Pada 01 Juni 2010 lalu Chairman Bakrie Group Aburizal Bakrie dengan pongahnya mengatakan, “Sedikitpun saya tidak merasa bersalah dalam kasus lumpur Lapindo karena itu fenomena alam”. Barangkali dari dasar pemikiran yang baru sekarang dinyatakan secara terbuka inilah yang membuat pihak Lapindo Brantas sampai kini senantiasa tidak serius dalam memberi ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo.
Kita pun jadi bertanya, jadi kalau sedikitpun pihak Bakrie tidak merasa bersalah, apakah ganti rugi yang
diberikan selama ini lepas dari jumlahnya yang sangat tidak memadai , hanya berlandaskan “Belas kasihan”, atau dianggap sebagai sekadar sumbangan saja?
Berbeda sekali dengan apa yang terjadi dalam bencana lingkungan tumpahnya minyak yang dikelola British Petroleum (BP) di Teluk Meksiko yang telah mencemari laut dan pesisir Amerika bagian
Selatan. Pada 16 Juni 2010 Chairman BP Carl-Henric Svanberg dengan sedih menyatakan permintaan maafnya kepada rakyat dan pemerintah AS. BP menyatakan bertanggung jawab dan akan mengganti semua kerugian yang diakibatkannya dengan menyediakan dana sebesar US $20 miliar (sekitar Rp.183,17 triliun).
Selain minta maaf dan menyediakan anggaran sebesar US $20 miliar itu, BP juga menyatakan membatalkan pemberian dividen US $2,6 miliar kepada para pemegang saham, yang seharusnya
dibagikan pada 21 Juni ini. Demikian juga untuk pembagian dividen untuk triwulan kedua dan ketiga, ditangguhkan.
Sebelumnya berkali-kali Presiden Barrack Obama menegecam keras dan memerintahkan BP agar mengganti semua kerugian yang diakibatkan kecerobohan BPÂ dalam mengelola pengeboran minyak di
laut lepas itu. Setiap kali menyatakan kecaman itu ketika mengucapkan British Petroleum, Obama menekan intonasinya. Terutama pada kata “ British” Kecaman yang keras terus-menerus itu sampai
membuat pemerintah dan warga Inggris – negara asal BP, menjadi gerah.
Membuat Obama merasa perlu menjelaskan bahwa yang dia kecam adalah BP sebagai sebuah perusahaan, bukan kepada negara dan warga Negara Inggris. Bagaimanapun, sikap BP yang mau
bertanggung jawab penuh terhadap pencemaran minyak tersebut, termasuk penangguhan pembagian diveden tersebut di atas, selain karena pihak pemilik BP benar-benar merasa bersalah dan dengan jantan memikul akibatnya, juga tak lepas dari sikap pemerintah AS (PresidenObama) yang benar-benar tegas dan tanpa kompromi berhasil menekan BP sampai pada komitmen membayar semua ganti rugi tersebut.
Presiden Obama memerintahkan kepada BP untuk membayar semua kerugian atas bencana yang diakibatkan oleh BP tersebut. Meskipun tak akan sampai membangkrutkan salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia ini, besarnya jumlah kerugian yang harus dibayar oleh BP sudah pasti akan menggoyahkan keuangannya. Yang jelas sudah terjadi adalah anjlok harga saham BP di bursa saham.
Setelah pihak BP menyampaikan komitmennya untuk membayar semua ganti rugi yang diakibatkan itu, respon investor di bursa positif, ditandai dengan naiknya harga saham BP di bursa.
BP saat ini dalam posisi yang lemah, stress dan depresi, karena sampai saat ini upaya untuk menghentikan pencemaran minyak itu belum juga berhasil, sementara kerugian yang ditimbulkan semakin lama semakin besar.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Kalau di Amerika Serikat, Presiden Obama memerintahkan BP untuk membayar semua ganti rugi, maka di Indonesia Presiden SBY “ Diperintah” oleh LB (Lapindo Brantas c.q. Aburizal Bakrie) untuk membayar kerugian yang diakibatkan lumpur Lapindo memakai uang negara.
Kalau di Amerika Serikat bencana tersebut membuat harga saham BP anjlok terendah dalam sejarah, maka di Indonesia, meskipun tidak berkorelasi dengan lumpur Lapindo, saham-saham Grup Bakrie
justru perkasa menguasai bursa saham (bahkan “Menyetir” gerakan harga saham di bursa).
Kalau di Amerika Serikat bencana tersebut membuat BP kelimpungan, maka di Indonesia Bakrie justru semakin kaya, semakin kuat, dan semakin berkuasa. Itulah realitas di negeri ini. Banyak realitas yang ironis, yang justru pemeran utamanya adalah mereka yang disebut elit politik (suatu sebutan yang kontradiksi). Ketika penguasa berkoalisi dengan pengusaha, yang sebenarnya lebih pas disebut
berkonspirasi ketimbang berkoalisi. ***