Tanaman vanili di green house untuk pasar ekspor terkendala modal kerja


Tanaman vanili di green house untuk pasar ekspor terkendala modal kerja

 dilaporkan: Setiawan Liu

Ciamis, 24 Juli 2021/Indonesia Media – Pelaku usaha agribisnis PT Mahatma Djaya Saparankanca masih terbentur dengan masalah modal untuk pembangunan green house atau rumah kaca dengan tanaman vanili. “Targetnya, kami mau memenuhi pasar ekspor. SDM (sumber daya manusia) yang bisa kelola green house dengan tanaman vanili sudah ada, tapi terbentur modal kerja,” Mumu dari PT Mahatma mengatakan kepada Redaksi.

Tanaman vanili dapat dikategorikan sebagai salah satu tanaman rempah yang pada awalnya banyak dijumpai pada negara Meksiko. Untuk membudidayakannya, banyak petani yang melakukan penyerbukan dari tanaman vanili dan membawanya pada negara tropis yang berbeda-beda sehingga menjadikan tanaman ini dapat tumbuh dan dikembangkan dengan mudah. “Sekarang ini, petani vanili di Ciamis hanya sebatas memenuhi pasar dalam negeri. Sementara, pasar ekspor terutama Eropah, Tiongkok, Amerika terbuka. Vanili dimanfaatkan untuk ice cream, penyedap rasa makanan terutama cake, kosmetik,” kata Mumu.

Standarisasi untuk ekspor vanilla juga tidak bisa ditawar-tawar. Ada empat ketentuan, yakni pola tanam, pembibitan, pengelolaan dan pengelolaan pasca panen. Empat ketentuan tersebut harus diterapkan oleh perusahaan agribisnis dan petaninya. “empat ketentuan tersebut dengan sertifikasi. Kalau sudah terpenuhi, jaminan ekspor terbuka sampai 90 persen. Tapi petani di Ciamis masih sembarangan. Mereka belum bisa mengikuti ketentuan pada pemupukan, penentuan ketinggian tanah untuk tanam dan lain sebagainya,” kata Mumu.

Di tempat berbeda, petani vanili di kec. Kaban Jahe, Karo Sumatera Utara, Simon Sembiring sempat beralih dari tanaman kopi pada vanili. Pada saat itu, harga kopi anjlok. Sementara, harga vanili sempat mencapai Rp 600 ribu/kilo (basah). “Kalau vanili dalam keadaan kering bisa mencapai Rp 3,5 juta. Harga tersebut sudah ekonomis untuk petani dengan lahan yang tidak begitu luas di Karo,” Simon Sembiring mengatakan kepada Redaksi.

Kopi kena dampak pandemic covid, sehingga beberapa negara importir menerapkan lockdown. Vanili juga kebanyakan diserap pasar Eropah. Permintaan dari luar negeri sempat berkurang, tapi secara perlahan meningkat lagi. “Beberapa bulan belakangan ini, harga kopi anjlok dari Rp 30 ribu per kilo, sekarang 15ribu. Kami beralih pada vanili untuk bisa menutupi kekurangan,” kata alumni IPB Bogor. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *