Opini : GKI Yasmin dan Kelambanan SBY


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) siap turun tangan langsung menyelesaikan kasus GKI Yasmin, Bogor. Hal itu dikatakan Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Gomar Gultom, dalam rilisnya 17 Desember lalu.

Menurut Gomar, janji itu dikatakan presiden dalam pertemuan antara presiden, pemimpin PGI, dan pemimpin gereja-gereja Papua, di kediaman SBY, Puri Cikeas, pada Jumat (16/12) malam.

Di situ presiden menegaskan, keputusan hukum yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap tidak boleh diabaikan. “Kalau ada masalah dalam melaksanakannya, masalah itu yang harus diselesaikan,” demikian ujar presiden yang dikutip Gomar. Presiden akan turun tangan bila memang masalah GKI Yasmin tidak terselesaikan juga.

Tentu saja kita gembira menyikapi respons Presiden SBY terkait masalah GKI Yasmin yang hingga kini tak kunjung selesai. Pemimpin yang siap turun tangan langsung, itulah yang kita tunggu-tunggu.

Kita bosan dengan janji dan retorika indah tentang supremasi hukum di negara hukum (rechsstaat) ini, apalagi yang terkait dengan masalah kebebasan beribadah dan menggunakan tempat untuk beribadah. Bukankah itu sudah selalu diucapkan SBY? Tapi, bagaimana realisasinya?

Dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-19 Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), 12-13 November lalu, di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat, SBY mengatakan tak ada jalan pintas untuk menciptakan kerukunan beragama. Sejatinya kerukunan agama harus diupayakan berbagai kalangan.

“Tidak ada resep yang ajaib untuk menjaga integrasi, harmoni, dan keutuhan, kecuali itu sesuatu yang harus kita jaga terus-menerus. Saya mengajak, justru kita semua seharusnya peduli terhadap keganjilan-keganjilan, gejala, fenomena yang kira-kira akan mengganggu harmoni, kompatibilitas antara satu elemen dengan elemen yang lain. Jangan apatis, jangan dibiarkan. Oleh karena itu, bersama-samalah kita, pemuka agama, pemuka masyarakat, pemuka adat untuk menjaga kerukunan itu,” ujarnya.

Kekayaan Bangsa

Sementara itu, pada peringatan Jubileum 150 Tahun HKBP di Gelora Bung Karno, Senayan, 4 Desember lalu, SBY mengatakan kemajemukan agama dan suku merupakan kekayaan dan kekuatan bangsa yang harus disyukuri dan dijaga. Karena itu bangsa Indonesia harus senantiasa menyemai benih-benih toleransi dalam kehidupan bersama.

SBY menyatakan, tidak boleh ada kelompok mana pun yang berhak memaksakan kehendak, apalagi sampai bertindak anarkis pada saudara sebangsa yang ingin menjalankan ibadah agama.

Bukankah semua yang dikatakan SBY itu benar dan baik? Tapi, semua yang benar dan baik itu juga dipraktikkan secara konsisten, itulah yang menjadi pertanyaan besar.

Ini karena dalam kasus GKI Yasmin yang sudah bertahun-tahun berjuang untuk dapat menikmati hak beribadah di tanah dan gedung miliknya sendiri, faktanya hingga kini mereka terpaksa beribadah di trotoar di dekat gereja.

Pasalnya, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang mereka kantongi sejak 13 Juni 2006 dibatalkan begitu saja pada 25 Februari 2008 oleh Wali Kota Bogor Diani Budiarto, dengan alasan “sikap keberatan dan protes dari masyarakat terhadap Pemkot Bogor terkait pembangunan gedung gereja”.

Pertanyaannya, siapakah yang dimaksud dengan warga yang keberatan itu dan berapa banyakkah jumlah mereka? Pertanyaan lainnya, dapatkah keberatan warga dijadikan pembenaran untuk membatalkan sebuah keputusan resmi pemerintah?

Mengacu pada Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006 (tentang Pendirian Rumah Ibadat), bahwa tidak diatur wewenang bupati/wali kota untuk mencabut dan/atau membekukan IMB rumah ibadat (kecuali lewat pengadilan), maka sejak itulah pihak GKI Yasmin menempuh langkah hukum.

Singkatnya, 2009 keluarlah putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 127 PK/TUN/2009 yang menyatakan IMB pihak GKI Yasmin sah. Namun Pemkot Bogor membangkang, sehingga selama dua tahun putusan lembaga pengadilan tertinggi tersebut tak dapat dieksekusi.

Selanjutnya, per tanggal 11 Maret 2011, Pemkot Bogor mencabut IMB GKI Yasmin tersebut melalui SK No 645.45-137. Inilah bentuk sikap perlawanan sekaligus pelecehan terhadap institusi hukum negara.

Pihak GKI Yasmin pun kemudian mengadukan persoalan ini ke Ombudsman RI. Pada 18 Juli 2011, Ombudsman mengeluarkan rekomendasi untuk Pemkot Bogor, yang intinya memberi waktu 60 hari untuk mencabut SK Wali Kota Bogor tertanggal 11 Maret 2011 tentang Pencabutan SK Wali Kota Bogor No 645.8-372 Tahun 2006 tentang IMB GKI Yasmin.

Ombudsman menilai SK Wali Kota Bogor tentang pencabutan IMB GKI Yasmin itu merupakan perbuatan mal-administrasi. SK yang dikeluarkan Wali Kota Bogor itu dianggap sebagai perbuatan melawan hukum dan pengabaian kewajiban hukum, serta menentang putusan Peninjauan Kembali (PK) MA Nomor 127 PK/TUN/2009.

Pada 18 September lalu, batas waktu yang ditetapkan Ombudsman berakhir, namun Wali Kota Bogor tetap membandel. Akibatnya jemaat GKI Yasmin masih harus beribadah di pinggir jalan, tapi itu pun selalu diintimidasi Pemkot Bogor, Satpol PP, dan pihak-pihak lain dengan alasan mengganggu ketertiban umum.

Pada 11 Oktober lalu, Moderator Dewan Gereja-gereja se-Dunia (World Council of Churches Central Committee) Walter Altmann datang menyambangi lokasi GKI Yasmin di Jalan Abdullah bin Nuh itu. Altmann beserta rombongan, serta pengurus GKI Yasmin, berdoa bersama di lokasi yang dijaga ketat aparat kepolisian dan Satpol PP setempat itu.

Pertanyaannya, apakah masalah yang berlarut-larut ini tak diketahui SBY? Jelas, ia tahu. Hanya saja mungkin SBY menunggu kalau-kalau para pembantunya di kabinet dapat menyelesaikannya. Namun, ternyata tidak. Mengapa? Hanya dua kemungkinannya.

Pertama, mereka mendukung sikap dan tindakan Wali Kota Bogor. Kedua, mereka cenderung melempar tanggung jawab. Itulah tipikal pemimpin yang safety player, yang tak berani mengambil risiko.

Jika demikian, seperti kata SBY, bukankah seharusnya pemimpin tertinggi di pemerintahan yang bertindak? Tapi, mana buktinya? Kalau dihitung sejak keluarnya rekomendasi Ombudsman, yang kemudian dilaporkan ke presiden, bukankah itu sudah berbulan-bulan berlalu?

Mengapa seorang kepala daerah yang jelas-jelas tak taat hukum dan telah melecehkan dua lembaga negara yang terhormat (MA dan Ombudsman) seakan dibiarkan saja?

Tidakkah ada rasa malu di dalam diri pemerintah, karena Indonesia telah menjadi sorotan dunia gara-gara masalah GKI Yasmin? Tidakkah ada niat baik untuk menyelesaikan masalah ini demi Pancasila, UUD 45, dan menjaga kewibawaan hukum?

Namun kita masih berharap kalau-kalau SBY konsisten dengan janjinya kepada para pemimpin gereja dalam pertemuan di rumahnya, 16 Desember lalu itu. Kita berharap pemerintah tak kalah oleh “preman” dan tak tunduk pada kemauan segelintir orang.

Selamat Natal GKI Yasmin. Kiranya mukjizat kelahiran Sang Juru Selamat terjadi di hari Natal ini.

*Penulis adalah dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *