Ibadah Solidaritas Penutupan Tempat Ibadah Diblokade ke Istana


IBADAH yang digalang Forum Solidaritas Kebebasan Beragama yang semula akan dlangsungkan di depan Istana Merdeka akhirnya Minggu (15/8) dilakukan di Lapangan Monas, depan Bundaran Air Mancur, Jakarta, karena aparat keamanan melarang ribuan jemaah dari berbagai gereja merapat ke istana.

Sebelum pukul 13.00, ratusan jemaah sudah berkumpul di ujung Silang Monas antara Jl Merdeka Selatan-Merdeka Barat dan Jl Thamrin, dekat patung kuda. Mereka menunggu informasi anggota tim yang disebut-sebut sedang bernegoisasi dengan petugas di Istana Presiden.

Namun belakangan diperoleh kabar, jemaah tidak diperkenankan kebaktian di depan Istana Merdeka. Kebetulan di depan istana, petugas juga tengah mempersiapkan panggung untuk digunakan upacara memperingati detik-detik prokamasi 17 Agustus lusa. Polisi militer yang berjaga di depan istana mengalihkan kendaraan yang akan parkir di monas di ujung Jl Merdeka Barat ke silang Monas Jl Merdeka Selatan.

Menjelang pukul 13.00, ada informasi tempat kebaktian akan dialihkan ke depan RRI, Jl Merdeka Barat. Namun ketika jemaah akan menuju ke sana, polisi memblokade, sehingga kerumunan jemaah banyak gereja itu terisoloasi di Monas.

Akhirnya pukul 13.15 kebaktian dimulai dipayungi awan mendung membuat suasana sejuk. Kebaktian dipimpin Pdt Sabar Siahaan dari Distrik 3 HKBP Jakarta dan Pdt Palti Panjaitan dari HKBP Filadelfia. Bekasi. Beberapa tokoh dari lintas agama tampak hadir. Begitu pula Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Andreas Yewangoe tampak di sana. Sepanjang kebaktian, dia berdiri di belakang jemaah yang sebagian besar membawa bendera merah putih dan berpakaian hitam-hitam.

Kebaktian berjalan lancar, berlangsung sekitar satu jam. Saat kebaktian berakhir yang ditutup dengan Doa Bapak Kami, hujan turun. Jemaah pun beringsut membubarkan diri. Banyak jemaah yang mengatakan, awan mendung dan hujan merupakan cara Tuhan untuk melindungi jemaah pada siang itu, sehingga tidak kepanasan, dan acara berakhir dengan damai.Sebelum kebaktian dimulai, hujan deras mengguyur sebagian Jakarta dan Tangerang.

Kebaktian yang dilangsungkan di tempat terbuka itu sebagai bentuk solidaritas umat Kristen di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan Bogor atas aksi penutupan tempat ibadah oleh ormas-ormas tertentu. Dua pekan lalu, jemaat HKBP di Bekasi bahkan dipukuli oleh anggota ormas tertentu yang tidak rela jemaah HKBP beribadah di tempat terbuka, karena tempat ibadah mereka ditutup.

Kasus penutupan tempat ibadah sudah kerap terjadi di berbagai tempat dengan alasan tidak berizin. Pemerintah Kota Depok sampai sekarang juga belum memberi keleluasaan kepada jemaah sebuah gereja di sana untuk leluasa memuji dan memuja Tuhan. Fakta serupa juga terjadi di Bogor, Bekasi dan Tangerang.

Karena sulit mendapatkan izin, banyak gereja yang terpaksa membuka ibadah di ruko. Tapi ruko yang dijadikan beribadah pun dijadikan amuk massa. Di kawasan Pasar Kemis, Bumi Indah, Tangerang, ada sejumlah ruko yang sudah diklaim oleh oknum warga sebagai wilayah kekuasaannya dengan menulis pengumuman yang dipasang di dinding dengan ukuran besar: “Ruko ini tidak boleh dipakai untuk gereja!”

Dilatarbelakangi fakta-fakta itulah Forum Solidaritas Kebebasan Beragama dalam pernyataannya Minggu (15/8) mengingatkan, Indonesia merupakan negara majemuk, terdiri dai sku bangsa agama, maupun aliran kepercayaan dari Sabang sampai Merauke. Mereka memiliki perasaan senasib untuk membentuk satu kesatuan, yakni negara kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Kemajukan ini, demikian pernyataan forum, merupakan modal persatuan dan kesatuan untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara besar, berdaulat dan berintegritas. Oleh sebab itu negara wajib dan bertanggung jawab untuk melindungi dan menghormati setiap unsur-unsur pembentuk kemajemukan, termasuk di dalamnya kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan sebagai hak asasi manusia yang sangat fundamental.

Tapi kenyataan berbicara lain. “Negara tidak mnunjukkan konsistensi dalam memberikan perlindungan dan penghormatan atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan bagi warganya,” demikian pernyataan tertulis forum yang disebar di tengah-tengah jemaah Minggu (15/8).

Dalam banyak kasus, masih menurut Forum Solidaritas Kebebasan Beragama, negara melakukan penutupan, penyegelan, dan pelarangan pendirian rumah ibadah dan aktivitas beribadah dengan alasan karena adanya penolakan sekelompok orang. Bahkan negara melalui aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian melakukan pembiaran terhadap ormas-ormas yang mengatasnamakan agama untuk melakukan serangan dan kekerasan terhadap umat beragama lain yang melakukan ibadah. “Ini merupakan sebuah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara,” tegasnya.

Dalam pernyataannya, forum menegaskan, negara dalam hal ini pemerintah, terutama Presiden harus bertanggung jawab untuk menjamin hak-hak warga negara untuk beribadah, beragama dan berkeyakinan. Negara harus menindak tegas terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok vigilante terhadap penganut agama tertentu.

Di samping itu negara harus mencabut peraturan perundang-undangan diskriminatif yang membelenggu hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan. “Negara seharusnya mengurus kepentingan publik seperti masalah kemiskinan, pengangguran, buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota dan kelompok-kelompok lemah lainnya, bukan mengurus urusan keagamaan yang merupakan ranah privat.”

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *