Harga Singkong Anjlok di Lamtara, Komoditas Lain Bernasib Sama
dilaporkan: Setiawan Liu
Lampung, 2 Maret 2021/Indonesia Media – Gabungan kelompok tani (Gapoktan) desa Sukamaju Kec. Bunga Mayang, Kab. Lampung Utara (Lamtara) berharap perhatian pemerintah pusat memperjuangkan nasib petani di tengah pandemic covid 19, terutama harga singkong yang anjlok. Hasil panen yang dijual ke pabrik juga tidak bisa menutupi biaya operasional untuk pembukaan lahan kembali. “(usaha pertanian) hampir 70 persen bertani singkong di Lamtara. Kondisinya sangat memprihatinkan karena harga singkong anjlok, (yakni) Rp 300 – 400 per kilo. Usaha pertanian jagung, sawit juga hancur,” kata Gapoktan Lampung Utara, Adi Candra.
Solusi yang diharapkan sekarang ini, petani mulai beralih pada komoditas sorgum. Ada ratusan hektar lahan untuk penanaman sorgum di Lamtara. Petani diharapkan tanam dulu dengan skala usaha industri rumahan. Tetapi petani masih belum terdorong tanam secara maksimal untuk industri rumahan. Sorgum selain untuk tepung kue, kecap, beras, juga bisa sebagai bahan pembuatan pelet ikan. Petani belum menggunakan mesin cetak pelet ikan, yang potensial memudahkan pembuatan pelet. Kapasitas mesin 50 ton yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan pelet ikan. “Ada ribuan ton ikan nila, ikan emas yang dibudidaya di Lampung Utara, membutuhkan pelet ikan setiap harinya. Ada tiga bendungan/waduk di Lampung Utara; Way Tebabeng (Desa Jagang, Kec. Blambangan Pagar), Way Rarem, Tirta Shinta. Harga ikan Rp 7500/kg,” kata Sekretaris ICD (Indonesia Cerdas Desa) Forum Lampung Utara.
Penangkaran penanaman Varietas Unggul Baru (VUB) sorgum Bioguma menggunakan pupuk organik sampai tiga ton/hektar, sementara luas lahan yang sudah ditanami benih sebanyak lima hektar. Sehingga petani menghabiskan sekitar 15 ton pupuk, plus pupuk kimia untuk bibit berkualitas. Penangkaran VUB sebetulnya menghasilkan bibit berkualitas. Bibit yang sudah ditangkar diharapkan menjadi bibit nasional. “Kami mau ajukan proposal kepada Kementerian Pertanian untuk menampung bibit, dan menyertifikasi, menyebarkan ke berbagai daerah. Sehingga benih yang diproduksi petani bisa bermanfaat dan ada penghasilan buat kami,” kata Adi Candra.
Petani desa Bunga Mayang, selain dikenal karena penanaman singkong, juga perkebunan tebu. Tapi kondisinya hampir sama. Nasib petani tebu dan singkong ibaratnya hanya jadi sapi perah oleh perusahaan karena harga bibit mahal. Pengolahan lahan memerlukan biaya yang sangat tinggi. Pupuk dibutuhkan dalam jumlah besar, namun hasil petani tidak sesuai. Petani butuh waktu satu tahun lamanya untuk panen. “Rendemen rendah gula tidak bagus, timbangan tidak jelas. Hal ini yang harus jadi perhatian pemerintah. Karena fokus pemerintah hanya pada komoditas padi, jagung dan kedelai. Sementara di Lampung, banyak usaha perkebunan singkong dan tebu,” tegas Adi Candra. (sl/IM)
Bulog harus beli singkong dan tebu petani