu kelas A untuk kebutuhan industri roti dan mie dengan terigu kelas C untuk kebutuhan pakan ternak dan pakan ikan harus dibedakan,” tegas Wajan.

Jika ada HS number yang berbeda untuk tepung terigu dengan kualitas berbeda maka industri tepung Indonesia tidak perlu khawatir akan terjadi rembesan. Terigu kelas C yang ditujukan untuk konsumen, secara teknis bisa diawasi oleh BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan). Biaya logistik Indonesia sangat mahal karena kondisi geografis, yakni kepulauan. Dampaknya, ada inefisiensi pada logistik baik sisi supply chain produksi maupun supply chain ekspor. Sebagai contoh, banyak ikan dari hasil budidaya maupun dari tangkapan pasarnya ada di Asia bagian utara, terutama China dan Jepang, selama ini dikirim dengan cargo udara dari DPS (I Gusti Ngurah Rai Bali) atau CGK (Cengkareng Jakarta). Kedua bandara di bagian selatan Indonesia timpang karena produk asal dari bagian utara, yakni Manado (Sulawesi Utara), Morotai (Maluku Utara), Sorong (Papua), Tarakan (Kalimantan Utara). “Sehingga ongkos kirim ekstra ke DPS atau ke CGK membebani pelaku usaha. Jika ada penerbangan langsung dari Manado – Tokyo, maka biaya kirim tuna segar sashimi grade dari Bitung bisa turun sekitar 50 persen dari Rp 50 juta per ton menjadi hanya Rp 25 juta per ton. Begitu juga jika ada penerbangan langsung dari Tarakan atau Balikpapan ke Shanghai, maka biaya kirim kepiting hidup bisa turun sekitar 60 persen dari Rp 65 juta per ton menjadi hanya Rp 25 juta per ton,” kata Wajan Sudja. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *