Bumdesma Basel Ciptakan Value Addition di Tengah Anjloknya Harga Lada


Bumdesma Basel Ciptakan Value Addition di Tengah Anjloknya Harga Lada

dilaporkan: Setiawan Liu

Bangka, 30 Desember 2020/Indonesia Media – Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes Bersama (Bumdesma) terkait dengan produk unggulan di Kabupaten Bangka Selatan (Basel) Prov. Bangka Belitung meningkatkan produksi dengan value addition atau nilai tambah. Hal ini seiring dengan penetapan Basel sebagai kawasan pertanian prioritas nasional (KPPN) khususnya kecamatan Air Gegas sebagai sentra produksi lada. “Kami berinisiatif meningkatkan lada Basel. Harga lada sedang anjlok di pasar luar negeri. Sehingga Bumdesma harus bersatu mensejahterakan petani,” pengurus Bumdesma Budianto mengatakan kepada Redaksi.

Selain timah, Bangka Belitung dikenal sebagai penghasil lada nasional. Tiap tahun provinsi ini menghasilkan tidak kurang dari 30.000 ton lada putih dan menyumbang 40 persen produksi nasional. Basel sebagai sentra, atau dua pertiga dari lada Bangka Belitung terutama dari kebun-kebun rakyat. Dari keseluruhan kegiatan produksi, ada sekitar 57.000 keluarga petani bergelut tanam lada. “Kami tidak patah semangat karena harga anjlok. Kami berinisiatif beli bahan baku, dan langsung mengolah. Produk olahan bukan dalam bentuk curah atau mentah, tapi kemasan botol khusus bubuk yang sudah digiling, botol butiran, sachet,” tegas Budianto.

Selain itu, ada juga kemasan grinder yang langsung digiling dengan alat penghalus lada. Konsep hilirisasi atau value addition sudah berhasil meningkatkan harga lada pada tingkat petani. Kalau dalam bentuk botol, harga tertinggi mencapai Rp 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah) dengan berat 60 gram. Kemasan sachet dengan berat hanya dua gram, harganya Rp 800 – 1000 (delapan ratus sampai seribu rupiah). “Produk kami menjaga kualitas. 100 persen lada asli, tanpa campuran. Proses, dari petani lada ke Bumdesma, lalu bumdesma olah. Mulai dari petik secara tradisional, diolah secara modern,” katanya

Terkait harga anjlok, kondisi ini sudah berlangsung dalam kurun lima tahun belakangan ini. Harga di pasaran tidak sebanding dengan pendapatan (dari penjualan) untuk petani. Dalam hitung-hitungan sekarang, harga kemarin hanya Rp 50.000/kg. Sedangkan bahan yang digunakan pada proses produksi, salah satunya tajar/junjung atau tiang untuk alat lada mencapai Rp 30.000. “Ongkos produksi tersebut belum termasuk pupuk. Kalau pupuk non-subsidi Rp250.000/karung. Secara umum harga tersebut tidak bisa menutupi harga jual lada. Sehingga kami berinisitaif, menjual harga lebih tinggi, dengan tidak menjual dalam bentuk curah,” katanya

Bumdesma Basel untuk lada dibentuk akhir tahun 2017, dan baru sebatas pembentukan. Produktivitas baru mulai tahun 2020. Bumdesma masih sangat awal atau tahap pemula. Tetapi dengan status Basel ditetapkan sebagai KPPN, ada fasilitasi/support dari Pemerintah Pusat, yakni gedung dan peralatan. Gedung pasca panen lada, peralatan mulai dryer, mesin penghalus sampai mesin sachet. Dengan penciptaan nilai tambah, harga meningkat dengan ratio 1 : 3 (satu berbanding tiga) curah dan kemasan. “Kalau curah, (harga lada) Rp 50.000. Tapi dengan kemasan yang bernilai tambah, harga mencapai Rp 150 – 200 ribu. Tapi kami juga berharap pemerintah provinsi bantu pemasaran. Harga dasar lada putih Rp 62.000 per kilo. Ada yang pesan, tapi setelah itu menghilang. Kami juga berharap stakeholders Bumdesma bisa lebih berperan aktif, tidak sekedar seremonial,” tegas Budianto. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *