Imlek dulu dan sekarang, dari suasana sunyi senyap sampai motivasi mengabdi


 

Imlek dulu dan sekarang, dari suasana sunyi senyap sampai motivasi mengabdi

Dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 2 Pebruari 2022/Indonesia Media – Perayaan Imlek 2022 di tengah pandemic covid varian omicron bagi seorang David Gunawan, Sekjen Indonesian Inbound Tour Leader Association (IINTLA) tentunya tidak bisa disamakan dengan keadaan ‘sunyi senyap’ Imlek semasa rezim Orde Baru atau Orba (1966 – 1998). Kendatipun ancaman omicron masih ada, tapi beberapa keluarga Tionghoa Indonesia masih yakin bisa bersilaturahmi. “Kalau makan bersama, internal keluarga saja. Kalau dengan keluarga yang tinggalnya jauh, silaturahmi dengan video call saja. Suasananya tidak sunyi senyap, tetap meriah dengan protocol kesehatan,” kata David Gunawan.

Lain halnya dengan suasana Imlek semasa Orba, perayaan di bawah tekanan sehingga harus sunyi senyap. Artinya, perayaan Imlek tidak boleh jor-joran seperti sekarang. Mengingat, Pemerintahan semasa Orba menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Dalam aturan itu, mantan presiden ke II Republik Indonesia, alm. Soeharto menginstruksikan etnis Tionghoa yang merayakan pesta agama atau adat istiadat agar tidak mencolok di depan umum, tetapi dilakukan dalam lingkungan keluarga. “Semasa Orba, saya menghabiskan masa SD (sekolah dasar) sampai SMP (sekolah menengah pertama) di Taipeh (Taiwan). Saya sempat merayakan Imlek bersama sanak saudara, saya tinggal di apartment. Beberapa siswa dari Indonesia tinggal di apartment. Tapi kembali ke Jakarta, saya SMA (sekolah menengah atas) di salah satu sekolah swasta. Suasananya jelas berbeda, sunyi senyap. Semua siswa harus tetap bersekolah seperti biasa. Kalau ada murid yang membolos, pasti kena hukuman,” kata laki-laki kelahiran Jakarta, 56 tahun yang lalu.

Sejak era presiden ke IV RI, alm. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, perayaan Imlek menjadi lebih terbuka. Karena Gus Dur mencabut Inpres 14/1967 dan sebaliknya menerbitkan Keppres 6/2000. Keppres tersebut menetapkan Hari Raya Imlek sebagai Libur Nasional. “Sebetulnya, sejak era pak Habibie (presiden ke III RI), ibu Megawati (presiden ke V RI), pak SBY (presiden Susilo Bambang Yudhoyono; Oktober 2004 – Oktober 2014) dan pak Jokowi (Presiden ke VII RI, Oktober 2014 – sekarang) memberi andil untuk kebebasan menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka, termasuk upacara keagamaan seperti Imlek,” kata anggota tim pemandu kunjungan delegasi Tiongkok dan Taiwan ke Indonesia (thn 2000 – sekarang) di bawah naungan PT Nusaraya.

Masyarakat khususnya Tionghoa lebih leluasa, mengingat filosofi Imlek juga bagian dari kegiatan silaturahmi, menjaga tali persaudaraan dengan sanak saudara. Setelah era reformasi, berbagai kegiatan budaya Tionghoa, termasuk Imlek, Barongsai, Capgomeh, media (koran, majalah) berbahasa mandarin dibuka. “Yang pasti, Tionghoa Indonesia juga semakin terdorong mengabdi untuk Bangsa dan Negara. Karena anggota DPR, anggota TNI Polri keturunan Tionghoa juga semakin banyak. Dengan demikian, kebebasan bukan dalam arti etnis Tionghoa bertindak ‘seenak sendiri’. Kami diberi kebebasan dalam arti kami termotivasi untuk mengabdi kepada Bangsa dan Negara,” kata pemilik nama Tionghoa Qiu Da Wei. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *