POLITIK lebih tepat diartikan tipu muslihat. Pasalnya, para politisi yang berpolitik penuh dengan tipu muslihat yang mengecewakan rakyat. Janji politisi tidak bisa dipegang ekornya, pagi dele sore tempe alias mencla-mencle. Omongan politisi cenderung pembohongan publik dan bualan belaka. Akibatnya, banyak istilah dipublikasikan bernada kebencian terhadap kalangan politisi. Antara lain, ada istilah politisi hitam, politisi busuk, politisi tengik dan lain sebagainya.
Bicara soal politisi tak lepas dari uang dan kekuasaan. Antara rezim penguasa dan elit politik bagaikan setali tiga uang alias sama saja. Yakni, berkolusi untuk saling menutupi kebobrokan masing-masing, menukar atau barter kasus, dagang sapi untuk kepentingan perutnya sendiri dan kelompok kroninya. Bagi mereka, yang penting adalah tahta dan harta. Alhasil, publik dikhianati dan dikibuli. Keadilan dan kesejahteraan rakyat diabaikan.
Setelah berita penangkapan teroris dan bentrok Ahmadiyah diduga merupakan pengalihan isu terhadap tudingan kasus korupsi kakap yang menyeret penguasa dan elit politik, belakangan bergulir kencang isu reshuffle yang hiruk pikuk melupakan isu-isu sentral yang membuat penguasa dan elit politik ketakutan terjerat. Isu reshuffle tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan rakyat, karena reshuffle hanya bagi-bagi kue kekuasaan di jajaran elit atas yang sudah buncit perutnya.
Rakyat tidak perlu reshuffle. Seribu kali reshuffle tidak ada manfaatnya bagi rakyat. Karena menteri yang duduk di kabinet bukanlah figur profesional dan bukan sosok the right man on the right place. Melainkan orang-orang titipan elit partai politik yang tak profesional dan tidak menguasai bidang yang dipimpinnya. Presiden ketakutan kepada elit partai apabila mengambil orang-orang profesional dari luar partai dan tidak menyediakan jatah ‘preman‘ berupa kursi jabatan menteri.
Maka, Presiden SBY dinilai telah mengkhianati komitmennya sendiri. Sebab saat pemilihan presiden tahun 2004 dan 2010, SBY telah berkomitmen pemerintahannya akan dipegang oleh orang-orang yang profesional. “Sebetulnya Presiden SBY itu mengkhianati komitmennya sendiri. SBY semenjak awal 2004 dan 2009 dia ulang-ulang menyatakan komitmenya kepada rakyat, kalau saya terpilih, maka pemerintahan saya terdiri dari orang-orang yang profesional,” ungkap pengamat vokal UI Prof Tjipta Lesmana, seperti dilnsir jakartapress.com, Sabtu (5/3).
Namun kenyataannya SBY mengkhianati komitmennya. Kabinetnya dibentuk tapi ada menteri yang tidak mengerti di bidangnya sendiri, semata-mata dari partai politik tertentu, inilah yang menyebabkan kabinet jelek sekali. Sikap Presiden SBY aneh, mengaku sudah dipilih menjadi presiden secar langsung oleh rakyat, tetapi malah takut sama partai politik. Sebaliknya, Presiden malah tidak serius mengurus kepentingan rakyat yang memberi kepercayaan memilihnya.
Soal saling gertak dan ancam mengancam terkait koalisi, akhirnya Presiden SBY berpidato di Kantor Presiden, Selasa (1/3/2011) lalu. “Dari evaluasi yang saya lakukan, saya menilai, ini juga dijustifikasi, atau dikonfirmasi oleh pandangan umum dari teman-teman di pemerintahan, bahwa ada sejumlah kesepakatan yang tidak ditaati, atau dilanggar oleh satu dua partai politik,”ucap SBY. ”Dan dalam penataan kembali koalisi yang Insya Allah akan kami laksanakan dalam waktu dekat ini, jika memang ada parpol yang tidak lagi bersedia mematuhi atau menaati kesepakatan yang sudah dibuatnya bersama sama saya dulu, tentu parpol seperti itu tidak bisa bersama-sama lagi dalam koalisi.”
Mendegar pernyataan SBY ini, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin malah ketawa ngakak. Pasalnya, ia menilai pidato SBY yang mengisyaratkan akan mengevaluasi koalisi itu nampaknya hanya isapan jempol belaka. Menurut Din, apabila memang SBY ingin mengevaluasi peserta koalisinya, tak perlu menunda-nunda. “Saya tertawa saja setelah pidato Presiden SBY yang mengisyaratkan akan mengoreksi partai koalisi bermasalah itu kan semacam gertakan politik. Tapi ternyata tidak menjalankannya,” ujar Din di gedung DPR, Selasa (8/3) sore, seperti dilansir berbagai situs berita.
Lebih lanjut, Din Syamsuddin menilai isu reshuffle kabinet hanya bentuk dari egoisme syahwat politik yang ingin berkuasa dan mempertahankan kekuasaan sehingga cenderung berbagi kekuasaan pada mereka-mereka saja. Sementara, permasalahan bangsa seperti masalah korupsi, kemiskinan, pengangguran tidak segera diselesaikan. “Saya ketawa saja setelah pidato SBY yang mengisyaratkan akan mengkoreksi partai-partai koalisi bermasalah,” papar Din, Selasa (8/3), sembari menambahkan, pidato SBY tersebut hanyalah gertakan politik yang belum tentu akan dijalankan juga oleh presiden. Bagi Din, Presiden SBY tak sedikitpun memiliki ciri kepemimpinan yang reformatif.
Apa yang diprediksi oleh Din ternyata 100 persen benar. Sebab apa? Diam-diam Presiden SBY melakukan pertemuan dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) di Wisma Negara, Selasa (8/3/2011) sore, yang telah sepakati Partai Golkar tetap di koalisi Setgab. Selain Presiden SBY dinilai peragu dan penakut, ini juga membenarkan dugaan bahwa isu reshuffle hanyalah pengalihan isu terhadap kasus-kasus yang menyeret elit kekuasaan termasuk bergulirnya Hak Angket mafia pajak. Rakyat dibuat menjadi lupa terhadap kasus-kasus tersebut dengan disuguhi hingar bingar kabar reshuffle. Dengan kejadian ini, maka ancaman Presiden SBY sebelumnya ternyata hanya omong kosong. Andaikan ada reshuffle pun hanyalah akibat politik sandera demi kepentingan elit partai, bukan kepentingan rakyat.
Gembor-gembor Partai Golkar yang mengancam akan berada di luar koalisi SBY ternyata juga hanya basa-basi belaka. Ada teman saya seorang wartawan, dia tanya kepada salah seorang elit Golkar. Bagaimana kok banyak DPD Golkar yang mendesak DPP agar Golkar keluar dari koalisi? Bayangan saya, dia akan menjawab tegas dan berani melawan SBY. Ternyata, elit Golkar itu hanya tersenyum dan bilang: Ah, itu kan supaya kelihatan ramai saja. Kalau gak gitu gak serem. Wah, terperanjat saya, ternyata semuanya hanya mainan poltik belaka yang menipu dugaan dan harapan rakyat. Saya pun sadar, bahwa omongan politik adalah bualan sampah.
Bayangkan saja, pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) dalam pidatonya di DPP Golkar, Minggu (6/3), seakan-akan dan seolah-olah berani keluar koalisi. Ical sesumbar menyatakan bahwa Golkar sudah kenyang kekuasaan dan bukannya haus kekuasaan. Artinya, siap menjadi oposisi terhadap pemerintah SBY. Nyatanya? Omong doang (omdo). Makanya, Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Saan Mustofa menilai pernyataan Ical tersebut hanya bohong atau basa-basi belaka. Ia pun menilai, Golkar jelas masih menginginkan berada di kekuasaan dan bahkan haus kekuasaan.
Nampaknya, keadaan negara kita sudah amburadul akibat tingkah perilaku politisi dan sikap penguasa yang labil tak konsisten. Oleh karena itu, kini Presiden SBY harus segera sadar dan tobat secepatnya. Presiden sebaiknya fokus dalam program pengentasan kemiskinan, membuka lapangan kerja dan menurunkan harga. Pasalnya, saat ini SBY tidak memiliki prioritas dalam menjalankan pemerintahannya. Menurut mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof Azyumardi Azra, SBY saat ini lebih sibuk membagikan kue-kue kekuasaan kepada partai-partai yang masih dan ingin berkoalisi dengan pemerintah. “Padahal soal koalisi dan perombakan kabinet adalah tidak penting. Itu bukan isu yang penting. Seharusnya SBY lebih fokus mengurusi kemiskinan, harga beras naik dan membuka lapangan kerja, itulah isu yang penting dalam bangsa kita saat ini,” tegasnya.
Publik hanya menunggu, kapan SBY bersikap tegas dan bukan peragu lagi. Kapan SBY ingat akan janjinya dalam Pilpres lalu bahwa akan membentuk kabinet profesional? Keluarkan sebagian besar menteri dari partai politik, ganti dengan figur profesional! Kabinet harus diperuntukkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan Presiden yang takut diimpeachment oleh partai politik. Apabila mental dan karakter SBY tidak berubah dan tetap licik, keadaan negara akan tetap carut marut seperti sekarang ini. Ditambah lagi pola tingkah oknum-oknum politisi busuk, politisi hitam atau politisi tengik yang masih saja bebas berpetualang. Mereka tutup mata terhadap nasib rakyat yang diwakilinya tetap sengsara memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Politisi budeg dan pekak telinga atas rintihan penderitaan rakyat. Yang ada di benak politisi hitam hanyalah bagaimana mencari kekayaan sebanyak-banyaknya dengan menyalahgunakan jabatan dan berebut kue kekuasaan.
Tb.Januar Soemawinata (Universitas Nasional)