Kasus GKI Yasmin: Putusan Kasasi MA Tak Ada Nilainya di Mata Pemkot Bogor


Bogor – Puluhan jemaahGereja Kristen Indonesia sektor Yasmin meminta petugas supaya memperkenankan mereka memasuki rumah ibadah untuk menggelar misa. Namun, keinginan itu terhenti persis di depan blokade petugas yang menjaga pintu masuk ke rumah ibadah itu.

Juru Bicara GKI Yasmin, Bona Singgalinggi meminta supaya jemaah diperkenankan mengelar misa di dalam gereja. Namun, petugas tetap menolak permintaan itu. Untuk meluluhkan hati petugas, jemaah membawa bunga sebagai lambang cinta kasih. Salah seorang jemaah menunjukkan foto copy salinan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan penolakan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Pemerintah Kota Bogor atas pembekuan Izin Mendirikan Bangunan GKI Yasmin.

Selain polisi, tampak Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Bogor ikut menjaga tempat itu. Kepala Bagian Operasi Mapolres Bogor Kota Komisaris Polisi Irwansyah meminta kepada jemaah untuk menggelar misa di lokasi yang sudah disiapkan yaitu di Gedung Haromi. ”Kami sudah siapkan tempat untuk jemaah menggelar misa,” ujar Irwansyah.

Karena tidak diperkenankan menggelar misa di dalam rumah ibadah, dipimpin oleh pendeta Gomar Gultom, jemaah akhirnya menggelar misa di Jl. Kh Abdullah bin Nuh. Seusai menggelar misa jemaat membagikan bunga kepada petugas.

Diki Sudrajat

Peristiwa yang diwartakan Tempo Interaktif ini merupakan kejadian serupa yang kesekian ratus kali terjadi di NKRI yang katanya, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa alasan tidak mempunyai izin yang menyebabkan kelompok masyarakat tertentu tidak setuju dibangunnya sebuah gereja selama ini adalah sebuah alasan terselubung alias kamuflase saja.

Pada peristiwa GKI Yasmin ini, pertama-tama kelompok masyarakat tertentu itu mempermasalahkan perizinan (mendirikan bangunan rumah ibadah). Ternyata izinnya ada. Mereka pun mendesak Pemerintah Kota Bogor yang telah “telanjur” mengeluarkan izin itu agar membatalkannya dengan alasan tandatangan persetujuan pendirian gereja oleh warga sekitar telah didapat dengan cara memperdayai, rekayasa, menyogok, dan menipu warga.

Sebuah tuduhan yang tidak bisa dibuktikan secara hukum (buktinya sampai di MA, GKI Yasmin tetap dimenangkan) sekaligus sebuah fitnah keji, dan tidak masuk logika. Bagaimana bisa pihak gereja sedemikian bodoh dan berani melakukan cara-cara yang jelas-jelas merupakan tindakan kriminal, dan dilarang oleh ajaran agamanya?

Mereka adalah minoritas tidak akan berani melakukan hal sedemikian bodoh dan konyol. Karena bagaimanapun jika itu benar diperoleh dengan cara menipu, pasti akan ketahuan segera begitu gereja dibangun.

Dari pihak GKI Yasmin menjelaskan bahwa IMB GKI Yasmin diterbitkan Pemkot Bogor pada 13 Juli 2006. Tetapi kemudian dibatalkan kembali setelah gedung gereja selesai dibangun, pada 4 Februari 2008. Ini dilakukan oleh Pemkot Bogor setelah didemo terus-menerus oleh kelompok masyarakat tertentu karena gedung gereja tersebut dibangun di jalan yang kemudian berubah namanya menjadi Jalan KH Abdullah bin Nuh.

Rupanya mereka tak sudi di atas nama jalan yang memakai nama Islami, ada sebuah bangunan gereja. Karena sebelumnya ketika nama jalan itu belum berubah menjadi nama Jalan Abdullah bin Nuh, yakni Jalan Lingkar Bogor Taman Yasmin, tidak ada masalah.

Barangkali, kalau nama jalan tersebut diubah menjadi nama jalan lainyang tidak bernuansa Islami, persoalan ini akan selesai?

Alasan yang selalu dikemukakan soal perizinan jelas-jelas merupakan alasan yang dibuat-buat. Yang benar adalah memang kelompok masyarakat ini intoleran terhadap kaum minoritas dalam menjalankan agamanya. Mereka memang tidak mau ada gereja di dekat mereka, atau di lokasi tertentu. Ada atau tidak ada izinnya.

Indikasinya sangat kuat; dengan setiapkali melakukan aksinya itu selalu membawa-bawa dan mengatasnamakan agamanya. Jelas, bagi mereka aksi tersebut adalah semacam misi suci untuk melawan kelompok masyarakat lain yang tidak seagama dan tidak sekeyakinan dengan mereka, dengan cara mengusir sejauh mungkin dari hadapan mereka.

Ironisnya pihak Pemerintah Kota Bogor pun sebagaimana terjadi di beberapa daerahtertentu, kepala daerahnya, termasuk polisinya pun tunduk kepada tekanan kelompok masyarakat yang selalu mengatasnamakan agama itu.

Sebenarnya mungkin saja bukan tunduk, tetapi malah kepala daerahnya mempunyai pandangan yang sama dengan aliran radikal yang dianut oleh kelompok masyarakat tersebut. Sehingga dengan sedemikian mudahnya pemerintah kota menjilat ludahnya sendiri, dengan membatalkan perizinan yang telah “telanjur” diberikan itu.

Pemerintah Kota bukan saja bergerak karena didesak, tetapi malah dengan penuh semangat, justru sangat aktif melakukan pemaksaan kehendak untuk menginjak-injak hak asasi warganegara yang kebetulan beragama Kristen, dan hendak menjalani haknya yang dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945 itu, hanya dengan mengandalkan sebuah Perda!

 

 

 

 

 

 

 

Ternyata bagi mereka memberi izin pembangunan dan usaha tempat hiburan, seperti karaoke, panti pijat, usaha spa jauh lebih mudah dan bermartabat daripada izin membangun gereja.

Ketika ada ratusan mini market yang dikabarkan tak berizin, bahkan tak ada SIUP-nya, pemerintah kota yang sama pura-pura baru tahu, untuk kemudian pura-pura tidak tahu.

Pada persoalan GKI Yasmin, Bogor ini, semula alasannya tidak mempunyai IMB. Tetapi setelah pihak gereja bisa menunjukkan IMB-nya. Alasannya beralih ke tuduhan pihak gereja telah menipu warga untuk memperoleh tandatangan persetujuan pembangunan gereja.

Setelah permasalahan IMB tersebut masuk sidang Pengadilan Tata Usaha Negara, gedung gereja tetap disegel oleh Pemkot Bogor. Membuat jemaat GKI Yasmin itu setiap hari Minggu, dan hari besar Kristen lainnya, terpaksa beribadah di trotoar.

Itupun masih saja dihalang-halangi dan diusir secara paksa. Seolah-olah peribadatan itu merupakan suatu tindak kejahatan di mata Pemkot dan kelompok masyarakat itu.

Alasannya trotoar bukan tempat ibadah. Jemaat GKI Yasmin harus menghormati hukum dengan menunggu putusan Pengadilan. Padahal yang disidangkan itu adalah masalah perizinan pembangunan dan penggunaan gedung GKI Yasmin itu. Bukan masalah boleh-tidaknya jemaat beribadah di lokasi tersebut. Mereka pun terpaksa beribadah di sana karena Pemkot Bogor memblokir gedung gerejanya.

Sangat keterlaluan, kalau untuk beribadah saja harus ada izin dari pemerintah. Atau harus menunggu putusan pengadilan.

Minta pihak GKI Yasmin agar menghormati hukum dengan menunggu putusan Pengadilan juga sebenarnya merupakan suatu kemunafikan dari pihak Pemkot dan mereka yang berkata demikian.

Buktinya ketika putusan Pengadilan terus memenangkan pihak GKI Yasmin sampai pada tingkat Kasasi (Mahkamah Agung), pihak Pemkot dan kelompok masyarakattertentu itu tetap saja bergeming dengan kehendak mereka untuk mengusir pihak gereja dari tanah mereka sendiri.

Untuk mengulur waktu, Pemkot Bogor mengajukan kasasi ke Mahkahamah Agung. Ketika menunggu proses permohonan PK ini, Pemkot punya alasan untuk menyampaikan argumen agar pihak GKI menunggu sampai hasil permohonan PK itu keluar. Padahal secara hukum permohonan PK tidak menunda eksekusi putusan kasasi.

 

 

Namun sampai ketika permohonan PK itu ditolak MA, pihak Pemkot tetap saja tidak mau tahu. Gereja tetap disegel, dan lokasi sekitarnya diblokir agar jemaat GKI Yasmin tidak bisa beribadah di sana.

Kesalahan pihak GKI Yasmin hanya satu: Hendak beribah menurut kepercayaan agama Kristennya. Itu rupanya terlarang di mata kelompok masyarakat tertentu itu denngan dibeking oleh Pemkot Bogor, plus pihak Kepolisian.

Belum pernah ada pembangkangan terhadap hukum sedemian berani dan terang-terangan sebagaimana dilakukan oleh Pemkot Bogor ini. Putusan Kasasi mereka jadikan alaskaki mereka, salinan penolakan permohonan PK dari MA mereka jadikan tisu untuk mengelap tangan kotor mereka, yang kemudian dibuang ke keranjang sampah.

Seperti yang sudah-sudah pula. Pemerintah Pusat pun diam sejuta bahasa. Presiden SBY yang berkali-kali menyatakan akan menindak mereka yang melanggar hak asasi orang lain untuk menjalani agamanya, ternyata tidak lebih dari pepesankosong alias gertak sambal belaka.

Maka penindasan terhadap penganut agama minortas pun terus berlanjut semakin intens dan berani. Sampai-sampai institusi pemerintah daerah pun secera terang-terangan berani melakukannya.

Menanggapi masih diblokirnya GKI Yasmin di Bogor, meskipun Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya telah memenangkan pihak GKI Yasmin, bahkan permohonan PK Pemkot Bogor telah ditolak, Menteri Agama Suryadharma Ali menjelaskankan kepada wartawan di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis, 17/3/2011 bahwa menurut keterangan yang dia dapat dari Bupati Bogor penyebabnya adalah karena belum ada sosialisasi kepada masyarakat setempat, sehingga msyarakat belum tahu,

Selanjutnya, Menteri Agama menjelaskan, “Ada rumor yang mengatakan bahwa tanda tangan izin pembangunan rumah ibadah warga sekitar telah dipalsukan pihak GKI Yasmin (Kompas.com, 17/3/2011).

Padahal, dua hari sebelumnya (15/3), Menteri yang sama, orang yang sama ini, mengatakan sebaliknya. Dia meminta penyegelan GKI Yasmin, Bogor itu tidak lagi dilakukan. Karena gereja itu sudah memiliki izinmendirikan bangunan.

“Harus diberikan kesempatan untuk membangun gereja. Yah tidak ada masalah,” kata Suryadharma yang ditemui di Balai Kartini, Jakarta (Media Indonesia Online, 15/03/2011).

Entah kenapa sedemikian cepat Menteri Agamaini melipat lidahnya sendiri, dengan memberi pernyataannya seperti dikutip Kompas.com pada 17 Maret itu. Apakah karena dia mendapat tekanan juga? Rasanya tidak mungkin. Yang mungkin justru inilah sebenarnya sikap aslinya. Diam-diam sebenarnya mendukung penyegelan gedung GKI Yasmin itu.

Dari penjelasannya ini kita bisa tahu Menteri Agama macam apa kali ini yang dipercayakan oleh SBY.

Jelas-jelas itu suatu pembohongan publik yang dilakukan secara konyol.

Bagaimana bisa Suryadharma Ali memberi penjelasan seperti ini. Kata dia, Bupati Bogor bilang penyebab masih disegel dan diblokirnya GKI Yasmin, Bogor, adalah karena masih kurang sosialisasi kepada masyarakat.

Padahal jelas-jelas, dan mustahil dia tidak tahu, yang melakukan penyegelan dan perintah pemblokiran tersebut justru dari pihak pemerintah daerah kota Bogor, yang tidak lain adalah pihak Bupati Bogor itu sendiri.

Sedangkan pernyataan lebih lanjut yang mengatakan menurut isu-isu yang beredar bahwa tandatangan persetujuan dari masyakarat sekitar gedung GKI Yasmin ternyata telah dipalsukan oleh pihak GKI, merupakan suatu pernyataan yang sangat, sangat tidak pantas diucapkan oleh seorang pejabat negara — apalagi itu Menteri Agama.

Bagaimana bisa seorang menteri berbicara hanya berdasarkan isu, sedangkan fakta adanya Keputusan Kasasi MA, dia abaikan?

Selain sangat tidak menghormati keputusan Kasasi Mahkamah Agung, pernyataan yang berdasarkan isu seperti itu tak pantas diucapkan seorang menteri. Pernyataan tersebut jelas sekali sebagai suatu pernyataan keberpihakan dan provokatif.

Seperti yang saya katakan di atas, bahwa isu tentang penipuan untuk memperoleh tandatangan itu (bukan pemalsuan tandatangan seperti yang dikatakan Suryadharma Ali) hanyalah suatu bentuk upaya rekayasa untuk memperkuat argumen mereka melakukan pelarangan berdirinya gedung gereja di sana.

Semua itu telah dipatahkan lewat persidangan pengadilan. Termasuk dan terpenting adalah keputusan final secara hukum oleh MA. Kenapa, kok, sekarang Menteri Agama seolah-olah mau memutar kembali persoalan kembali ke awal lagi?

Rasanya orang akan percaya, kalau ada yang mengatakan bahwa diam-diam Suryadharma Ali secara pribadi pun sebenarnya diam-diam mendukung supaya GKI Yasmin tidak diperbolehkan membangun gereja dan beribadah di lokasi tersebut.

Dengan katalain Suryadhama Ali sesungguhnya tidak merasakan dirinya sebagai Menteri Agamayang seharusnya berdiri di tengah-tengah para pihak yang bersengketa, melainkan merasakan dirinya adalah Menteri Agama Islam dengan paham tertentu. Sealiran dengan kelompok masyarakat yang antipembangunan GKI Yasmin itu, serta gereja-gereja di lokasilainnya.

Pernyataan Suryadharma Ali selaku Menteri Agama ini telanjur dikelaurkan, dan sekarang telah dijadikan pegangan kembali oleh phak Pemkot Bogor beserta kelompok masyarakatpenantang pendirian gedunggereja itu. Maka sepertinya mereka hendak memutar kembali persoalan tersebut kembali dari awal dengan mempermasalahkan isu-isu tentang penipuan dan pemalsuan tandatangan oleh pihak GKI Yasmin itu.

Bagaimana dengan Kasasi MA? Akan dianggap angin lalu oleh mereka. Toh, tidak ada yang perluditakutkan? Polisi mendukung mereka. Menteri Agama juga. Presiden? Hanya bisa gertak sambal saja.

Secara tidaklangsung, dukungan penyegelan gedung gereja itu pun datang dari Kementerian Dalam Negeri.

Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Reydonizar Moenek mengatakan kasus GKI Taman Yasmin ini tidak bisa dilihat sebagai suatu kasus hukum semata.

“Pertanyaan kita siapa yang akan bertanggungjawab manakala terjadi gangguan keamanan ketertiban,” kata Reydonizar.

Rupanya di mata dia itu sepertinya boleh-boleh saja mengabaikan putusan Kasasi MA itu. Dengan alasan ini bukan persoalan hukum saja. Jadi, maksudnya ini persoalan apa, kalau begitu?

Logika yang digunakan pun sangat rancu. Menurutnya, dengan alasan keamanan, maka gereja harus tetap disegel menurut kehendak sekelompok masyarakatitu. Karena kalau tidak dituruti, kelompok masyarakatitu akan membuat onar. “Siapa yang harus bertanggung jawab, kalau itu terjadi?” Begitulogikanya.

Jawaban yang benar: Ya, tentu saja yang bertanggung jawab adalah pemerintah setempat dan polisi, dong! Mereka harus bisa menjamin dan melindungi setiap warganegara menjalankan hak asasainya, menjalani agamanya sesuai dengan kepercayaannya itu. Kalau sampai ada kelompok masyarakat yang mengganggu seharusnya mereka itulah yang ditindak. Karena merekalah yang melanggar hukum. Bukan orang yang hendak bersembahyang/beribadah itu.

Kalau mau pakai logika Reydonizar itu. Okelah, kalau ada yang merampok anda di depan polisi. Polisi boleh diam saja, dong?! Kemudian nanti polisi bilang sama anda, daripada nanti anda disakiti, siapa yang tanggung jawab? Jadi, sebaiknya anda mengalah saja sama penjahatnya. Serahkan semua barang yang dia minta.

Mabes Polri pun punya alasan membantu Pemkot Bogor mengamankan penyegelan gedung GKI Yasmin itu. Katanya tindakan Polri itu tidak melanggar putusan MA.

Mabes Polri bilang, Polri tidak ikut campur tangan meskipun ikut membantu mengamankan penyegelan dan pemblokiran tersebut. Alasannya, karena penyegelan dan pemblokiran itu berdasarkan Peraturan Daerah Pemkot Bogor. Polri bertugas mengamankan putusan Pemkot Bogor tersebut. Lha, terus Putusan Kasasi MA, dianggap Polri sebagai apa? Masakan mereka mengira Perda lebih tinggi kedudukannya daripada Putusan MA?

Saat ini aadalah sat-saat terpenting bagi jemaat Kristen karena menjelang perayaan Hari Paskah. Yang sebenarnya merupakan hari besar terpenting umat Kristen di dunia.

Dari masa pra-Paskah sekarang ini, sampai dengan pada peribadatan perayaan Paskah nanti hampir dapatdipastikan jemaat GKI Yasmin, Bogor ini akankembali beribadah di jalanan, atau di trotoar. Itu pun tak akan luput darigangguan, dan pengusiran, yang dilakukan oleh sekelompok masyarakattertentu dibeking/dibantu oleh Pemkot dan Kepolian Bogor, seperti selama ini telah terjadi.

Seolah-olah peribadatan yang dilakukan jemaaat GKI Yasmin itu merupakan suatu perbuatan pelanggaran hukum, sehinga ditindak aparat.

Seterusnya bagaimana? Skenario untuk mengulangi apa yang dialami jemaat HKBP di Ciketing di bulan September 2010 lalu akan terulang.

Ini terlihat dari tindakan Pemkot Bogor yang menawarkan kepada GKI Yasmin agar mereka mau memindahkan gerejanya di tempatlain. Sedangkan semua biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak GKI Yasmin akan diganti. Pemkot akan membeli kembali lahan di Taman Yasmin itu. Asalkan pihak GKI Yasmin mau pindah dari sana.

Persis dengan skenario yang dilakukan terhadap HKBP di Ciketing di September 2010 lalu, yang sempat bikin heboh, sampai tiga pemuka gerejanya dianiaya dan masuk rumah sakit.

Waktu itu pula, niat jemaat HKBP Ciketing untuk tetap beribadah di lahan kosong milik mereka sendiri di Ciketing Asem, Mustika Jaya, Kota Bekasi, pupus. Setelah melewati masa-masa penolakan yang serba kontroversial. Bahkan sampai tiga pemuka gereja HKBP itu dianiaya sampai masuk rumah sakit. Rapat bersama Gubernur Jawa Barat, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Walikota Bekasi, dan Kepala Kepolisian Resor Metro Bekasi, pada 15 September 2010, diputuskan bahwa jemaat HKBP dilarang beribadah di lahan mereka itu, dan harus pindah ke lokasi yang telah ditentukan pemerintah daerah setempat.

Sekarang giliran jemaat GKI Yasmin diperlakukan sama. Meskipun mereka mempunyai kekuatan hukum berupa putusan Kasasi MA dan salinan penolakan permohonan PK, yang menjamin secara hukum hak mereka beribadah di lahan mereka sendiri, di dalam gedung gereja sendiri.

Namun semua kekuatan hukum berupa putusan final MA itu tidak punya arti apapun di mata Pemkot Bogor. Jangankan Kasasi MA, Pancasila dan UUD 1945 saja tak ada harganya di mata mereka, kok! ***

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *