Doa Menteri Agama RI Sulit Dikabulkan Allah


Di dalam doa upacara Proklamasi 17 Agustus 2010, Menteri Agama Suryadharma Ali antara lain berdoa dengan kalimat agar Allah memberi berkah kepada bangsa Indonesia menjadi bangsa yang selalu  bersatu dalam persatuan bangsa Indonesia, dan disegani oleh bangsa-bangsa lain …
Kalimat doa ini benar-benar relevan dengan apa yang sedang hangat-hangat terjadi di negeri ini.

Apabila kita berpatokan pada ajaran agama pada umumnya, kita percaya bahwa Allah hanya akan mengabulkan doa kita apabila kita juga berbuat sesuatu untuk apa yang kita minta itu.

Pertanyaannya adalah apakah antara isi doa permohonan Menteri Agama tersebut sinkron dengan apa yang dilakukan oleh pengurus negara ini, mulai dari parapejabat tingkat rendah sampai dengan tertinggi, yakni presiden?

Dalam hal persatuan, kita saksikan sendiri, contoh teraktual, bagaimana sikap pemerintah terhadap penganut agama minoritas dalam menjalankan hak-haknya untuk beribadah yang dijamin sepenuhnya oleh Pancasila dan UUD 1945.

Hak-hak dasar warganegara Indonesia ini terus-menerus diteror oleh ormas-ormas yang antipluraisme, maka terjadilah pengkotak-kotakan, dan perpecahan di dalam masyarakat tersebut.

Contoh kasus HKBP di Ciketing, Bekasi, dan penganut Ahmadiyah di Kuningan yang kebebasan beribadahnya diteror terus-menerus dan dibiarkan pemerintah. Ini adalah contoh kongkrit tak terbantahkan bahwa antara isi doa dengan perilaku nyata pemerintah jauh panggang dari apinya.

Sedangkan isi doa yang meminta Allah untuk memberkati bangsa ini menjadi bangsa yang disegani oleh bangsa lain, juga sama saja.

Contoh konkrit terbaru adalah kasus penangkapan  paksa (dengan menggunakan tembakan peringatan) terhadap tiga petugas patroli dari Departemen Perikanan dan Kelautan Indonesia (DKP) sewaktu mereka sedang mengiring tujuh nelayan Malaysia yang melanggar wilayah lautIndonesia di Tanjung Berakit, Bintan. Jadi, penangkapan tiga petugas DKP oleh Polis Marin  itu dilakukan di dalam wilayah NKRI!
Dari kejadian ini saja pihak Malaysia telah melakukan dua pelanggaran Hukum Internasional sekaligus pelecehan terhadap kedaulatan NKRI, yakni menangkap petugas patroli Indonesia yang sedang bertugas, dan penangkapan tersebut di dalam wilayah negara Indonesia.
Bagaimana reaksi pemerintah NKRI yang dipimpin oleh Presiden SBY? Sangat lemah-lembut alias lembek. Bahkan terkesan seperti takut dan didikte oleh pihak Malaysia. Padahal dalam kasus ini menurut keyakinan kita, Malaysia-lah yang bersalah.
Bagaimana bangsa ini bisa disegani oleh bangsa-bangsa lain, kalau dalam sengketa dengan Malaysia seperti ini saja, pemerintah justru yang mempertunjukkan sikap segannya. Padahal yakin berada pada posisi yang benar.
Tapi, benarkah (pemerintah) Indonesia yakin berada pada posisi yang benar? Nanti dulu, silakan baca seterusnya.
Presiden SBY  memerintahkan kepada para bawahannya agar penyelesaian kasus sengketa tersebut dilakukan dengan cara baik-baik, alias bisa juga dikatakan dengan lemah-lembut, lemah-gemulai. Padahal jelas-jelas Malaysia sudah melanggar dan melecehkan kedaulatan NKRI ini.
Seruan-seruan, termasuk dari DPR, agar sikap pemerintah bisa tegas dan keras kepada Malaysia, tak dilaksanakan.
Bagaimana kita bisa mengharapkan pemerintah kita tegas dan keras kepada Malaysia, kalau dengan ormas semacam FPI saja, mereka takut?
Barangkali ini juga yang dilihat Malaysia, dengan FPI saja pemerintah SBY takut, apalagi dengan Malaysia?
Di Malaysia, pembakar gereja diganjar dengan hukuman yang pasti dan tegas; lima tahun penjara. Sedangkan di Indonesia, SBY dan para bawahannya tak berkutik melihat FPI dengan terang-terangan menginjak-injak jaminan Pancasila dan Konstitusi kepada warganegaranya dalam menjalani keyakinan agamanya masing-masing; merusak dan menyegel paksa rumah ibadah (gereja), meneror, menyerbu, dan menganiaya umat  yang sedang beribadah, dan seterusnya.
Jangankan menindak tegas secara hukum, pemerintah (lewat antara lain Menteri Agama) malah membikin pernyataan yang terkesan mendukung aksi tersebut dengan berlandas pada SKB, tetapi mengabaikan Pancasila dan UUD 1945.
Bagaimana bisa bangsa-bangsa lain seperti Malaysia ini menghargai, segan dan menghormati kita kalau perilaku para pemimpin kita banyak yang justru jauh dari harapan. Mereka sendiri enggan  untuk menghormati dan menghargai hak-hak warganegaranya, apalagi mengayominya. Jadi, bagaimana bisa mereka minta dihargai/dihormati oleh rakyatnya sendiri?
Kalau rakyatnya sendiri sudah banyak yang tidak percaya, tidak menghargai pemerintahnya, bagaimana bisa kita harapkan negara lain menghargai apalagi segan kepada negara kita?
Malaysia, bahkan seperti juga “negara kota,” Singapore, sering berani melecehkan Indonesia karena mereka memang memandang remeh pemerintah kita yang lemah, tanpa wibawa, tidak becus mengurus negara, piln-plan, peragu, tukang bingung menghadapi masalah bangsa dan negara,  banyakkoruptornya, tidak becus mengayomi rakyatnya sendiri, dan seterusnya, ditambah lagi perlengkapan perang (alutsista) yang benar-benar memprihatinkan.
Hal tersebut terbukti ketika muncul sengketa terbaru antara Indonesia dengan Malaysia ini. Pemerintah Indonesia terkesan sekali tidak bisa tegas dan keras. Malah sebaliknya seperti takut dan segan kepada Malaysia. Padahal dirinya merasa yang benar.
Presiden SBY seperti menganggap hal itu tak penting, terindikasi dari dia tidak menyinggung masalah sengketa dengan Malaysia ini di dalam pidato kenegaraannya di DPR pada 16 Agustus lalu. Ketika dilaporkan pun reaksi SBY terkesan hanya datar-datar saja dengan mengeluarkan perintah “ala-kadarnya,” agar masalah ini diselesaikan dengan baik-baik saja.
Kemudian, entah ini termasuk telmi atau bukan, SBY yang awalnya bilang supaya sengketa dengan Malaysia tersebut diselesaikan dengan baik-baik saja, pada tanggal 18 Agustus 2010 ini, dalam acara silaturahmi bersama Paskibraka, Taruna Akademi TNI/Polri, Paduan Suara Gita Bahana Nusantara dan Para Teladan Nasional di Hall D2 JI Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, membikin pernyatan bahwa kita harus menjaga kedaulatan NKRI. Apalabila ada yang mengganggu dan melangar wilayah kedaulatan NKRI, harus kita usir.
Inilah salah satu indikasi kuat sikap plin-plan dan tiadanya ketegasan sikap seorang Presiden. Kelihatanya saja seperti tegas dan patriotik pernyataan ini. Tapi kalaukita kaitkan dengan pernyataan awalnya maka kelihatan tidak selaras. Katanya, harus diselesaikan dengan baik-baik. Terus setelah insiden itu telah usai, baru seperti orang yang ketinggalan kereta berteriak: Kalau ada yang melanggar wilayah kedaulatan negara kita, harus kita usir.  Katanya, harus selesaikan dengan baik-baik, kok sekarang pake diusir?
Terus diusir pake apa, Pak? Mau pake kapal perang yang jumlahnya segelintir, dan yang sebagian besarnya tidak bisa menembak itu? Jangan-jangan ketika kita cobamengusir mereka, kapal-kapal kita itu malah diajak main kejar-kejaran saja, sembari para awaknya tertawa terbahak-bahak.
Terus muncul lagi Polis Marin Malaysia, dan balik mengusir kapal-kapal kita itu, atau menangkap lagi para petugas patroli kita tersebut. Terus, pemerintah kita sibuk merendahkan diri,  melobi Malaysia supaya melepaskan petugas patroli Indonesia yang ditangkap Malaysia di dalam wilayah NKRI itu, sebagaiman yang sudah terjadi dalam inseden baru-baru ini.
Atau tunggu saja sampe para pelanggar wilayah kedaulatan itu pergi sendiri, terus kapal-kapal patroli kita pura-puramengusirnya?
Bikin pernyataan yang kelihatan tegas, tanpa didukung oleh sesuatuyang bisa dijadikan pegangan untuk membuktikan konsisten dan konsekuen dengan pernyataan tersebut, maka pernyataan itu malah akan kelihatan konyol.
Insiden Indonesia – Malaysia di Tanjung Berakit, Bintan dan sikap pemerintah RI itu memperlihatkan kenapa sampai Malaysia selama ini begitu berani dan sering melecehkan NKRI.
Pemerintah RI tidak bisa tegas, tidak punya prinsip, bahkan terkesan segan denganMalaysia.
Bagaimana bisa tegas dan keras kalau sikap pemerintah pun kelihatannya seperti bingung sendiri.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa awalnya mengatakan bahwa wilayah perairan di lokasi kejadaian tersebut belum ditetapkan sebagai wilayah negara Indonesia atau Malaysia . Belum ada kesepakatan antara kedua negara tentang perbatasan laut di wilayah tersebut. (http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/08/16/10170369/Menlu.Belum.Ada.Kesepakatan.Batas.).
Pernyataannya itu jelas menjadi bumerang bagi Indonesia; Kalau memang wilayah perairan tersebut belum ditentukan masuk wilayah Indonesia, kenapa petugas patroli DKP Indonesia melakukan penangkapan terhadap nelayan Malaysia?
Kalau benar pernyataan Menlu ini, maka yang salah adalah petugas DKP Indonesia, sedangkan tindakan Polisi Diraja Malaysia dalam hal ini Polis Marin-nya bisa dibenarkan. Karena mereka mencegah petugas patroli Indonesia yang salah telah menangkap warganegaranya (tidak berwenang secara Hukum Internasional) di wilayah laut yang belum dipastikan masuk wilayah negara mana.
Dalam melakukan reka ulang peristiwa, Direktur Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Kepulauan Riau Komisaris Besar Ahmad Nurdin memastikan bahwa lokasi penangkapan tiga pegawai Satuan Kerja Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Batam oleh Polisi Diraja Malaysia adalah di perairan Tanjung Berakit, Bintan, Kepulauan Riau, atau di wilayah RI.
Kemudian Menlu Marty Natalegawa bikin pernyataan yang bertolak belakang dari pernyataan diasebelumnya. Dia bilang , terkait insiden penangkapan tiga pegawai DKP, pemerintah Indonesia telah menegaskan, hal tersebut adalah pelanggaran. “Kita sampaikan protes kita, keprihatinan kita. Kita minta itu tidak diulangi kembali di masa depan. Kita memastikan bahwa yang menjadi kedaulatan kita, hak kedaulatan kita, NKRI, tidak sejengkal pun kita kompromikan.”
Benarkah tanpa kompromi?
Yang terkjadi justru kompromi. bahkan tidakberlebihan dikatakan pemerintah kita tunduk kepada Malaysia. Padahal merasa dirinya yang benar.
Logikanya, pihak Malaysia seharusnya yang segera melobi pemerintah Indonesia, minta maaf, dan meminta  Indonesia melepaskan tanpa syarat tiga petugas patroli DKP Indonesia tersebut.
Yang terjadi sebaliknya. Justru pihak Indonesia lah yang sibuk melobi Malaysia supaya mau melepaskan tiga pegawai DKP itu. Sudah begitu upaya lobi itu sempat tidak dianggap. Beberapakali Tim Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia melakukan kontak telepon, tetapi tidak dijawab.
Karena kontak telepon terus tidak dilayani, maka dengan merendahkan diri Tim tersebut berangkat ke Malaysia untuk melakukan lobi langsung.
Konon perundingan berlangsung alot. Hasilnya, Indonesia lagi-lagi tunduk kepada Malaysia, dengan menuruti syarat yang dikehendaki Malaysia. Yakni Malaysia baru mau melepaskan tiga pegawai DKP itu, kalau Indonesia terlebih dahulu melepaskan  juga tujuh nelayan Malaysia yang telah melakukan pelanggaran (dan mencuri ikan?) di wilayah Indonesia tersebut.
Ini namanya barter. Barter antara petugas patroli Indonesia yang ditangkap Malaysia sewaktu sedang menjalani tugasnya di dalam wilayah negaranya sendiri dengan para tujuh pelaku pelanggar wilayah kedaulatan NKRI dengan maksud mencuri ikan. Singkatnya, petugas negara Republik Indonesia (yang sempat dikenakan baju tahanan di Malaysia) ditukar dengan tujuh nelayan (maling ikan Malaysia).
Yang terjadi jelas-jelas barter. Tetapi entah karena menganggap rakyatnya sendiri terdiri dari para orang bodoh, pemerintah membantah bahwa yang terjadi itu barter.
Argumennya bahwa karena Indonesia tidak punya cukup bukti kuat bahwa para nelayan Malaysia itu telah melakukan pencrian ikan,  maka tujuhnelayan Malaysia itu memang harus dibebaskan.
Lha, apa pemerintah lupa, bahwa alasan penangkapan itu adalah pelanggaran wilayah kedaulatan Republik Indonesia? Apakah terbukti mencuri ikan atau tidak, itu hal lain lagi. Dan, bahwa tanpa wewenang dan melecehkan, bahkan telah melakukan pelanggaran Hukum Internasional, polisi patroli laut Malaysia atau Polis Marin telah menangkap ketiga petugas patroli Indonesia yang sedang menjalani tugasnya itu?
Jelas ini adalah suatu bentuk sikap tunduknya pemerintah RI di bawah Malaysia.
Jika pemerintah Indonesia betul-betul pnya harga diri, percaya diri, punya wibawa,  bisa bertindak tegas tidak akan memulai upaya menglobi, menolak pemulangan tujuh nelayan tersebut, dan meminta Malaysia-kah yang harus mengembalikan tiga petugas patroli Indonesia tersebut dengan alasan-alasan seperti yang saya kemukan di atas.
Pemerintah Malaysia harus meminta maaf kepada Indonesia, dan terlebih dahulu melepaskan tiga petugas patroli laut Indonesia itu, sebagai syarat pelepasan tujuh nelayan tersebut – sebagimana dikehendaki oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Fadek Muhammad —, atau pemerintah Indonesia akan mengadili mereka sesuai dengan hukum yang berlaku di dalam kedaulatan NKRI.
Setelah itu barulah boleh dilakukan perundingan resmi antarakedua negara.
Bukan seperti sekarang, belum apa-apa Indonesia yang merasa diri benar, malah yang menyerah duluan.

Kalau pemerintah yang kita punya seperti ini terus mempertahankan kebijakan dan sikapnya, maka rasanya memang sulit doa Menteri Agama tersebut di awal tulisan ini dikabulkan Allah. ***

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *