Selamat Beribadah Kepada Yang Tidak Berpuasa!


Saya tidak perlu berpura-pura senang menyambut datangnya bulan Ramadan hanya untuk menyenangi kalangan tertentu atau karena ingin dikatakan sebagai pribadi yang berjiwa toleransi. Saya hanya mengatakan jika benar-benar pantas untuk saya katakan. Bila saya mengatakan wanita itu cantik, itu karena memang ia cantik menurut saya. Jika saya mengatakan ia seksi berarti menurut penilaian saya ia benar-benar seksi. Walaupun mungkin sebagian gadis akan mengatakan saya tipikal pria penggoda yang memiliki jutaan rayuan gombal. Saya tidak perduli. Sebab ketika saya jujur kepada diri sendiri, saya telah memberikan penghormatan kepada diri saya sendiri. Ketika saya mengatakan cantik kepada seorang wanita, saya sebenarnya telah melakukan penghormatan kepada diri saya sendiri.

Bila saya berpura-pura gembira menyambut datangnya bulan Ramadan, maka saya telah membohongi diri sendiri. Bagaimana kita bisa menyebut diri kita sebagai seorang terhormat jika di dalam hati, kita tahu bahwa kita tidak menghormati diri sendiri. Bagaimana orang lain mau menghormati kita, jika kita saja tidak dapat menghormati diri kita sendiri.

Dulu aku percaya kepada mitos yang mengatakan bahwa Ramadan merupakan bulan keberkahan penuh kegembiraan. Sejak kelas 3 Sekolah Dasar (SD) saya telah penuh berpuasa selama 1 bulan. Namun lambat laun kejanggalan itu semakin tampak nyata. Bulan Ramadan adalah bulan tersial di antara bulan-bulan lainnya.

Di setiap bulan Ramadan saya menyaksikan banyak bentuk kekerasan mengatas-namakan agama, yang dilakukan oleh ormas radikal. Berteriak nama tuhan, memukuli, menutup paksa warung yang kebetulan buka di siang hari. Pernahkah terpikir oleh mereka bahwa warung kecil itu merupakan mata pencaharian orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarganya? Sedangkan disisi lain, harga sembako di bulan puasa melejit tajam.

Saya melihat di bulan Ramadan tingkat pencurian kian meningkat dari bulan-bulan sebelumnya. Mulai dari pencuri sandal di masjid, pencopet yang berkeliaran di stasiun kereta api, terminal bus, hingga pencurian yang menggasak isi rumah. Biasanya pencuri ini memanfaatkan waktu di saat solat tarawih dan subuh ketika rumah dalam keadaan kosong. Sebagian pencuri yang tertangkap mengaku nekat melakukannya demi memenuhi kebutuhan berlebaran atau ongkos pulang kampung.

Semakin dewasa, aku mulai berpikir jangan-jangan hari raya keagamaan itu memancarkan aura iblis. Sebab saya ingat betul ketika kecil, sebagaian orang datang ke rumah dengan tujuan meminjam uang kepada ibuku demi memenuhi kebutuhan berlebaran mereka. Begitu tragisnya-kah sebuah perayaan hari raya sampai ada yang nekat mencuri, merampok, bahkan berhutang, yang hutang itu sendiri sebenarnya sulit untuk mereka bayar.

Saya pernah mengatakan bahwa; agama, ilmu pengetahuan, maupun ajaran lainnya adalah mediasi pembelajaran bagi kita untuk dapat memahami hubungan kita dengan diri sendiri, hubungan kita dengan orang lain, dan hubungan kita dengan sesuatu yang lebih besar (semesta alam). Hanya dengan inilah kebijaksanaan dapat tercapai.

Di bulan Ramadan orang yang berpuasa secara tidak tahu malu meminta untuk dihormati. Sedangkan mereka sendiri tidak mau menghormati orang yang tidak berpuasa, bahkan diri mereka sendiri. Mulai salat Isa hingga berakhir salat tarawih dan kemudian dilanjutkan jam 2 dini hari terdengar suara hingar-bingar dari toa masjid.

Di sini saya melihat ritual puasa telah gagal sebagai mediasi dalam memahami hubungan diri sendiri dengan orang lain. Mereka tidak mau perduli, apakah teriakan mereka telah mengganggu masyarakat sekitar yang tidak berpuasa. Apakah teriakan sialan itu tidak mengganggu tidur lelap mereka yang tidak berpuasa di malam hari. Di bulan Ramadan seolah-olah dunia ini milik mereka. Mereka telah menggantikan nurani mereka dengan ego pengharapan akan pahala yang berlipat ganda.

Di siang hari semua warung makan dipaksa berselimut atau ditutup sama sekali. Tempat-tempat porstitusi ditutup selama bulan Ramadan. Alasannya sebagai bentuk penghormatan kepada yang berpuasa. Di sini timbul paradoks logika. Jika bulan Ramadan adalah sebagai bentuk latihan menahan hawa-nafsu, tapi mengapa di sisi lain godaan yang dapat memancing hawa nafsu ditiadakan. Sama saja seperti kita ujian soal, namun semua soal ujian tersebut ditiadakan. Jadi apa yang mau diuji. Kita hanya berpura-pura melaksakan ujian, kemudian berpura-pura lulus mengerjakannya. Secara tidak langsung kita telahmembohongi diri kita sendiri. Berarti ritual puasa telah gagal sebagai mediasi pembelajaran bagi kita dalam memahami hubungan dengan diri sendiri.

Dulu aku percaya jika di bulan Ramadan semua setan diikat.Namun sekarang aku mulai berpikir. Jangan-jangan di bulan Ramadan yang diikat justru setan-setan yang baik, sedangkan setan-setan jahat bergentayangan.

Aku tidak dapat berpura-pura senang menyambut bulan Ramadan, jika bulan tersebut bulan paling sialan di antara bulan-bulan lainnya. Aku tidak dapat berpura-pura membanggakan bulan Ramadan, jika bulan tersebut penuh dengan kemunafikan.

Menurut saya yang lebih pantas diberikan apresiasi lebih adalah orang-orang yang tidak berpuasa. Mereka lebih berat mendapatkan ujian dibulan Ramadan, daripada orang-orang yang berpuasa. Mereka berusaha bersabar mengendalikan amarah ketika mereka terbangun di malam hari. Mereka bersabar mencari warung makan di siang hari yang sulit untuk ditemui. Walaupun sulit, mereka mencoba memahami keadaan yang tengah terjadi di sekitar mereka.

Saya mengucapkan, “Selamat menjalankan ibadah kepada mereka yang tidak berpuasa. Semoga amal ibadah Anda diterima di sisi-“Nya” !!

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *