Dulu Cicak, Kini Kura-kura


OBROLAN yang dibuka dengan gelak tawa itu berubah murung. “Sekarang status saya tidak jelas, tersangka atau bukan,” kata Chandra M. Hamzah, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, awal Juli lalu.

Hadir dalam diskusi dengan jurnalis dan komunitas narablog di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ia didampingi Bibit Samad Rianto, sesama Wakil Ketua KPK. Keduanya dijadikan tersangka oleh polisi sejak September tahun lalu, dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang. “Kami sendirian, kanan-kiri ada koruptor,” kata Bibit.

Chandra mengakui berlarut-larutnya kasus itu mem pengaruhi kinerja KPK. “Bohong kalau dibilang kami tidak terpengaruh.” Dia lalu membeberkan angka-angka penyelesaian kasus di lembaganya sepanjang 2009. “Ada penurunan jumlah penyelidikan dan penyidikan,” katanya terus terang.

Di bawah tekanan publik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebetulnya telah memerintahkan Jaksa Agung menghentikan kasus Chandra dan Bibit, yang diduga menjadi korban rekayasa. Jaksa Agung Hendarman Supandji pun mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) pada akhir November 2009.

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Juni lalu, mementahkan lagi penyelesaian itu. Mengabulkan gugatan pengusaha Anggodo Widjojo atas penerbitan surat penghen tian penuntutan, hakim meminta kasus itu dilimpahkan ke pengadilan. “Enam bulan setelah keluarnya penghentian penuntutan, ternyata masalah kami belum tuntas juga,” kata Chandra.

Buntut putusan itu kini terasa. Sampai pekan lalu, sejumlah kasus kakap yang di atas kertas sudah bisa berlanjut, tak terdengar lagi gaungnya. Kasus cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia mandek. Kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran di sejumlah provinsi juga tak terdengar.

Sejumlah pegawai KPK, diam-diam ataupun terang-terangan, mengaku kehilangan arah. “Tak ada kepemimpin an di sini,” kata satu pegawai. Situasi diperparah oleh kepergian para pemimpin di level menengah. Satu demi satu mereka memilih mengundurkan diri dan pindah ke lembaga lain.

Maret lalu, keluar pula Chesna Anwar (Direktur Pengawasan Internal) dan Budi Ibrahim (Direktur Pengolah an Informasi dan Data). Sebelumnya, Lambok Hutauruk (Direktur Gratifi kasi) dan Roni Ihram Maulana (Direktur Monitoring) sudah angkat kaki. Dua polisi yang kinerjanya dinilai baik, Bambang Wirdayatmo (Direktur Penyidikan) dan Ahmad Wiagus (Direktur Pengaduan Masyarakat), juga sudah “cabut”. Sampai pekan lalu, pengganti empat posisi direktur belum dilantik.

“Jelas ada krisis di KPK,” kata Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Benny K. Harman akhir pekan lalu. “Kalau tak segera ditangani, lembaga itu bisa-bisa jadi macan ompong.”

PELEMBAMAN KPK berawal dari penangkapan sang ketua, Antasari Azhar, Mei tahun lalu. Dia dituduh terlibat pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Ketika ditahan polisi, Antasari membuat testimoni mengenai dugaan peme rasan yang dilaporkan pengusaha Anggoro Widjojo, adik kandung Anggodo.

Testimoni inilah yang dipakai polisi mengejar Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Menggunakan peng akuan Ary Muladi, kolega Anggodo yang mengatakan telah menyerahkan sejumlah uang kepada pemimpin KPK, polisi menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka. Padahal pengakuan Ary kepada polisi itu telah dicabut.

Kasus Antasari dan dua pemimpin lainnya membuat KPK luluh-lantak. Apalagi ruang kerja pemimpin jantung dari semua operasi KPK sempat digeledah. Sejumlah pegawai pun bolak-balik diperiksa polisi. “Kami waktu itu tidak bisa bekerja, karena terus-menerus diperiksa,” kata Wakil Ketua KPK Haryono Umar, Kamis pekan lalu.

Pukulan terakhir datang dari pembatalan SKPP dalam kasus Bibit dan Chandra. Sepekan setelah putusan Pengadilan Tinggi Jakarta itu di umumkan, Wakil Ketua KPK M. Jasin mengumumkan kebijakan baru lembaganya. “Hal-hal penting yang ber kait an dengan penandatanganan surat ditangani saya dan Pak Haryono Umar,” kata Jasin. Keputusan itu, kata dia, diambil untuk menghindari polemik. “Ini demi keamanan dan keabsahan setiap tindakan KPK.”

Sumber Tempo mengatakan keputusan internal itu sempat disesalkan. “Seharusnya tidak perlu diumumkan begitu,” katanya. Dalam satu diskusi, Bibit dan Chandra juga berulang-ulang menegaskan posisi mereka tetap sah sebagai pemimpin KPK. “Keputusan Presiden yang membatalkan nonaktifnya kami berdua belum dicabut,” kata Bibit. Namun mereka setuju tidak lagi menandatangani berkas perkara.

Keputusan inilah yang dituding sebagai pangkal mandeknya sejumlah kasus korupsi yang ditangani KPK. Latar belakang Haryono dan Jasin sebagai akuntan dan birokrat memang membuat keduanya bertanggung jawab di bidang pencegahan, bukan penindak an. Selama ini, yang menjadi motor di bidang penindakan memang Bibit dan Chandra.

Walhasil, dalam beberapa gelar per kara, meski penyidik sudah menyatakan alat bukti lengkap, keputusan pemimpin bisa mementahkan semua. “Kalau memang dua pemimpin setuju, dan dua yang lain belum, ya statusnya ditunda,” kata Haryono. “Kami minta penyidik melakukan pendalaman lagi.” Namun dia membantah ada pelembaman kerja KPK dalam satu bulan terakhir. “Semua tetap kenceng kok,” katanya menjamin.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *