Adakah Toleransi Beragama dalam Kasus GKI Yasmin?


Hari Toleransi Internasional (International Day for Tolerance) jatuh pada 16 November 2011 pekan lalu, dan diperingati seluruh dunia. Seyogianya hari itu menjadi momentum pemerintah meningkatkan toleransi antarumat beragama untuk saling mengakui, menghormati, dan menghargai setiap perbedaan dan kemajemukan.

Kata toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu tolerantia, yang berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran. Secara umum, istilah ini mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan kelembutan.

United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) mengartikan toleransi sebagai sikap saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter manusia. Untuk itu, toleransi harus didukung cakrawala pengetahuan yang luas, bersikap terbuka, dialog, serta kebebasan berpikir dan beragama.

Di Indonesia, praktik toleransi mengalami pasang surut dan selalu dipicu pemahaman distingtif yang bertumpu pada relasi yang ada. Tidak mengherankan dalam berbagai diskursus kontemporer, sering dikemukakan bahwa radikalisme, ekstremisme, dan fundamentalisme merupakan baju kekerasan yang ditimbulkan pola pemahaman yang eksklusif dan antidialog terhadap paham keagamaan.

Padahal, seluruh agama selalu mengajarkan kepada umat-Nya untuk mewujudkan keadilan, kedamaian, dan kasih sayang, bukan berdasarkan klaim kebenaran, tapi membutuhkan teologi pluralisme yang berorientasi pada pembebasan.

Dengan adanya sikap toleransi, warga suatu komunitas dapat hidup berdampingan secara damai, rukun, dan bekerja sama dalam mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungannya.

Kasus GKI Yasmin

Salah satu persoalan yang mengusik toleransi dan kerukunan antarumat beragama yang mengarah pada pembangkangan hukum (law disobedience) apa yang telah dilakukan Wali Kota Bogor Diani Budiarto dalam kasus pelecehan putusan Mahkamah Agung (MA) dalam pendirian rumah ibadah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, Bogor. Pembangkangan warga negara (civil disobedience) yang dilakukan Wali Kota Bogor tersebut memiliki catatan hitam dalam sejarah politik kenegaraan.

Padahal, persoalan GKI Yasmin sudah ada putusan MA No 127 PK/TUN/2009 yang menyatakan IMB GKI Yasmin sah, sementara Pemkot Bogor telah mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan menentang pendirian rumah ibadah.

Tentu saja, sebagai institusi hukum dan benteng terakhir keadilan, putusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap seyogianya dieksekusi sebagai bentuk ketaatan warga negara terhadap hukum.

Apalagi prinsip negara ini dibangun berdasarkan hukum (rechstaat), bukan kekuasaan, meskipun para petinggi negara sering kali mempolitisasi hukum dan melakukan pembiaran terhadap kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Jika persoalan yang dihadapi menyangkut pendirian rumah ibadah, maka sudah ada Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan 9 Tahun 2006 yang mengatur syarat pendirian rumah ibadah dan bagaimana upaya penyelesaian perselisihan. Pasal 13 Ayat (1) menyebutkan,

“Pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa”.

Kemudian Pasal 13 Ayat (2) menyebutkan, “Pendirian rumah ibadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa pendirian hukum ibadah sebenarnya sudah ada aturan hukum yang mengaturnya, apalagi kebebasan beragama oleh setiap warga negara dijamin dalam konstitusi UUD 1945.

Pasal 29 Ayat (2) menyebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Jadi, negara saja memberikan jaminan terhadap warga negaranya sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.

Prinsip kebebasan beragama juga diatur dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, termasuk UU No 12/2005 tentang Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights).

Karena itu, sangat tidak beralasan bila kepala daerah mempertontonkan pembangkangan hukum, apalagi bila kasus ini tidak segera diatasi, justru berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan konflik horizontal di daerah karena kebijakan diskriminatif dari pemerintah daerah.

Apalagi menyangkut perbedaan keyakinan, tidak boleh dijadikan dasar untuk bertindak sewenang-wenang dan melakukan kekerasan yang menempatkan minoritas sebagai korban, dan tidak ada pula agama mayoritas yang mendapatkan privilege (hak istimewa). Semua agama diposisikan sejajar dan saling menghormati antarpemeluk agama.

RUU KUB

Sebagai reaksi kurangnya perlindungan hak-hak warga negara dalam konteks kebebasan beragama, pemerintah dan DPR saat ini sedang mengkaji Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) sebagai prioritas Prolegnas 2011.

Draf RUU KUB yang terdiri dari 11 bab dengan 55 pasal tersebut berupaya mewujudkan hubungan yang tertib dan harmonis antarumat beragama, serta penyelenggaraan kerukunan umat beragama yang dilandasi sikap toleran tanpa diskriminasi.

Secara filosofi, Pasal 3 RUU KUB menyebutkan, “Kerukunan umat beragama bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak umat beragama agar dapat hidup, berkembang, berinteraksi, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya kerukunan umat beragama yang berkualitas dan berakhlak mulia”.

Harapannya RUU KUB dapat meningkatkan kualitas kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Namun, seperti layaknya undang-undang, naskah akademik RUU KUB ini harus mampu mengkaji secara komprehensif dan menerima masukan dari berbagai kalangan masyarakat agar keberadaannya benar-benar memberikan menjamin bagi pemeluk agama tanpa bersikap diskriminatif.

Barangkali dari sekian pasal yang ada, kemungkinan besar akan menimbulkan perdebatan, salah satunya menyangkut soal pendirian rumah ibadah. Pasal 23 menyebutkan, “Pendirian rumah ibadah dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Selama ini, pendirian rumah ibadah sering kali menimbulkan persoalan serius, khususnya bagi daerah-daerah tertentu yang mayoritas dihuni pemeluk agama tertentu.

Dalam hal perjuangan melawan diskriminasi terkait pendirian rumah ibadah, dapat dicontoh pembangkangan sipil tanpa kekerasan yang dilancarkan Martin Luther King Jr, demi memperjuangkan kesetaraan di Amerika Serikat, dan Mahatma Gandhi dengan Satyagraha demi menentang pemerintah kolonial Inggris di India.

Di atas itu semua, prinsip negara hukum harus di atas segala-galanya karena hukum tidak boleh berlaku diskriminatif, tapi harus mengedepankan asas persamaan hak di depan hukum (equality before the law), siapa yang bersalah harus dihukum tanpa terkecuali.

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Komisi Kebijakan Publik, Tenaga Ahli DPR.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *