Demplot Budidaya Porang Efektif untuk Ekspor, Manufacturing Dalam Negeri


Demplot Budidaya Porang Efektif untuk Ekspor, Manufacturing Dalam Negeri

dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 18 Desember 2020/Indonesia Media – Perusahaan manufacturing membuka demplot (demonstrasi plot) terlebih dahulu budidaya porang sebagai percontohan selama bekerjasama dengan kelompok tani ataupun pemilik lahan sehingga bisa minimalisir resiko kerugian. Tanaman porang sampai mendapatkan hasil panen biasanya memakan waktu sampai setengah tahun, dan tetap memiliki nilai ekonomi dan keuntungan. “Kami buka demplot dulu untuk kemungkinan buka lahan di kecamatan Banjaranyar, Ciamis (Jawa Barat), kerjasama dengan petani. Efektivitas hitungannya dengan skala (luas areal tanam) satu hektar, sampai ada keuntungan dari penjualan,” pelaku usaha porang Agustinus mengatakan kepada Redaksi.

Luas demplot disesuaikan dengan jumlah petani atau kelompok yang urun rembuk usaha budidaya porang. Demplot dianggap efektif untuk penyuluhan kepada petani, pemilik lahan dan pengepul. “Untuk porang, kalau petani mulai tanam sekarang (akhir tahun), panen berlangsung Juni. Sehingga demplot skala kecil untuk menghindari kerugian,” kata Agustinus.

Selama ini, investasi paling besar ada pada bibit. Setelah itu, pelaku usaha mengeluarkan biaya untuk land clearing ataupun sewa, upah tenaga kerja, pupuk dan lain sebagainya. Harga bibit mencapai Rp 350 ribu per kilo. Setelah berhasil panen, pengepul menjual kembali kepada eksportir atau perusahaan manufacturing. “Kami kerjasama buka lahan dengan petani di Ciamis, dan terus follow up (kesepakatan kerja) dengan PT Pandawa Agro Sumatera, pak Sembiring (sebagai general manager). Selain, kami juga sedang penjajakan untuk beli (porang) dari petani di NTT (Nusa Tenggara Timur),” kata Agustinus

Selama ini, ada beberapa perusahaan manufacturing yang mengolah porang menjadi beras shirataki, konnyaku rice, dan lain sebagainya. Pengepul menjual (porang) kepada perusahaan lain dengan beberapa ketentuan. Pasokan harus mencapai 5 – 10 rit (penyewaan truck angkut) pengiriman. Satu rit setara dengan tujuh ton porang. “Pabrik tetap benchmark 5 – 10 rit untuk jaminan kelangsungan supply. Karena kalau supply macet, berdampak pada produksi. Kalau jaminan terpenuhi, mereka (pembeli) baru bersedia tandatangani MoU (memorandum of understanding), buka PO (purchase order). Tapi kami yakin, bisnis porang masih sangat prospektif. Kami terus bangun kerjasama dengan petani untuk ketersediaan pasokan,” kata Agustinus.

 

 

Di tempat berbeda, konsumen beras shirataki di Jakarta, Tika mengaku rutin belanja secara online. Harganya relatif mahal untuk ukuran orang Indonesia, yakni Rp 1 juta per lima kilogram. Ia mengaku mulai konsumsi shirataki yang dibuat dari porang sejak dua tahun lalu. “Saya beli satu paket, beratnya lima kilo dengan harga Rp 1 juta untuk 30 hari. Karena banyak manfaatnya, terutama untuk program diet, saya masih rutin beli online. Karbohidratnya ada, tapi lebih kecil. Rasanya sama seperti nasi, bahkan (shirataki) lebih enak,” kata Tika.

Kendatipun demikian, ia mengaku miris dengan impor beras shirataki dari Jepang. Bagaimana tidak, bahan bakunya dari porang yang ditanam di beberapa daerah di Indonesia. Tetapi karena perusahaan manufacturing belum maksimal menciptakan nilai tambah pada porang, konsumen bayar lebih mahal. Nasi  shirataki enak tapi kalau sudah diekspor ke Jepang, (peluang bisnis) pasti beda. “Kalau manufacturing dalam negeri bisa produksi shirataki, kemungkinan harga pasaran hanya Rp 20 ribu per kilo, bukan hampir Rp 200 per kilo (seperti sekarang ini),” kata Tika.

 

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *