Tradisi puasa diberbagai budaya


Tulisan ini mencoba merefleksikan variasi berpuasa di beberapa budaya. Pada malam pertama Ramadhan, di dapur rumah saya bertemu dengan teman serumah saya. Sebagai informasi, saya tinggal dengan 3 orang mahasiswi cina. Salah seorang dari merekalah yang saya temui didapur. Saya katakan, saya akan berpuasa selama 29 hari dan itu berarti saya akan bangun sekitar jam 4 pagi untuk sahur. Saya minta maaf kalau-kalau saat menyiapkan bahan sahur, tidur teman itu akan terganggu karena suara bising yang saya sebabkan. Awalnya dia tidak mengerti kata “fasting” tapi setelah saya katakan fasting itu berarti tidak makan dari pagi hingga sore hari dia baru ngeh. Katanya, didalam kesehariannya di China dia juga berpuasa mengikuti apa yang dilakukan ibunya. Tapi selama tinggal di sini, dia tidak pernah melakukannya lagi. Katanya, biasanya ibunya akan “berpuasa’ setiap tanggal 1 dan tanggal 15 menurut penanggalan Cina. Pada tanggal itu ibunya tidak akan makan semua jenis daging (babi, kambing, sapi, ayam), juga tidak boleh memakan bagian kuning dari telur rebus. Yang bisa dimakan hanya bagian putihnya. Pada hari itu ibu dan neneknya hanya makan sayur-sayuran saja. Tapi dihari lain, mereka tetap bisa makan daging.

Katanya, pernah ia tanyakan pada ibunya mengapa tidak boleh makan kuning telur pada hari itu. Ibunya bilang tidak tahu, karena dia juga hanya melanjutkan tradisi saja. Saat saya tanya mengapa hanya ibu dan neneknya saja yang melakukan puasa itu, mengapa ayahnya tidak ikut. Katanya, memang di daerahnya kebanyakan yang melakukan puasa tersebut adalah orang perempuan saja. Menurutnya, mungkin karena dimasa lampau para lelaki melakukan kegiatan diluar rumah sehingga membutuhkan tenaga yang besar dan ini membuat mereka tidak diwajibkan berpuasa. Sedangkan perempuan yang hanya berada didalam rumah dan tidak melakukan kegiatan dengan energi yang besar menyebabkan mereka melakukan puasa dan tradisi tersebut berlanjut hingga zaman modern ini.
Namun, masih menurut teman tadi, sekarang ini juga ada lelaki yang melakukan kegiatan puas tadi walau tidak banyak. Selain itu, ibu teman ini tadi pada saat puasa tersebut akan pergi ke kelenteng dan bersembahnyang disana. Biasanya ada lelaki yang berada di kelenteng itu dan menyiapkan makanan yang akan disantap setelah selesai bersembahyang dan mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh seorang imam mereka (yang biasanya laki-laki).

Saya mencoba mencarikan kesamaan dari apa yang disampaikan oleh teman tadi dengan kegiatan puasa yang saya tahu dari berbagai agama. Sekitar sebulan yang lalu,saya mengunjungi satu gereja orthodok yang ada disini dan saya kebetulan bertemu dengan si penjaga gereja tersebut. Katanya di agamanya juga ada puasa. Mereka tidak boleh makan telur, keju dan ikan. Dan mereka juga berpuasa selama lebih kurang 1 bulan. Saat berada di Thailand saya juga mengetahui bahwa dalam agama Budha mereka juga berpuasa. Bahkan bagi seorang bhiksu yang taat, mereka akan berpuasa selama 23 jam. Mulai dari jam 12 siang, mereka berbuka jam 11 keesokan harinya.  Saat mengikuti makan siang di rumah seorang teman Katolik saat Paskah lalu, dia juga menjelaskan bahwa ada saat berpuasa juga didalam agamanya, meski lama berpuasanya tidak selama seperti teman-teman Muslim.

Saat di Thailand saya juga melihat para Bhiksu yang menggunakan pakaian yang berbeda dengan para Bhiksu yang berasal dari Tibet, Jepang atau Cina. Jika Bhiksu di Thailand menggunakan kain berwarna kuning kunyit, maka Bhiksu dari Tibet menggunakan pakaian berwarna merah marun, sedangkan di Jepang para Bhiksu itu menggunakan pakaian berwarna coklat tua. Bhiksu dari Cina lain lagi. Mereka menggunakan kain berwarna kuning terang dan model pakaian yang berbeda dengan Bhiksu dari Thailand.

Melihat hal ini, maka saya teringat dengan apa yang dikatakan oleh Filosof Prancis Montaigne bahwa setiap budaya mengetahui apa yang terbaik bagi mereka. Contoh dari berpuasa dan cara berpakaian tadi merupakan buktinya. Maka, alangkah indahnya jika setiap orang (agama?) bisa mengekspresikan cara berpuasa dan berpakaian tanpa harus ikut model suatu budaya tertentu.

Am I right..?

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *