Petani Pandeglang, Manufacturing Makanan Kerjasama Olah Talas dan Porang untuk Beras


Petani Pandeglang, Manufacturing Makanan Kerjasama Olah Talas dan Porang untuk Beras

dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 30 Januari 2021/Indonesia Media – Concern dengan gerakan ketahanan pangan masyarakat dan penciptaan nilai tambah (value addition), petani kabupaten Pandeglang, Banten membangun kerjasama dengan perusahaan manufacturing makanan PT Guataka terutama mengandalkan bahan baku talas beneng dan porang. Pada masa pandemi covid, penanaman talas dan porang juga diharapkan menjadi bagian program diversifikasi pangan. “Pemanfaatan porang dan talas terutama untuk beras menciptakan nilai tambah. Permasalahan terutama bibit porang yang mahal. Pembibitannya ada di Pandeglang, tapi terbentur dengan harga,” General Manager PT Guataka, Tjokro Husni mengatakan kepada Redaksi.

Penciptaan nilai tambah pada porang dan talas diyakini lebih efisien ketimbang pabrik carrageenan (hasil olahan rumput laut). Tepung porang dan talas diproses tanpa perlu fisika dan kimia, melainkan cukup mekanika. Khusus porang, mekanisasi dibutuhkan untuk pemisahan unsur oksalat dengan glukomanan (tepung konyaku). Tepung tersebut yang menjadi bahan baku makanan di Jepang terutama dalam bentuk mie dan beras shirataki. Kerjasama yang lebih intens antara CV Putra Petani Gunung Karang (PPGK) Pandeglang dengan PT Guataka lebih pada mekanisasi. “Kerjasama ini masih butuh kerja keras untuk pengolahan porang dan talas. Harga beras shirataki lebih mahal dibanding beras biasa. Beras analog dari talas juga lebih mahal. Pemasarannya mungkin segmented, karena beras analog dan shirataki kan sangat dibutuhkan untuk program diet dan penderita diabetes,” kata Tjokro Husni.

Di tempat yang sama, Direktur CV Putra Petani Gunung Karang, Ardi Permana mengatakan bahwa 60 bibit porang per kilo ukuran kecil bisa didapat di Pandeglang. Penanaman porang juga harus telaten untuk menghindari pembusukan. Selama ini, ada saja beberapa petani datang ke workshop Gunung Karang untuk kerjasama tanam porang. Selain, harga bibit porang juga belum pas. Harga pada musim kemarau dan musim hujan berubah ubah. “Kalau talas dengan kandungan gizinya, masih campur dengan tepung aren. Pencampuran untuk beras, dikerjakan oleh ibu-ibu di Desa Cilaja (Pandeglang). Tiga kuintal talas untuk satu kuintal beras analog. Sehingga rationya 3 : 1 (tiga berbanding satu), idealnya dua berbanding satu,” kata Ardi.

Pengolahan talas PPGK menjadi beras analog masih tradisional, tanpa mekanisasi (menggunakan mesin produksi). Contohnya, proses pengeringan talas dengan dijemur di pekarangan workshop PPGK. Tapi talasnya tidak pernah disimpan karena proses produksi berlangsung terus menerus. “(produksi) selalu habis. Kami produksi hari ini, besoknya habis,” kata ketua Asosiasi Pelaku Usaha Talas Beneng (Asputaben) Pandeglang.

Karena permintaan meningkat, proses penanaman terus ditingkatkan. PPGK sudah hampir menanam sampai 400 hektar luas lahan di beberapa daerah. Penyebaran bibit sampai ke kab. Karo, Dairi, Pakpak Bharat (Sumatera Utara), Lampung, Palembang. Selama ini ekspor talas dalam bentuk frozen terutama Belanda. Sehingga PPGK terdorong membuat beras analog. Untuk bagian daun talas untuk bahan baku tembakau non-nikotin, idealnya dibutuhkan sekitar 300 ton/bulan. Umbi talas diekspor ke Korea, Australia, Belanda. “Kalau frozen, prosesnya talas dikupas saja. Talas beku diekspor ke Belanda. Mereka (Belanda)  bikin daging nabati (gluten), mereka yang untung. Serapannya sekitar 70 ton per bulan (Belanda). Beras shirataki (dari porang), warnanya putih bening. Kalau talas beneng juga tetap putih. Porang kan tidak beda jauh dengan talas,” kata Ardi.

Prinsip zero waste (nir limbah) juga berlaku pada talas beneng. Proses pencucian talas beneng, lumpurnya akan lepas. Kulitnya (talas) bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak, cacing, budidaya maggot BSF (black soldier fly) untuk hewan ternak. Maggot merupakan larva lalat BSF. Kalau ada sampah tumpukan bekas talas, ada alat BSF, bisa dimanfaatkan untuk maggot. Belatungnya untuk burung. Antara lalat BSF dan lalat hijau berbeda. Lalat bertelur  menjadi larva, ada proteinnya. “Sisa kulit (talas) jadi kompos, sehingga banyak hasilnya. Maggot bisa dicampur limbah, jadi pakan berprotein tinggi. Bisa untuk ikan, burung,” kata Ardi. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *