Ketika Presiden Dicaci Maki Di Depan Istana


Istana negara, adalah simbol negara. Ya, karena di Istana Negara, adalah tempat presiden, jumpa pers, menerima tamunya, pokoknya segala tetek bengek, kalau presiden sedang ada di Jakarta, dipusatkan di Istana Negara itu. Makanya, Istana dijaga ketat oleh Pasukan Pengamanan Presiden. Tapi pada tanggal 28 Januari 2010, ada pemandangan beda dari Istana Negara. Dari sejak kemarin, Istana Negara di kelilngi kawat berduri. Wah, kok seperti akan perang, siapa pula yang akan menyerbu Istana Negara itu, yang dikawal pasukan terlatih.

Ternyata kawat berduri dipasang mengantisipasi demo yang akan digelar pada 28 Januari 2010, dimana di hari itu, hari Kamis, tepat 100 hari pemerintahan SBY berlangsung. Katanya, kalau mengutip Koordinator Petisi 28, yang juga salah satu elemen yang akan lakukan demo, Haris Rusli Motti, demo itu akan diikuti oleh 10 ribu orang dari 64 organisasi massa dan mahasiswa. Wah, kalau menilik apa yang diungkapkan Haris Rusli itu, wajar jika pihak Istana pasang kawat berduri. Pada hari Kamis, 28 Januari 2010, saya diminta kantor meliput demo tersebut. Pukul 11.00 Wib, saya sudah ada di sekitar area demo. Motor saya parkir di Kantor Kementrian Dalam Negeri yang letaknya, tak jauh dari Istana.

Takutnya, apa yang didesas-desuskan, bahwa demo akan berakhir rusuh terjadi. Karena, beberapa hari sebelum demo digelar, salah satu LSM yang dikenal pendukung SBY yakni Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), mengeluarkan pernyataannya. Lewat Presiden LIRA, Jusuf Rizal, informasi kemungkinan demo itu diskenariokan rusuh keluar. Kata Jusuf, demo yang digerakkan para pengkritik SBY, kemungkinan diskenariokan rusuh. Bahkan, kata dia lagi, informasi itu layak dipercaya diberikan sumber yang layak dipercaya juga.

LIRA sebagai pendukung SBY, akan dijadikan target oleh yang menset demo itu akan rusuh, dengan catatan, LIRA turun ke jalan, pasti akan disikat. Hitung-hitungannya, kata dia, jika demo itu nantinya rusuh, ya pasti yang disalahin SBY. Presiden dianggap tak mampu mengendalikan situasi. Kalau begitu, legitimasi presiden makin jatuh. Dengan begitu pula, tingkat kepercayaan pada presiden makin menukik turun dan dengan begitu pula, ada dasar jika diturunkan. Masuk akal juga penuturan Jusuf Rizal. Tapi saat saya konfirmasi ke salah seorang anggota Petisi 28, Boni Hargens, membantah keras-keras bahwa elemen-elemen yang akan melakukan demo itu menskenariokan sebuah unjuk rasa yang berujung rusuh. Malah Boni yang juga tercatat sebagai Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip), Universitas Indonesia itu balik menuding. Dia mengatakan, kalau kemudian demo itu berdarah-darah, itu kerjaannya para penyusup dari pihak penguasa. Tak ada niat sedikit pun, jika pihaknya menskenariokan aksi turun ke jalan itu akan rusuh. ” Mereka saja (pemerintah- red), yang hembus-hembuskan itu. Tujuannya kalau rusuh, yang disalahkan para pendemo,”kata Boni. Entah siapa yang benar, satu menduga, satu laginya membantah.

Aksi demo itu sendiri, saat saya langsung melihatnya, mulai ramai menjelang tengah hari. Bahkan saat saya buka berita online, seperti detik.com, vivanews.com dan kompas.com lewat blackberry jadul saya, demo bukan hanya akan digelar di sekitaran Istana tapi juga di DPR. Dari situs berita online, demo di depan gedung parlemen bahkan digelar lebih dulu. Jumlah massa pendemo mengutip situs berita online itu mencapai ribuan. Saat saya memacu motor menuju kantor Kementrian Dalam Negeri, dengan tujuan numpang parkir, di sekitar stasiun Gambir, Jakarta Pusat, saya berpapasan dengan para pendemo yang sepertinya akan bergerak di Istana. Menumpang mobil metromini hingga ke atapnya, para pendemo tak henti-hentinya menyanyikan yel-yel revolusi dan meneriakan, ” SBY harus Mundur!” Setelah memarkirkan motor, di Kantor Kementrian Dalam Negeri, saya bergegas, menuju Istana.

Nampak kesiagaan tidak seperti biasanya. Kawat berduri direntang mengelilingi depan Istana. Kiri dan kanan, nampak berjejer mobil water canon, milik Polri diparkir. Jumlahnya saya kira mencapai 10 mobil. Para aparat Polri juga sudah siaga. Didepan Istana persis, yakni didalam area depan Istana, sekelompok pasukan brimob berpakaian hitam-hitam, terlihat duduk-duduk. Dipinggirnya tergelatak tameng dan helm. Sepertinya mereka itu adalah satuan pasukan anti huru hara Brimob Polri. Diseberang Istana, yakni area Tugu Monumen Nasional, sudah didirikan tenda-tenda milik Polri. Dalam taman,ratusan aparat Polri dari beragam satuan tampak duduk-duduk, berbaur dengan satuan polisi Pamong Praja. Di area seberang Istana, memang sudah ada yang melakukan orasi. Sepertinya dari kesatuan organisasi buruh dan organisasi mahasiswa, entah dari perguruan tinggi mana. Orasi mereka, tak lain banyak menyebut kasus Century, yang disimpulkannya, sebagai perbuatan tercela alias maling duit rakyat.

Spanduk yang diusungnya cukup serem, yakni bergambar wajah Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wakil Presiden yang dimodifikasi sedemikian rupa mirip drakula, dengan taring dan lelehan darah. Serta di kepalanya di beri tanduk. Dua orang yang sedang menjabat di pemerintahan itu, dianggap orang yang harus bertanggung jawab atas pengucuran uang negara sebesar 6,7 trilyun dalam memyelematkan Bank Century. Kasus Bank Century sendiri, saat ini sedang di usut parlemen, lewat pembentukan panitia khusus Angket Century yang akan bekerja selama 60 hari. Setelah tengak-tengok sebentar, di bawah salah satu pohon, nampak Koordinator Petisi 28, Haris Rusli Motti. Ia nampak santai merokok, memperhatikan aksi demo.

Saya dekati dia, setelah dekat saya sapa. Ia nampak antusias. Setelah saling bersapa kabar, mulailah saya menanyakan, tentang tuntutan utama demo 100 hari itu. Kata Haris, demo yang dikoordinasikan Gerakan Indonesia Bersih (GIB), itu sudah pada kesimpulan bahwa Pak Beye sebagai presiden tak layak dipertahankan. Artinya Pak Beye itu harus turun, karena rakyat tak lagi mempercayainya. Pak Beye, dimata Haris, adalah pemimpin gagal, karena selama memimpin sejak 2004, Pak Beye gagal mensejahterakan rakyat. Kemiskinan bertambah, pengangguran menggila. Bahkan Pak Beye dianggapnya sebagai biang digadaikannya kedaulatan ekonomi. Apalagi dengan disepakatinya kesepatakan perdagangan bebas dengan China, itu tanda jelas Pak Beye itu menggadaikan kedaulatan ekonomi pada pihak asing, tegasnya. Nada bicaranya berapi-api. Mungkin semangat dan atmosfir demo ikut mempengaruhinya. Sembari menghisap rokok putihnya, Haris menegaskan, Pak Beye itu harus mindur atau dimundurkan rakyat. Kalau dipertahankan, sama saja membiarkan rezim yang tak pro rakyat itu terus menghisap rakyat.

Lalu saya tanya, kalau Pak Beye mundur, dengan apa mekanisme pengisi kekosongannya. Haris menjawab, bentuk dewan nasional atau semacam presidium, yang berisikan pimpinan anak-anak muda sampai pemilu digelar. Tapi sayang, Haris tak menjelaskan, seperti apa presidium itu dan apa kriteria wakil pemuda yang pantas duduk di presidium itu. Mungkin yang ada dibenaknya, yang penting Pak Beye mundur dulu. Lalu saya tanya lagi, demo ini siapa saja pendukungnya. Dia tegaskan, demo itu murni dari suara rakyat. Saat saya tanya kembali, adakah para purnawirawan perwira tinggi militer ikut mendukungnya, Haris tak menampiknya. Memang ada person dari para mantan jenderal yang mendukung aksi mendongkel Pak Beye itu. Pembicaraan pun usai. Saya pamit padanya dan kembali memantau situasi demo yang belum dihadiri banyak massa. Haris sendiri dari kejauhan, masih asyik merokok dan memperhatikan aksi demo.

Lalu ia ngeloyor pergi ke seberang jalan, menuju arah Kantor Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Saya pun beranjak kesana, tepat depan kantor kementrian koordinator kesejahteraan rakyat itu, ada pula serombongan pendemo yang melakukan aksi. Para oratornya berdiri di mobil bak yang disulap sebagai podium, lengkap dengan sound systemnya. Seorang perempuan setengah baya, terlihat berapi-api melakukan orasi.

Dalam orasinya, si perempuan setengah baya ini menyebutkan Pak Beye telah membuat rakyat makin miskin. Kata dia, Pak Beye memang di pilih rakyat, dan menang di Pilpres, tapi itu dengan cara curang. Ia menyebut cara curang itu terkait kasus Bank Century yang ia simpulkan digunakan juga dalam Pilpres. Udara cukup menyengat, terik matahari terasa menikam.

Demo kian panas, nama Pak Beye yang notabene adalah Presiden RI saat ini, sedemikian dicaci. Karena hari lumayan membakar, saya hanya memperhatikan demo diantara jajaran rerindang pohon di pembatas jalan depan kantor Kementrian Kesejahteraan itu. Di kejauhan, diseberang jalan, di area taman monumen nasional, nampak sosok pria berompi coklat, dengan potongan rambut cepat. Ya, dialah Adhie Massardi, salah satu pentolan penting Gerakan Indonesia Bersih (GIB). Tak mau buang kesempatan, saya segera menghampirinya, setelah dekat saya sapa dia, ia menoleh dan tersenyum. Padanya saya tanyakan, kenapa harus demo dengan menurunkan massa besar hanya untuk mengkritisi Pak Beye. Katanya, selama ini kritik dan pendapat sudah dilontar dan didesakan. Tapi menurutnya Pak Beye, sama sekali tak menggubrisnya.

Maka demo besar ini, ujar dia, adalah bentuk akumulasi kekecewaan rakyat yang sudah berbentuk mosi tak percaya. ” Kalau sudah mosi tak percaya, itu artinya rakyat sudah tak percaya lagi, dan dengan begitu hanya satu cara, bagi pemimpin yang tak dipercaya lagi yakni mundur atau dimundurkan,”kata dia. Kesimpulannya, Pak Beye itu tak layak dipertahankan lagi. Adhie menyebut, kasus kriminalisasi KPK, kasus Century dan tak makin membaiknya kondisi rakyat adalah bentuk kegagalan Pak Beye. ” SBY gagal” tegasnya sambil mengepulkan asap rokok yang dihisapnya. Cakap-cakap pun usai. Adhie beranjak menuju depan Kementrian Kesejahteraan Rakyat. Sedangkan saya ke arah depan Istana.

Di pojok pintu masuk Monas, beberapa demonstran nampak sedang memasang spanduk. Spanduk itu dibentangkan diatas air mancur yang ada di area itu. Bunyi spanduk tak lain, tuntutan para pendemo, diantaranya,’turunkan rezim SBY-Boediono’ dan ‘ Saatnya SBY mundur’. Hari makin terik, dzuhur terlewati, para pendemo mulai bergerak menjauh dari Istana. Awalnya saya menduga mereka hendak pulang, tapi dari arah gedung Mahkamah Konstitusi (MK), kibaran bendera berwarna-warna serta gemuruh suara massa lamat-lamat terdengar. Nampaknya ini massa pendemo yang sebenarnya. Bisa dikatakan, sekelompok pendemo dalam jumlah kecil yang melakukan orasi di depan istana, hanya semacam warming-up. Demo pemanasan saja. Jarum jam menunjukan pukul 14.00 lebih beberapa menit saat pendemo mulai mendekati gedung kementrian kesejahteraan rakyat.

Nampak para koordinator lapangan, bolak-balik menggunakan speker kecil menertibakan rombongan. Adhie Masardi yang awalnya hanya berdiri langsung terlihat berlari masuk ke rombongan dan membagikan kertas yang ditentengnya dalam plastik. Nampak pula pria bersurban putih yang melilit dikepalanya. Dialah Ali Muchtar Ngabalin, mantan anggota parlemen yang memang getol mengkritik Pak Beye. Rombongan pendemo yang diperkirakan berjumlah ribuan orang, mulai merangsek menuju Istana. Bendera berukuran besar, dikibar-kibarkan depan rombongan. Bendera -bendera itu menunjukan logo organisasi kemahasiswaan dan LSM. Ada yang bergambar logo HMI, Walhi, Kontras, IMM, GMKI, PMKRI dan lain sebagainya. Massa terus bergerak. Serombongan polisi langsung membuat barikade depan gedung Kementrian Kesejahteraan Rakyat. Sempat adu dorong, antara polisi dan para pendemo di bagian depan. Ali Muchtar yang nampaknya diberikan kepercayaan melobi petugas, mencoba berbicara dengan salah seorang perwira polisi.

Sepertinya a lot. Massa pendemo sepertinya tak sabar terus merangsek. Sampai terdengar keributan. Satu orang anak muda, digeret polisi, di ikuti serombongan massa yang coba mengejar. Anak muda berbaju hitam, dan bercelana jeans di potong selutut di seret beberapa aggota polisi berbaju preman. Para juru foto, berlarian mengejarnya, tak ingin terlewat mengabadikan momen tersebut. Saya pun ikut mengejar, ingin mencatat lebih dekat peristiwa digeretnya seorang anak muda oleh aparat itu. Ternyata, setelah si anak muda itu dimasukan paksa dalam mobil patroli polisi, baru diketahui, dia itu diduga pencopet. Jadi bukan provokator. Sementara itu pendemo, akhirnya bisa menembus barikade polisi, dan langsung mengular menuju depan istana.

Pasukan berbaju hitam yang awalnya duduk-duduk depan istana, mulai bersiap. Tameng disiapkan, dan terlihat mengenakan, baju pelindung. Satu mobil yang disulap jadi panggung orasi bergerak menghadap istana. Diatasnya salah seorang anak muda berbaju merah, terus meneriakan yel-yel dan tuntutan demo. Sepertinya, ia berasal dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, kalau menilik dari baju yang dikenakannya yakni warna merah yang merupakan warna seragam dari organisasi mahasiswa Muhammadiyah itu. Para perwakilan pendemo mulai diberi kesempatan berorasi. Isinya rata-rata meminta Pak Beye itu mundur. Lalu setelah beberapa saat, terlihat Pakar Ilmu Komunikasi Politik UI,

Effendi Ghazali menaiki mobil dan ikut meneriakan yel-yel anti Pak Beye. Berbaju kemeja putih dan bercelana hitam, Effendi Ghazali begitu bersemangat bersama para pendemo meneriakan, SBY turun, SBY turun. Tak ketinggalan Ali Muchtar Ngabalin ikut memberi semangat. Bahkan terlalu bersemangat, sembari terlihat seakan menari, saat nyanyian bertema, SBY-Boediono turun dilantunkan para pendemo. Selain Muchtar Ngabalin, nampak pula Koordinator Kontras, Usman Hamid, yang ikut menyemangati para pendemo dengan orasi singkatnya. Kata Usman, dalam orasinya, SBY terbukti gagal terutama memberikan bukti komitmennya dalam memberantas korupsi. Maka tak ada jalan lain, selain mempertimbangkan Pak Beye itu diganti.

Massa pendemo makin banyak, dari arah jalur menuju Harmoni, yakni jalan sebelah kiri Istana, muncul pula serombongan pendemo. Dari kanan, dari arah kantor Kementrian Dalam Negeri juga, terlihat pendemo yang sepertinya, dari kelompok organisasi mahasiswa, menilik dari kibaran bendera yang dikibar-kibarkan. Jalur jalan depan Istana pun ditutup aparat. Praktis tak ada arus kendaraan yang boleh lewat depan Istana. Arus kendaraan dialihkan, untuk memutar di depan Kementrian Dalam Negeri. Melihat massa pendemo makin meruyak, aparat pun mulai bersiaga. Pasukan anti huru-hara dari kesatuan Brimob mulai keluar dari depan Istana. Mereka sudah lengkap berpakaian mengenakan helm dan tameng dan langsung membuat barikade depan Istana, tepat depan rentangan kawat berduri. Hari terus merambat ke sore hari.

Demo makin ramai, tapi belum ada tanda-tanda akan rusuh. Para pendemo masih terkendali, kendati terlihat provokatif didepan barikade pasukan anti huru-hara. Mobil water canon pun yang tadinya terparkir mulai disiagakan mendekati para pendemo, sepertinya untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Para pendemo dari sebelah kanan Istana terus bergerak, mendekati depan Istana. Jumlahnya ditaksir seratusan orang. Satu mobil bak dipakai sebagai panggung orasi. Diatasnya, salah seorang anak muda mengenakan jaket mahasiswa warna biru, sepertinya dari Unpad, kalau menilik warna jaket mahasiswa yang di kenakannya. Dengan kepala di ikat kain warna putih bertuliskan SBY Mundur, ia terus berorasi dan menimpali dengan nyanyian. Syairnya sendiri berbentuk pantun, tapi isinya caci maki terhadap Pak Beye. ” Duit Cepe Jigo, Dut Cepe Jigo, tambah seratus. Duit cepe jigo, duit cepe jigo, tambah seratus. SBY rampok, SBY rampok biarin mampus,” Mendengarnya, saya pikir itu adalah caci maki yang paling keras dan tajam buat Pak Beye.

Pada Mario, wartawan Media Indonesia, saya katakan, di jaman Pak Harto, mana ada yang mencaci presiden dengan begitu sarkasmenya. Mario cuma mesem, Pak Harto sudah meninggal bung. Saya enggak tahu, bagaimana kalau Pak Beye mendengarnya langsung. Seperti apa kemarahan atas caci maki itu, saya tak bisa bayangkan, pasti akan sangat marah. Masuk pukul 16.00 Wib, para pendemo mulai beranjak beringsut pergi. Bahkan masuk pukul 17.00 Wib, massa pendemo yang dikoordinir oleh Gerakan Indonesia Bersih (GIB), sudah dengan teratur mundur meninggalkan arena demo. Praktis yang tinggal hanya pendemo dari kelompok mahasiswa yang tak surut semangatnya berorasi dan menyanyikan pantun sarkasme tadi. Sempat ada aksi dorong, ketika rombongan pendemoitu merangsek ke depan barikade polisi bertameng. Tapi polisi tak terpancing untuk membalas, hanya mengetuk-ngetukan tamengnya.

Sore terus merambat menuju senja. Sebentar lagi magrib, sampai tiba-tiba ada deru motor yang melaju dari arah Kantor Kementrian Dalam Negeri. Dikira dari pendemo yang coba melakukan aksi provokasi, tapi ternyata penjual ayam potong sebab di jok belakang motornya bergung ayam potong. Nampaknya jalur jalan sudah dibuka oleh polisi. Arus kendaraan pun langsung merayap dari arah Kementrian Dalam Negeri. Lalu tersendat depan Istana karena memang masih ada kelompok pendemo yang belum beranjak pulang. Alhasil orasi pendemo jadi tontonan para pelaju kendaraan. Magrib terjelang, para pendemo pun bergerak mundur dari depan Istana dan secara teratur meninggalkan area depan Istana. Keadaan pun kembali pada sediakala, dimana arus lalu lintas kembali padat merayap. Para polisi yang awalnya sigap membentuk barikade menarik napas lega, mereka secara beriringan membubarkan diri menuju area taman Monas, tempat tenda pasukan Polri didirikan. Lalu terlihat berbut nasi bungkus.

Tugas rampung. Tak ada rusuh, artinya mereka tak perlu mengayunkan pentungan mengusir massa. Tak ada semprotan yang memancar deras dari senjata penyemprot mobil water canon. Demo itu berlangsung relatif tertib, hanya memang berisi caci maki terhadap Pak Beye. Tinggal kini petugas kebersihan yang mulai bertugas, membersihkan sampah sisa demo yang berserak dimana-dimana sepanjang jalur demo. Para pedagang rokok, minunam dan makanan juga sudah mulai berkemas. Padahal saat pendemo mulai menyambangi Istana, disekitar area itu, para pedagang dengan jenis ragam jualannya mengais rejeki. Yang paling banyak adalah penjual minuman plus rokok. Tapi mulai dari tukang ketoprak, baso, pecel, mie ayam, sampai tukang mainan ada. Pokoknya bak pasar rakyat saja. Maklum yang datang bukan hanya para pendemo dan wartawan, tapi juga warga ibukota yang sekedar ingin menonton. Bahkan banyak sepasang keluarga, karena tampak membawa anak, ikut sekedar menonton demo. Tak heran jika tukang mainan anak, datang untuk menangkap peluang nafkah. Demo besar, dengan jumlah massa ribuan, telah terjadi dua kali. Yang pertama, demo pada tanggal 9 Desember 2009, yakni dalam rangka memperingati hari anti korupsi sedunia. Saat itu massa pendemo yang datang dan melakukan aksinya depan Istana mencapai ribuan orang.

Saat demo tanggal 9 Desember 2009 juga muncul desas-desus rusuh. Bahkan Pak Beye, selaku presiden melontarkan pernyataan ada yang coba berbuat makar pada dirinya. Menjelang demo hari anti korupsi itu, dibumbui juga dengan beredarnya dokumen pertemuan Dharmawangsa. Dokumen itu berisikan, bahwa sejumlah tokoh seperti Prabowo, Syafii Ma’arif, Jusuf Kalla, Din Syamsuddin dan Yudi Latief bertemu di Hotel Dharmawangsa, di bilangan Jaksel. Pertemuan itu berdasarkan bunyi dokumen, menyebutkan, untuk merancang skenario makar terhadap Pak Beye. Entah ada kaitan tidak antara lontaran pernyataan Pak Beye, bahwa ada upaya makar dengan dokumen gelap itu. Sampai sekarang, tak puguh juntrungnya, alias hilang ditelan angin. Para tokoh yang disebut dokumen itu juga sudah membantahnya.

Lalu demo yang kedua, yang melibatkan massa mencapai ribuan orang terjadi pada 28 Januari 2010. Demo itu digelar bertepatan dengan masa 100 hari pemerintahan Pak Beye dengan Boediono. Demo itu juga sempat dibumbui skenario rusuh, seperti yang dilontarkan Presiden LIRA, Jusuf Rizal. Tapi skenario rusuh itu juga tak terbukti. Apakah karena sudah terdeteksi, sehingga skenario rusuh tak jadi di lakonkan, atau memang kembali hanya sebuah bumbu dari sebuah aksi demo. Entahlah. Apakah ada demo besar-besaran lagi? Kita tunggu, apakah para pengkritik Pak Beye tak bosan untuk menggelar demo atau tidak.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *