Terpikat Astana, SBY Ingin Pindahkan Ibukota


Presiden sudah membentuk tim untuk mengkajinya

Ibukota Kazakhstan yang baru, Astana, sepertinya memikat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Belum sampai kaki SBY kembali ke Tanah Air setelah mengunjungi kota itu, Presiden menyatakan akan memindahkan ibukota Indonesia dari Jakarta.

“Kami membentuk tim kecil untuk mulai memikirkan kemungkinan pemindahan ibukota kita, dalam arti biar pusat ekonomi, perdagangan, dan lain-lain tetap di Jakarta, tetapi pusat pemerintahan kita pindahkan di tempat yang lain,” kata Presiden SBY dalam keterangan pers di Hotel Grand Emerald, St. Petersburg, Rusia, Sabtu 7 September 2013, seperti dilansir laman resmi Presiden.

SBY menyatakan sebenarnya dia sudah memikirkan soal pemindahan ibukota sejak tiga empat tahun silam. Ia juga sudah membentuk tim untuk mengkajinya. Tapi, dia memilih diam dulu. “Mengapa saya lebih memilih diam, karena kebiasaan di negeri kita ini apapun kalau muncul ide baru langsung didebat atau disalahkan. Sebaliknya, kalau saya mengatakan tidak perlulah kita memikirkan pusat pemerintahan yang baru, tetap disalahkan juga,” dia mengeluh.

“Saya sungguh ingin memikirkan Jakarta 10, 20, 30 tahun lagi dari sekarang. Oleh karena itu saya berpikir, dan ini tugas untuk presiden-presiden pengganti saya nanti, kalau memang secara ekonomi kita sudah kuat, pertumbuhan, GDP, income per kapita, kemudian kalau memang tidak ada solusi yang baik untuk mengatasi permasalahan Jakarta, dan ada urgensi yang tidak bisa ditunda-tunda lagi, tidak keliru kalau kita memikirkan suatu tempat yang kita bangun menjadi pusat pemerintahan yang baru,” kata SBY.

Terpikat Astana

Dalam kunjungan ke Astana, Presiden SBY dan delegasi sama-sama menyaksikan kota yang sangat khas dengan arsitektur yang luar biasa, teratur dan desain yang bagus, dan akhirnya berperan sebagai ibukota yang ideal bagi sebuah negara. “Tentu hal ini juga sangat ditolong oleh penduduk Khazakhstan yang jumlahnya 19 juta, sementara Kazakhstan luas wilayahnya lebih dari dua juta kilometer persegi. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk lebih dari 240 juta, luas daratannya kurang lebih sama, dua juta kilometer persegi, sedangkan yang enam juta adalah lautan. Tentu hal ini tidak mudah,” kata SBY.

Lima belas tahun lalu, Astana hanyalah padang rumput di utara Kazakhstan. Ibukota saat itu, Almaty, berada di tenggara negeri yang baru lepas dari Uni Soviet pada tahun 1991 itu.

Pada tahun 1997, Presiden Kazakhstan yang menjabat sejak tahun 1991, Nursultan Nazarbayev, memindahkan ibukota ke daerah yang sebelumnya bernama Akmola ini. Area yang dulunya merupakan lahan kosong di pinggir Sungai Ishim ini dulu lebih dikenal sebagai penjara gulag bagi pengkhianat Uni Soviet. Nazarbayev yang sampai sekarang masih memimpin negeri yang mayoritas beragama Islam itu kemudian mulai membangun gedung-gedung baru yang kerap kita lihat di kisah fiksi sains, sangat modern.

Menurut CNN, tim arsitek diperintahkan merancang sebuah ibukota baru yang tahan di musim dingin yang bisa mencapai suhu minus 40 derajat Celsius sekaligus bisa mencapai 30 derajat Celsius di musim panas. Istana Kepresidenan dibangun mirip Gedung Putih, Amerika Serikat. Selain itu, didirikan gedung konser futuristis dengan desain berombak.

Dalam 15 tahun, padang rumput tandus itu berubah jadi metropolitan. Tahun 1999, penduduknya hanya 200 ribu. Namun pada tahun 2010, sudah mencapai 700 ribu jiwa. Kini, Astana merupakan kota terbesar kedua di negeri yang terkunci di perbatasan benua Asia dan Eropa itu. Belakangan, politisi negara itu berencana mengganti nama ibukota baru itu menjadi “Nursultan”, sesuai nama presiden yang visioner itu.

Cara Malaysia

Namun, bukan pemindahan ibukota secara total model Kazakhstan ini yang diinginkan Presiden. SBY lebih cenderung mencontoh negara-negara yang memisahkan pusat pemerintahan dengan pusat ekonomi, seperti Turki, Australia, dan Malaysia. “Saya kira banyak contoh di dunia yang dipisahkan seperti itu. Tentu ada plus dan minusnya. Kalau nanti kita berpikir membangun pusat pemerintahan yang baru, kita pastikan Jakarta jauh menjadi lebih baik, dan pusat pemerintahan yang baru juga dapat berfungsi secara efektif,” kata SBY.

“Pelajari misalkan apa yang terjadi dengan adanya Putra Jaya, sedangkan Kuala Lumpur juga masih bisa berfungsi dengan baik. Yang bisa kita petik adalah bahwa biayanya tentu tidak sedikit. Biaya ekonomi, dan barangkali juga biaya politik, biaya sosial, dan sebagainya,” kata Presiden.

Staf Khusus Presiden Bidang Pemerintahan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, menjelaskan gagasan SBY ini mendasar untuk 10-30 tahun ke depan ketika Indonesia menjadi negara maju. SBY memiliki tiga skenario pemindahan ibukota.

“Skenario pertama, penataan Jakarta secara ekstensif. Skenario dibangun atas dasar Jakarta tetap sebagai ibukota sehingga hanya perlu pembenahan berbagai persoalan yang kompleks saat ini,” kata Velix kepada VIVAnews, Minggu 8 September 2013.

Skenario kedua, ibukota tetap di Jakarta namun pusat pemerintahan bergeser atau dipindahkan ke suatu tempat baru. Lokasi baru ini, menurut Velix, tidak terlalu jauh dari Jakarta.

“Skenario ketiga disebut skenario radikal, dengan menetapkan pemindahan ibukota negara dan pusat pemerintahan secara total ke lokasi alternatif yang benar-benar baru,” kata Velix.

Adapun syarat yang diajukan Presiden adalah kesiapan riset akademik, kapasitas ekonomi dan kesiapan politik-hukum. Kajian riset akademik harus melibatkan banyak pihak. “Ini memerlukan keputusan politik yang dilandasi payung hukum yang kuat. Ini keputusan strategis bagi masa depan bangsa,” kata Velix.

Soal riset akademik ini, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Andrinof A. Chaniago mengaku jauh-jauh hari sudah melakukannya. “Tahun 2008, saya sudah mengusulkan pada Presiden,” kata Andrinof, “Tapi seperti tak dianggap.”

Saat dihubungi Minggu, 8 September 2013, Andrinof tertawa kecil mendengar rencana Presiden memindahkan ibukota. “Beberapa tahun ini diam saja, sudah capek saya bicara,” kata pakar kebijakan publik ini.

Andrinof bersama teman-temannya yang tergabung dalam Tim Visi Indonesia 2033 sudah menelurkan kajian. Salah satu rekomendasi adalah, pemindahan ibukota sebaiknya ke Pulau Kalimantan. “Persoalan ke Palangkaraya (seperti usul Soekarno), itu soal lain. Silakan pemerintah memutuskan,” kata Andrinof.

Pemindahan ibukota ke luar Jawa, kata Andrinof, akan memecahkan sejumlah masalah, terutama soal pemerataan ekonomi dan pembangunan. Beban Jakarta dan Jawa pun akan berkurang, kata Andrinof.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *