Berharap bisnis LPK Mandarin, serobot aset gedung perpustakaan Sun Yat Sen
dilaporkan: Setiawan Liu
Jakarta, 17 April 2022/Indonesia Media – Berawal dari keinginan untuk buka usaha Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) berbahasa mandarin, dan melihat tingginya kebutuhan tenaga kerja terampil berbahasa mandarin untuk berbagai perusahaan asing terutama Tiongkok dan Taiwan, ibu Linty Sastrodihardjo (77) terdorong mencari tempat di lokasi yang strategis, terutama Jakarta atau Semarang, Jawa Tengah. Dia melihat LPK di Depok, Jawa Barat berhasil meluluskan tenaga terampil untuk tata boga, tata rias dan bengkel untuk remaja. “Ada orang Taiwan yang buka LPK, mendidik (peserta) selama sekitar empat bulan. Pesertanya sudah bisa berbahasa mandarin, dikirim ke Taiwan untuk kerja,” ibu Linty mengatakan kepada Redaksi melalui sambungan telpon.
Para lulusan LPK mendapat kesempatan bekerja di berbagai perusahaan milik Tiongkok dan Taiwan. Sebagian ditempatkan di kawasan industri di Kendal (PT Jababeka), Jawa Tengah (Jateng). Bahkan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo memproyeksikan Kendal sebagai kawasan industri dengan berbagai benefit terutama tenaga kerja dengan UMR/UMK (upah minimum regional/kota) yang tidak terlalu tinggi. “Baru-baru ini, ada investor yang mau cari lokasi dengan luas lahan puluhan, mungkin 60 hektar. Karena sudah berdiri satu kawasan industry yang established, butuh banyak tenaga kerja yang bisa berbahasa mandarin untuk jasa interpreter. Cukup hanya conversation (percakapan) sederhana. Sehingga saya berencana buka LPK yang khusus bahasa mandarin. Saya butuh tempat untuk realisasi rencana tersebut,” kata ibu Linty.
Dari semua rencana, ia berpikir untuk menggunakan aset bangunan dua lantai di Jl. Pekojan raya, yakni Perpustakaan Sun Yat Sen. Pendirinya, Jacob Irawan meninggal tahun lalu dan perpustakaan juga sudah tutup karena penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di tengah pandemi covid. Ia sempat menyusun rencana tersebut dengan rekannya, ibu Hoo Betty (mantan dosen mandarin di Universitas Tarumanagara). “Maksudnya, (kami) mau buka kursus di ex perpustakaan Sun Yat Sen. LPK di Tangerang juga berhasil, bahkan kerjasama dengan LPK Pahoa Patekoan, Jl. Perniagaan Glodok. Dia ditunjang oleh alumni Pahoa dan sebuah toko buku. Itu harus disubsidi karena iuran murid hanya dikenakan Rp 150.000, sementara gaji guru Rp 4 juta. Saya berpikir untuk menggunakan gedung perpustakaan Sun Yat Sen, karena kan sudah dua tahun tidak operasional,” kata Ibu Linty.
Tetapi keinginan ibu Linty menggunakan aset gedung perpustakaan tersebut sepertinya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Menurut seorang tokoh Tionghoa, pengurus PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) Eddy Sadeli, kondisi gedung perpustakaan tersebut masih sangat bagus. Konstruksi dua tingkat dan lokasinya berada di jantung kota, termasuk pecinan Glodok, kawasan perdagangan Toko Tiga. “Pengurus lama (Yayasan Sun Yat Sen) sudah banyak yang meninggal, termasuk pak Jacob Irawan. Tapi waktu pak Jacob masih ada, dia sempat mengatakan bahwa aset gedung tidak akan diserahkan kepada ibu Linty. Kalaupun mereka berteman, tapi bukan berarti dia (Jacob Irawan) mau mengalihkan aset kepada ibu Linty. Dia mau jual, karena ibu Linty kan berdomisili di Semarang,” kata Eddy Sadeli, anggota DPR RI periode 2009 – 2014.
Sewaktu Jacob Irawan dirawat di Rumah Sakit (RS) Grha Kedoya, Jl. Panjang Arteri, mereka sempat diskusi berbagai hal. Selain, Eddy Sadeli juga beberapa kali membesuk Jacob Irawan di rumahnya di komplek perumahan di bilangan Cengkareng Jakarta Barat. “Almarhum (Jacob Irawan) tidak mau kasih aset gedung perpustakaan begitu saja kepada ibu Linty. Sebaliknya, dia berpikir mau jual saja. Kalaupun dia mau kasih kepada orang lain, dia ikhlas kasih kepada pak Alex atau Wen hua zen yang juga ikut mendirikan perpustakaan dari awal,” kata pendiri Kantor Pengacara Drs Eddy Sadeli SH & Partners di Jl. Kali Besar Timur.
Perpustakaan tersebut juga tidak lepas dari politik Taiwan, dengan label ‘Sun Yat Sen, tokoh utama Revolusi Tiongkok 1911’. Sehingga banyak tokoh/pengusaha Tionghoa yang tidak mau ‘beresiko’ untuk meneruskan operasional perpustakaan tersebut. “Karena aliran Taiwan,” kata Eddy Sadeli. Sewaktu Jacob Irawan dirawat di RS Grha Kedoya, ia juga sudah menegaskan bahwa operasional sehari-hari perpustakaan oleh keponakannya. Sehingga tidak ada alasan, kalau ibu Linty mengaku ‘dekat’ dan berhak untuk melanjutkan kelola perpustakaan. “Pak Jacob juga kurang cocok Prof Willy (pendiri Klinik Cahaya Mandiri, Ketapang Indah, Jl. Kyai Haji Zainul Arifin No.4, RT.4/RW.7, Krukut, Kec. Taman Sari, Jakarta Barat). Walaupun dia kelahiran Taiwan, tapi (pak Jacob) nggak sreg (enak di hati) juga,” kata Eddy Sadeli. (sl/IM)