Sejarah Imlek Larangan Soeharto Hingga Gus Dur Keluarkan Keppres untuk Merayakan Tahun Baru China


Perayaan Imlek akan segera kembali digelar tahun ini.

Peringatan terhadap tahun baru China yang jatuh pada 25 Januari 2020 ini memiliki sejarah yang panjang di Indonesia.

Pasang surut perayaan tahun baru Imlek terjadi dari masa ke masa.

Menilik sejarah, perayaan tahun baru Imlek secara ramai sempat dilarang pada era Soeharto.

Melansir Harian Kompas, 8 Februari 2005, ada 21 peraturan perundangan yang diterapkan Presiden Soeharto terkait warga keturunan Tionghoa tidak lama setelah ia memperoleh Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret.

14 Tahun 1967 Saat itu, Presiden mengeluarkan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat China.

Berdasarkan Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan kepada Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan segenap badan serta alat pemerintah di pusat dan daerah untuk melaksanakan kebijaksanaan pokok mengenai agama, kepercayaan, dan adat istiadat China.

Adapun isi dari Inpres ini di antaranya adalah pelaksanaan Imlek yang harus dilakukan secara internal dalam hubungan keluarga atau perseorangan.

Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat China dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.

Saat itulah, aktivitas masyarakat Tionghoa, termasuk dalam perayaan tahun baru Imlek menjadi dibatasi. Selama berlakunya Instruksi Presiden tersebut, Imlek terlarang dirayakan di depan publik.

Seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk tahun baru Imlek, Cap Go Meh dilarang dirayakan secara terbuka.

Barongsai dan liang liong pun dilarang dipertunjukkan di publik.

Selain itu, huruf-huruf atau lagu Mandarin tidak boleh diputar di radio.

Dalam 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto, aktivitas perayaan sembunyi-sembunyi ini tetap berjalan.

Berdasarkan 21 peraturan perundangan yang berlaku saat itu, istilah “Tionghoa” lalu berganti menjadi “China”.

Kebijakan-kebijakan ini disebut sebagai upaya dalam proses asimilasi etnis. Kembali bebas Pembatasan tersebut kemudian mulai surut pasca-Reformasi.

Presiden Habibie dalam masa jabatannya yang singkat menerbitkan Inpres Nomor 26 Tahun 1998 yang membatalkan aturan-aturan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa.

Inpres tersebut salah satunya berisi tentang penghentian penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Kemudian, pada tanggal 17 Januari 2000, Gus Dur mengeluarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2000 yang isinya mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang dibuat Soeharto saat masa pemerintahannya.

Sejak saat itu, Imlek dapat diperingati dan dirayakan secara bebas oleh warga Tionghoa.

Kebijakan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Presiden Megawati dengan Keppres Nomor 19 Tahun 2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional.

Bapak Tionghoa Indonesia

Meski sudah mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967, pada tahun 2004 Gus Dur menyebut setidaknya ada ribuan peraturan yang memicu diskriminasi.

“Masih ada 4.126 peraturan yang belum dicabut, misalnya, soal SBKRI. Itu kan sesuatu yang tidak ada gunanya,” kata Gus Dur dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 11 Maret 2004.

Gus Dur
Gus Dur (www.nrc.nl)

Gus Dur termasuk salah seorang yang tidak setuju dengan aturan yang bersifat diskriminatif termasuk pada etnis Tionghoa.

Dia pun meminta masyarkat Tionghoa untuk terus berani memperjuangkan hak-haknya.

“Di mana-mana di dunia, kalau orang lahir ya yang dipakai akta kelahiran, orang menikah ya surat kawin, tidak ada surat bukti kewarganegaraan. Karena itu, saya mengimbau kawan-kawan dari etnis Tionghoa agar berani membela haknya,” ujar dia.

Gus Dur mengatakan, etnis Tionghoa juga bagian dari Bangsa Indonesia. K

arena itu, tokoh Nahdlatul Ulama ini meminta seluruh masyarakat Indonesia memberikan hak dan kesempatan yang sama.

“Mereka adalah orang Indonesia, tidak boleh dikucilkan hanya diberi satu tempat saja. Kalau ada yang mencerca mereka tidak aktif di masyarakat, itu karena tidak diberi kesempatan,” ucap Gus Dur.

Cara terbaik, bangsa kita harus membuka semua pintu kehidupan bagi bangsa Tionghoa sehingga mereka bisa dituntut sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia,” ujar dia.

Atas kebijakan dan pemikirannya, Gus Dur akhirnya mendapat gelar “Bapak Tionghoa Indonesia”.

Bagi kaum Tionghoa, Gus Dur dinilai telah menghapus kekangan tekanan dan prasangka.

Sebab, pada masa lalu, masyarakat Tionghoa kerap mendapat stigma yang buruk baik dari pemerintah ataupun masyarakat dari etnis lainnya.

Gus Dur juga dinilai telah berjasa membawa kesetaraan pada masyarakat Indonesia. ( wk / im )

 

 

 

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

One thought on “Sejarah Imlek Larangan Soeharto Hingga Gus Dur Keluarkan Keppres untuk Merayakan Tahun Baru China

  1. Perselingkuhan+Intelek
    January 25, 2020 at 10:16 pm

    si Soeharto sih Bapak Koruptor Indonesia dimana Otaknya ada di Pantatnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *