Latarbelakang teknik sipil Azmi Abubakar dengan Museum Peranakan Tionghoa
dilaporkan: Setiawan Liu
Jakarta, 27 Mei 2022/Indonesia Media – Azmi Abubakar, pemilik Museum Peranakan Tionghoa di BSD Serpong, Tangerang Selatan dengan latarbelakang pendidikan teknik sipil meyakini irisan-irisannya dengan upaya rekonstruksi rumah kebangsaan. Suku Tionghoa sempat tidak masuk sejarah Indonesia yang sesungguhnya penuh keanekaragaman memori kebangsaan. “(ahli teknik) sipil lebih pada (rancangan struktur bangunan) hitung-hitungannya. Saya memaknai museum (Peranakan Tionghoa) sebagai bagian proses rekonstruksi rumah kebangsaan, yang sangat penting,” Azmi Abubakar mengatakan kepada Redaksi.
Keberadaan suku Tionghoa di Indonesia, satu hal yang (sempat) tidak masuk sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Keberadaan museum juga menjadi bagian penting untuk rekonstruksi rumah kebangsaan. “Saya kira ada relevansi antara teknik sipil dengan museum peranakan Tionghoa. Ahli teknik sipil kan bicara konstruksi. Kalau membandingkan dengan arsitek, (insinyur) sipil bertanggungjawab pada hitung-hitungan. Arsitek kan lebih pada estetika. Saya memaknai museum sebagai bagian rekonstruksi dengan hitung-hitungannya,” kata alumni fakultas teknik sipil dan perencanaan ITI Serpong, Banten.
Museum Peranakan Tionghoa menempati ruko dua lantai di Ruko Golden Road C28/25 di Jalan Pahlawan Seribu, BSD, Tangerang Selatan. Ruangannya sebenarnya cukup luas. Namun, karena total koleksi Azmi lebih dari 35 ribu item, lantai dasar sebagai tempat memajang koleksi terasa sempit. Koleksi museum Peranakan Tionghoa tidak melulu dibayangi keterbatasan dana untuk operasional. Kendatipun, ia mengaku bukan pengusaha besar yang memiliki dana untuk mensubsidi operasional museum. “Saya kan terbatas untuk urusan keuangan. Tapi saya mendorong, bahkan melampaui dari apa yang saya miliki untuk pengembangan (museum). Saya sekarang sudah berpikir untuk membeli tempat, dan tidak kontrak lagi (bangunan ruko Museum). Kami berusaha untuk tidak kontrak lagi, tetapi tetap menolak bantuan dari siapapun. Kami mau independen,” kata pria kelahiran Maret 1972.
Di kedua sisi ditempatkan lemari dengan tinggi hampir menyentuh langit-langit. Salah satu lemari berisi ratusan komik Tionghoa. Di bagian tengah ada dua rak besar dengan koleksi beragam buku, dokumen, dan sejenisnya tentang kalangan Tionghoa di Indonesia. “Dari semua yang saya miliki, mungkin aset terbesar yakni museum. Karena kami mengeluarkan (uang) terus, paling besar (pengeluaran) untuk koleksi museum,” kata pemilik nama Tionghoa Lin Se Ming.
Supplier berbagai artefacts museum masih terus berdatangan. Kalau tagihan, setiap minggu pasti ada untuk belanja koleksi. Bahkan pernah satu minggu, belanja terus menerus. 2 – 3 hari per minggu, ia pasti mengeluarkan untuk untuk menambah koleksi. Kendatipun demikian, ia sudah berencana memindahkan lokasi museum ke tempat yang lebih luas, terintegrasi dengan kantornya. Harapannya, gedung baru bisa lebih nyaman untuk pengunjung, peneliti, siswa-siswa sekolah dan lain sebagainya. “Saya melihat, anak-anak sekolah datang dengan kendaraan bus. Tempat saya kan kecil yang sekarang ini. Sehingga saya harus cari tempat yang lebih luas. Rencana ke depan, tamu pengunjung bisa menginap. Kalau peneliti mau meneliti di museum, biaya terbesar kan akomodasi. Kegiatan penelitian kan nggak selalu mencari keuntungan. Hal-hal ini menjadi perhatian. Krn itu ujung tombaknya,” kata Azmi Abubakar saat ditemui di resto Petic Bistro, CityWalk Sudirman. (sl/IM)
Salut dan mantap. Hidup NKRI!
“Ahli teknik sipil kan bicara konstruksi. Kalau membandingkan dengan arsitek, (insinyur) sipil bertanggungjawab pada hitung-hitungan. Arsitek kan lebih pada estetika. ”
Berarti dengan kata lain pekerjaan arsitek itu ibarat seniman, lebih kepada estetika tata letak saja.