Agribisnis Tidak Kena Dampak Covid, Alami Kredit Macet Perbankan
dilaporkan: Setiawan Liu
Pandeglang, 9 Januari 2021/Indonesia Media – Forum Komunikasi Pengusaha Mikro Banten (FKPMB) melihat sektor agribisnis khususnya pertanian, perkebunan tidak terkena dampak pandemic covid, sehingga jumlah pelaku usaha yang dililit kredit macet hampir tidak ada. Sebaliknya sektor perdagangan, terutama pemilik warung sembako di Pandeglang, Banten yang banyak mengalami permasalahan kredit macet. Sampai saat ini, sejak tahun 2020 dari data yang saya punya, tercatat ada 500 kasus lebih kredit macet perdagangan sembako di Banten, termasuk Pandeglang,” kata Abdul Hamid Gobel dari FKPMB kepada Redaksi.
Kredit bermasalah beberapa anggota FKPMB pada bank swasta nasional maupun bank BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Sejak membantu berbagai kasus kredit macet, Gobel melihat titik permasalahan pada karakter dan perilaku debitur. Hal yang paling umum yakni pengelolaan uang, terutama keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran setiap hari. “Mereka tidak bisa mengelola keuangan. Seharusnya dana pinjaman untuk modal kerja digunakan untuk yang penting-penting saja. Hal yang tidak urgent, seperti beli pakaian mewah, kendaraan bermotor harus dihindari. (keseimbangan pemasukan dan pengeluaran) cara menekan kredit macet pelaku usaha mikro, terutama warung-warung sembako,” kata Gobel yang juga konsultan hukum Asosiasi Pelaku Usaha Talas Beneng (Asputaben) Pandeglang.
Pengelolaan keuangan dan management usaha mikro di Pandeglang belum maksimal. Sehingga sistem kelola uang harus terus diarahkan termasuk pada setiap kegiatan Dakwah. Sebagaimana ucapan dan perilaku termasuk usaha pekerjaan tidak boleh menyimpang dari aturan Agama yang dianut. Sehingga prinsip pengelolaan uang dari pinjaman perbankan yakni 50 persen untuk modal usaha. “25 persen untuk kebutuhan hidup. 25 persen lagi untuk pengembangan tempat usaha. Kami hanya bisa memberi pemahaman yang sederhana,” kata Gobel.
Di tempat berbeda, pengusaha hortikultura di Pasar Angke Jakarta Barat merencanakan penanaman jeruk di lahan miliknya di kecamatan Cikeusik, Km 180 Pandeglang. Beberapa tahun yang lalu, ia tanam jeruk sampai 500 batang. “Hasilnya ada, tapi nggak ada (pekerja) untuk jaga di lahan kami. Sehingga hasil panen sering dicuri dan berhenti. Sekarang saya akan rencanakan lagi. Tahap pertama, kami mau meratakan tanah, lalu tanam jeruk, alpukat, nanas, durian musangking,” kata Agoan.
Ia sempat menanam sengon pada thn 2008, beli bibit Rp 1000 per pohon. Ia menunggu sampai enam tahun (sekitar Thn 2014), tanaman sengonnya semakin tinggi. Setelah itu, (hasil panen) bisa laku dijual sedikit-sedikit. “Lalu tanam lagi, pembibitan. Kl dijual per batang, harganya Rp 40 ribu. Kalau diolah, (batang-batang sengon) menjadi satu papan material (bahan bangunan),” kata Agoan.
Sejak mulai tanam, ia cenderung ‘lepas tangan’ karena pohonnya tetap tumbuh tanpa harus diawasi. Lalu ia sempat jual sampai 800 batang dengan harga Rp 40.000/batang. Tapi (kayu sengon) banyak dicuri masyarakat sekitar. Ada juga batang kayu sengon menjadi lapuk atau bolong-bolong. Ia mengaku tidak serius urus (lahan usaha penanaman) karena berpikir bahwa pohon sengon tersebut sebagai pemberian Tuhan. “Ada tengkulak keliling yang beli hasil panen (pada tahun 2014, tapi setelah itu, kami mau beralih pada hortikultura terutama jeruk. Saya beli tanah pada tahun 2008, masih sangat murah, sekitar Rp 30 juta per hektar (atau Rp 3000/meter persegi). Sekarang, bahkan ada penawaran sampai Rp 90 juta per hektar,” kata Agoan. (sl/IM)