Situasi dan Refleksi warga keturunan di belakang superblock Chandra Naya


Situasi dan Refleksi warga keturunan di belakang superblock Chandra Naya

Dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 20 April 2022/Indonesia Media – Go Wie Cham (63), warga keturunan Tionghoa duduk termangu di bangku warung makan di belakang bangunan superblock Green Central City (GCC) Chandra Naya, Kelurahan Glodok Taman Sari, tetapi bukan karena sedih, kecewa ataupun bingung. Ia bekerja di warung yang diberi nama ‘Sragen’ dengan upah sesukanya karena lokasinya pas bersebelahan dengan rumahnya. Kadang ia mengajak ngobrol pelanggan, dan tetap melayani pelanggan seperti bikin minuman teh, kopi dan lain sebagainya. “Saya kerja di warung, dibayar secara sukarela saja,” kata Wie Cham.

Setiap pagi sebelum jaga warung, ia kerja sebagai juru parkir di depan gang Keadilan, Kel. Glodok Taman. Sekitar jam 7 – 10 pagi, ia memarkir kendaraan di depan beberapa toko pas depan gang Keadilan. Ia mengaku hanya dapat jatah tiga jam untuk jaga parkiran. Setelah jam 10, beberapa orang yang tinggal seputar Glodok mengambil giliran. “Saya tidak bisa (kerja parkiran) sampai sore karena ada preman (menguasai). Mereka mau giliran,” kata Wie Cham, yang hidup sebatang kara.

Ketika pandemic covid menghantam Indonesia, ia terkena dampak juga. Penghasilan sebagai juru parkir anjlok. Untungnya, ia masih bisa mendapat penghasilan dengan bantu jaga warung, walaupun pas-pasan. Sebelum pandemic covid, kalau sedang beruntungan, ada saja pemilik kendaraan yang menyelipkan uang Rp 10 – 20 ribu untuk jasa parkir di depan toko-toko. Rata-rata, pengendara bayar Rp 5000 (lima ribu rupiah) saja. “Kalau preman lihat, saya dapat Rp 20.000, mereka pasti minta jatahnya. Saya kasih Rp 5000 (lima ribu rupiah). Saya nggak punya keahlian, bahkan tidak bisa baca, tidak bisa menulis. Satu-satunya pekerjaan, seperti sekarang ini, menjadi tukang parkir dan jaga warung,” kata Wie Cham.

Ia sebetulnya penduduk asli ‘cluster’ Petak Mayor, yang berada di belakang Chandra Naya sejak tahun 1960 an. Waktu Pemerintahan Presiden Soekarno menerbitkan PP 10/1959, dimana ratusan ribu WNA Tiongkok dipulangkan ke negeri leluhurnya, salah satunya Bapak kandungnya. Waktu itu juga terjadi kerusuhan di seputar Petak Sembilan Glodok, sehingga Bapaknya memilih pulang ke Tiongkok. Tetapi Ibunya memilih untuk tetap tinggal di Glodok. “Masih terngiang, cerita Ibu dan kedua kakak saya. ketika Bapak saya meninggalkan kami, menuju pelabuhan Tanjung Priok, saya baru berumur dua tahun. Tapi Ibu dan kakak saya sempat menceritakan. Saya masih membayangkan sampai sekarang, kalau saya ikut Bapak saya pulang ke Tiongkok. Bayangan saya, mungkin saya jadi tentara nasional Tiongkok,” kenangnya. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *