Integrated Farming, Zero Waste Tingkatkan Penghasilan Petani Lada


Integrated Farming, Zero Waste Tingkatkan Penghasilan Petani Lada

dilaporkan: Setiawan Liu

Bangka, 12 Desember 2020/Indonesia Media – Badan Pengelolaan, Pengembangan Dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) terus mengoptimalkan penghasilan petani dengan konsep integrated farming system, yakni pertanian, peternakan dan perkebunan. “Tumbuhan dari kegiatan pertanian, perkebunan butuh nutrisi dan pupuk. Nutrisi dibuat dari limbah dan kompos dari kotoran sapi. Limbah yang difermentasi menjadi kompos. Sehingga (tiga kegiatan) saling berhubungan dan zero waste,” Ketua BP3L Rafki Hariska mengatakan kepada Redaksi.

 

Komoditi yang ditanam yakni lada, tetapi tumpang sarinya berupa jahe merah, sorgum, talas beneng. Kegiatan peternakan masih memanfaatkan sapi dengan pakannya dari sorgum. Batang sorgum mengandung molase atau produk sampingan dari industri pengolahan gula yang masih mengandung gula dan asam-asam organic seperti tetes tebu. Batang tebu dan silase memberi nutrisi tinggi. “Silase dari batang sorgum yang difermentasi, sehingga menjadi pakan. Terbukti, (berat badan sapi) naiknya cepat sampai dua kilogram per hari,” kata Rafki.

 

Komoditas pertanian/perkebunan lainnya yang potensial yakni porang, jahe merah bahkan serai. Zero waste dalam pemanfaatan limbah ternak sapi juga memberi nilai tambah lagi. Kotoran sapi merupakan salah satu bahan yang mempunyai potensi untuk dijadikan kompos. Kotoran sapi mengandung unsur hara antara lain nitrogen 0,33%, fosfor 0,11%, kalium 0,13%, kalsium 0,26%. Pupuk kompos merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dan alami daripada bahan pembenah buatan dan kimiawi. “Kami menghasilkan pupuk organic, sebaliknya mengurangi penggunaan pupuk kimia. Selain, lada Babel yang masuk pasar Eropah sudah diwajibkan dengan ambang batas residu kimia hanya satu persen. Dulu, (ambang batas) bisa sampai 10 persen. Kami ekspor lada dan proses uji lab. Kalau ternyata lewat dari ambang batas, lada kami ditolak importir di Eropah,” kata Rafki.

BP3L juga sudah menerapkan teknologi untuk pasca panen yakni mesin pengeringan. Sebelumnya, ada berbagai tahapan dalam pengolahan, terutama perendaman secara tradisional. Prosesnya relative lama yakni 8-10 hari, dan hasilnya sangat mempengaruhi kualitas lada putih yang dihasilkan. Proses perendaman yang lama dapat menyebabkan produk berbau busuk dan kemungkinan kontaminasi oleh mikroba yang tidak dikehendaki menjadi lebih besar. “Sekarang, tidak ada lagi perendaman. Pengelupasan kulit dengan mesin. Lada dipetik, dimasukkan ke dalam mesin. Proses pengeringan hanya dua jam dan tidak ada lagi perendaman, dan bebas bakteri. Dengan teknologi, full mekanisasi, tidak ada celah untuk masuknya bakteri salmonella ke dalam lada,” tegas Rafki. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *