Kolaborasi Swasta dan ICD Center Tanam Sorgum untuk Diversifikasi Pangan
dilaporkan: Setiawan Liu
Jakarta, 25 September 2020/Indonesia Media – Upaya menjalankan program diversifikasi pangan, salah satunya melalui komoditas sorgum masih menjadi perdebatan terutama kebiasaan masyarakat yang masih terpaku pada beras dan harga (komoditas lain) yang relative mahal. “(sorgum) ibaratnya ayam dulu atau telur dulu?. Ini menjadi perdebatan. Padahal prospek tanaman sorgum yang paling baik untuk ketahanan pangan,” kata Nuryanto Djojosuharto dari perusahaan swasta nasional agro bisnis PT Wotan Indonesia.
Pemanfaatan sumber daya pangan local merupakan pilar penting dalam pencapaian kedaultan pangan di Indonesia. Sayangnya, pembangunan pangan yang selama ini dilakukan pemerintah justru sebaliknya. Pangan local cenderung diabaikan, ukuran keberhasilan, pertanian pangan justru hanya diukur dari produksi. Kondisi ini jelas, bahwa hanya beberapa jenis pangan seperti padi, jagung atau kedelai. Keberadaan pangan lokal tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Akibatnya, kita sangat tergantung pada pangan tertentu dan masuk dalam jeratan system pangan global. Sistem cenderung memperjual-belikan pangan tersebut ketika kenyataan produksi dalam negeri juga tidak memadai. “Masalahnya satu, mereka (petani, pembudidaya) tidak bisa mengembangkan sorgum kalau tidak ada yang beli. Kami memberanikan untuk menanam sorgum, karena memang juga menguntungkan petani. Cara mengolah tanah, pemeliharaan, panen, pasca panen sudah dilakukan. Semua benefit ada, seperti yang kami harapkan dari hasil kerjasama dengan ICD (Indonesia Cerdas Desa) Center,” kata Nuryanto.
Langkah awal berupa kolaborasi swasta, (yakni) PT Wotan dengan ICD (Indonesia Cerdas Desa) Center membangun commitment untuk membeli sorgum petani. Commitment bersama ICD Center untuk membangun ketahanan pangan. Sorgum merupakan tanaman serelia yang sudah sejak lama diusahakan petani di Indonesia. Meskipun dengan luasan yang relative sempit, sorgum sendiri bukan tanaman yang baru. Relief candi Borobudur mencatat jejak dan keberadaan sorgum di Indonesia. Menurut buku (karya Ahmad Arif) Sorgum Benih Leluhur untuk Masa Depan. George Eberhard Rumphius juga meneliti keragamaan hayati di Ambon sejak 1654, sorgum telah diidentifikasi keberadaannya. “Sehingga tidak perlu lagi R & D (research and development) bagi perusahaan terhadap sorgum. Sorgum sebagai pangan alternatif, terbukti lebih baik dari jagung, padi, gandum,” tegasnya
Sorgum mempunyai daerah adaptasi yang luas. Selain itu, tanaman sorgum toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi pada lahan marginal serta relative tahan terhadap ganggunan hama/penyakit. Manfaatnya sudah cukup dikenal luas di masyarakat baik sebagai pangan, baan baku industri maupun sumber energy. “PT Wotan sudah diminta (ekspor) ke Jepang dan New Zealand. Mereka mengenal sorgum sebagai gluten free. (pangan) yang ber gluten adalah gandum. Trend konsumsi masyarakat dunia juga mengarah pada gluten free, dan adanya pada sorgum. Sorgum belum dikenal di Indonesia, tapi gandum yang lebih dikenal. Gandum adalah produk Amerika berskala besar serta mekanisasi. Sementara di Indonesia, belum mekanisasi. Kegiatan pertanian Indonesia masih diarahkan pada padat karya, sehingga berpenghasilan. Itu permasalahannya,” tegas Nuryanto. (sl/IM)