Di sebuah tanah kosong di Kampung Ciketing Asem, Kecamatan Mustikajaya, Bekasi, sekitar 200 jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Kota Bekasi, menggelar kebaktian di bawah pohon rambutan. Kegiatan ini dijaga ketat puluhan anggota Satpol PP dan Kepolisian Polres Metro Bekasi. Ketika menggelar puji-pujian, massa dari warga sekitar yang menolak pendirian gereja berteriak-teriak agar jemaat HKBP bubar.
Pemandangan ini konon sudah terjadi tiga kali, setelah Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi menyegel rumah yang biasa mereka gunakan untuk kebaktian awal Juli lalu. Kasus HKBP Pondok Timur ini satu di antara puluhan kasus perusakan dan penutupan gereja yang makin marak akhir-akhir ini. Belum genap setahun, peristiwa pada 2010 sudah membukukan 28 kasus —kebanyakan terjadi di Jawa Barat. Pada 2009, kasusnya berjumlah 18 peristiwa, dan 17 peristiwa pada 2008. Ini baru laporan yang dirilis Setara Institute —sebagiannya bersumber dari liputan media. Di luar itu, kasusnya mungkin akan bertambah.
Selain kelompok masyarakat dan ormas-ormas keagamaan, pelaku penutupan juga banyak dilakukan aparat pemerintah, seperti pemerintah daerah, atau Satpol PP. Dan jika ditarik benang merah, alasan yang umum amat terkait dengan aspek perizinan.
Awal Februari silam, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), bahkan sudah menyampaikan masalah ini ke Komisi III DPR. Saat itu PGI melaporkan 10 kasus penutupan gereja, sedang KWI 4 kasus. Kedua ormas keagamaan ini juga mendesak pemerintah agar serius menangani masalah tersebut. Muncul pula kesan, negara dinilai gagal menjamin dan melindungi warganya untuk beribadah. (MRORI The Wahid Institute, Edisi 28 Maret 2010).
Dengan kian menjamurnya kasus-kasus semacam ini, sulit rasanya menepis dugaan bahwa hak beribadah kelompok minoritas di negeri ini memang benar-benar berada dalam ancaman. Dan lagi-lagi minoritas, baik etnis maupun agama masih dinilai sebagai momok yang mesti ditumpas, seperti kasus etnis Tiongkok dan warga Ahmadiyah.
Setidaknya, terdapat dua tantangan mendasar terkait masalah ini, tantangan struktural dan kultural. Salah satu problem utama yang mesti dipecahkan di ranah stuktural adalah soal regulasi, yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006 dan No 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Problem Struktural
Terkait pendirian rumah ibadah, terdapat beberapa isu penting yang perlu dicermati. Pertama, persyaratan khusus pendirian rumah ibadah seperti dimuat Pasal 14 Ayat 2. Untuk mendapat izin, panitia harus mampu mengumpulkan 90 orang pengguna rumah ibadah yang disahkan pejabat setempat. Selain itu, harus pula didukung 60 orang penduduk setempat yang disahkan lurah atau kepala desa. Belum lagi rekomendasi tertulis dari kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
Isu Kedua menyangkut kewajiban pemerintah daerah untuk memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat, jika persyaratan 90 orang terpenuhi namun tidak untuk 60 orang penduduk setempat.
Ketiga, pemanfaatan bangunan sementara. Untuk mendapatkan izin, bangunan harus dianggap laik fungsi dan mendapatkan sejumlah izin tertulis, mulai izin dari pemilik bangunan, rekomendasi lurah/kepala desa; pelaporan tertulis kepada FKUB Kabupaten/kota; dan laporan tertulis kepada Kepala Kantor departemen agama Kabupaten/kota. Izin sementara itupun hanya berlaku dua tahun.
Dari sisi regulasi, sesungguhnya terbuka alternatif dan langkah-langkah alternatif ketika pihak panitia belum memenuhi syarat persetujuan warga sekitar. Tegas pula dinyatakan dalam beleid, pemerintah berkewajiban memfasilitasi pendirian rumah ibadah atau pemanfaatan bangunan sementara.
Tragisnya, ketika terjadi penolakan dari warga, pemerintah pada praktiknya pemerintah ingin lepas tangan dan membiarkan panitia berhadap-hadapan dengan masyarakat. Dalam situasi semacam itu, jangan lupa pula bahwa mereka masih harus melewati beberapa pintu lain, yakni izin lurah/kepala desa, FKUB, dan departemen agama. Seperti pemerintah daerah, dalam banyak kasus mereka sering pula tunduk pada desakan massa. Situasi semacam inilah yang dihadapi jemaat HKBP Pondok Timur Indah tadi.
Faktor lain yang memicu eskalasi pada ranah stuktural juga terkait lemahnya penegakan hukum. Di lapangan, aparat keamanan, khususnya kepolisian, sering tak berani bertindak tegas terhadap massa. Dengan alasan menghindari amuk massa, justru pihak korbanlah yang “diamankan”. Yang lebih parah lagi, aparatlah yang justru menjadi eksekutor. Sementara itu, penyelesaian hukum terhadap para pelaku perusakan dan penutupan gereja oleh aparat juga menjadi kasus lain lagi.
Tentu saja beban masalahnya memang tak hanya ditimpakan pada pemerintah dan aparat keamanan. Persoalan rumah ibadah juga muncul sebagai faktor laten yang sudah tertanam lama dalam suasana batin sebagian masyarakat Muslim di Indonesia. Salah satu isu paling krusial adalah “kristenisasi”.
Tak sedikit kelompok Muslim yang merasa terancam dengan perkembangan masyarakat non-Muslim, di tengah perasaan mereka yang terancam terhadap budaya luar dan arus globalisasi. Padahal, asumsi bahwa umat Islam bisa kalah jumlah dengan Kristen jelas pandangan yang tak cukup berdasar. Tengok saja data yang pernah dilansir Menag M Maftuh Basyuni pada pidato, 17 April 2006. Sejak 1977 hingga 2004, jumlah gereja Kristen hanya 10 persen (43.909) dari rumah ibadah Islam yang berjumlah 643.834. Sementara gereja Katolik sebanyak 3 persen atau sebanyak 12.473.
Ditambah peluang legitimasi regulasi dan lemahnya penegakan hukum lemah, konflik laten semacam ini sangat berpeluang memicu tindak persekusi massa yang dilakukan berulang-ulang.
Setidaknya, ada beberapa hal yang menurut penulis bisa dilakukan untuk mengatasi problem di atas. Pertama, pemerintah dan aparat terkait harus didesak kembali menjalankan fungsinya sesuai Perber Dua Menteri. Mereka tak boleh lepas tangan dan terkesan tersandera dengan pressure massa. Kedua, perlu usaha-usaha untuk meninjau kembali peraturan yang selama ini sering dipakai bargaining aksi persekusi. Ketiga, mengusut tuntas para pelaku perusakan gereja. Keempat, terkait pencabutan IMB oleh pemerintah daerah setempat perlu dilakukan langkah-langkah hukum seperti berhasil dilakukan HKBP Cinere atas keputusan wali kota Depok. Kelima, perbaikan kualitas komunikasi antara pihak gereja dan masyarakat sekitar. Semoga membantu.