Tradisi Tionghoa rumah-rumahan masih eksis, menjadi lahan bisnis
dilaporkan: Setiawan Liu
Jakarta, 3 Nopember 2021/Indonesia Media – Tradisi upacara kematian etnis Tionghoa khususnya di beberapa kota besar di Indonesia masih eksis, baik tata cara maupun perlengkapan dan kelengkapan. Bahkan karena tradisi masih melekat, berbagai kebutuhan barang dan jasa untuk upacara kematian menjadi lahan bisnis. Salah satunya, yakni perlengkapan berupa rumah-rumahan kertas dan sejenisnya. Di pecinan Jakarta, Glodok dan sekitarnya, kegiatan perajin rumah-rumahan kertas juga masih eksis. Tempat pembuatannya ada yang khusus di satu tempat, tapi ada juga yang disatukan dengan kegiatan persembahyangan klenteng atau Wihara. Salah satunya, perajin di Wihara Nana Dassana Jl. Krendang Barat, Jembatan Besi Jakarta Kota. Hampir setiap hari, ada sekitar 3-5 orang membuat rumah-rumahan kertas untuk umat Wihara tersebut. Salah seorang perajin asal Banyumas, Jawa Tengah, Anto (26) mengaku sudah sekitar enam tahun bekerja di Wihara Nana Dassana. “Ada banyak model (rumah-rumahan), seperti jembatan, (binatang) kuda, mobil dan lain sebagainya. Model rumah juga, ada yang berwarna merah dan putih. (model) tergantung pesanan umat. Saya hanya bikin (model) jembatan merah,” Anto mengatakan kepada Redaksi.
Sementara, rekannya yang lain khusus mengerjakan model kuda, mobil, baju-bajuan dan lain sebagainya. Setiap pekerja mengerjakan sesuai dengan keahlian masing-masing. Proses pembuatan model jembatan biasanya hanya sekitar dua hari. Pemesanan sekitar 15 – 20 rumah-rumahan per bulan. Bahan-bahannya biasanya dibeli di pusat perdagangan Pasar Pagi, Jakarta Kota. Terutama kertas warna, lem, bamboo, tali yang menjadi bahan dasar pembuatan rumah-rumahan. “Saya nggak tahu tradisi orang Tionghoa, karena saya hanya bekerja. Tetapi saya sering melihat, bagaimana umat diskusi dengan boss saya untuk pesanannya. Ada yang berharap, (rumah-rumahan) untuk penyampaian doa persembahyangan. Ada juga doa untuk panjang umur mereka (umat Wihara Nana Dassana). Mereka sembahyang, lalu bakar rumah-rumahannya,” kata Anto.
Di tempat berbeda, salah seorang pengusaha keturunan Tionghoa yang menetap di Jakarta, Hengky Winata (51) mengaku bahwa tradisi rumah-rumahan sudah ada sejak tahun 1980 an. Tepatnya, Ketika ia masih bersekolah di Gang Songsi, Jembatan Lima. Setiap kali jam pulang sekolah, ia sering melihat para pekerja membawa (rumah-rumahan) bersama-sama oleh dua orang atau lebih. “Waktu itu, (model) rumah dan mobil mewah yang paling banyak dipesan. Ada juga perlengkapan elektronik terutama Tv (televisi) yang dibuat dan digotong pekerjanya. Workshop (pembuatan rumah-rumahan) di Gang Songsi, hanya beberapa puluh meter dari sekolah saya (Bhinneka Tunggal Ika). Yang menarik, kalau modelnya Tv selalu ditempel foto-foto artis Hongkong atau Taiwan seperti Lin Ching Hsia (Brigitte Lin). Karena waktu itu kan, era tahun 1980 an sedang booming film-film Hongkong – Taiwan, dan artisnya yang paling terkenal, Lin Ching Hsia,” Hengky Winata mengatakan kepada Redaksi.
Sehingga setiap kali ia melihat proses pembuatan rumah-rumahan, ia selalu ingat masa sekolahnya. Ia juga tidak bisa membayangkan, ternyata tradisi orang Tionghoa pada upacara kematian masih eksis. Sebagaimana, orang-orang yang sudah berumur 50 – 60 tahun, pada masa sekolahnya mengalami kebijakan asimilasi full orang Tionghoa dengan pribumi. Kebijakan pada rezim Soeharto tersebut dilakukan melalui Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, sehingga murid-murid sekolah lebih berorientasi pada budaya barat. “Waktu masih sekolah, kami juga dilarang untuk bernyanyi lagu-lagu mandarin. Kami dilarang merayakan Imlek dan lain sebagainya. Sampai sekarang, kami sempat mengalami disorientasi, dari budaya timur (Tionghoa) ke barat. Budaya barat, seperti lagu-lagu Rolling Stone, the Beatles yang lebih menggema. Tapi ternyata, tradisi Tionghoa terutama rumah-rumahan masih eksis sampai sekarang,” kata Hengky Winata. (sl/IM)