Mengeksplorasi Bandung, Hawa Sejuk Pegunungan sampai  Wisata Kuliner


Mengeksplorasi Bandung, Hawa Sejuk Pegunungan sampai  Wisata Kuliner

Bandung, 1 April 2021 – Suasana rekreasi di kota Bandung, terutama kala menelusuri koridor kota dengan trotoar yang tertata menyatu dengan deretan gedung-gedung tua peninggalan kolonial Belanda. Sensasi lain, yakni hawa sejuk dan semilir angin menerpa kulit warga Kota Bandung yang dijadikan kawasan permukiman sejak pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Ruang publik sebagai salah satu komponen arsitektur di tengah kota Bandung tidak sesak padat dengan pedagang kaki lima, dan kendaraan bermotor yang berseliweran. Becak juga ternyata masih kelihatan, dan hanya tersempil/terselip di antara kendaraan termasuk bus, mobil pribadi. Tarif becak, ketika saya menjajal dari Braga sampai hotel tempat saya menginap di Jl. Cicendo (sekitar satu kilometer) Rp 30.000 (tiga puluh ribu rupiah). Tukang becak di Bandung mengayuh pedalnya menerobos ruas-ruas jalan yang dilewati kendaraan bermotor. Sekali-kali, kondisi becak tidak stabil dan agak oleng sehingga pengendara mobil sering meng-klakson.

Di tengah kondisi pandemi, beberapa ruas jalan termasuk maskot dan objek wisata kota Bandung, yakni Jalan Braga juga dibatasi hanya sampai jam 18.00 (jelang Maghrib) selama penerapan PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Toko-toko sepanjang Jalan Braga, termasuk pedagang kaki lima, pelukis pinggir jalan mulai beraktivitas sekitar jam 10. “Petugas Satpol PP (Kota Bandung) tutup Jalan Braga dengan portal. Kalau kondisi sebelum pandemi, banyak turis dan warga setempat jalan-jalan menikmati suasana hiburan malam termasuk billiards, karaoke dan cewek-cewek berpakaian sexy,” kata Deska, salah satu pemilik toko di Jalan Braga.

Kota Bandung secara geografis memang terlihat dikelilingi oleh pegunungan, dan ini menunjukkan bahwa pada masa lalu kota Bandung memang merupakan sebuah telaga atau danau. Tahun 1896 Bandung belum ditetapkan menjadi kota dengan data penduduk sebanyak 29.382 orang, sekitar 1.250 orang berkebangsaan Eropa, mayoritas orang Belanda. Sampai sekarang, gedung-gedung yang dibangun kolonial Belanda masih berdiri termasuk Museum Asia Afrika, Hotel Savoy Homann, gedung De Vries (toko serba ada zaman Belanda), dll. Pedagang kaki lima di sepanjang trotoar adalah cerminan kesahajaan/kesederhanaan budaya suku Sunda, khususnya Bandung. Aneka kuliner juga salah satu sensasi wisata kota Bandung. Ibu Widji (65) asal Wonogiri, Jawa Tengah sudah 10 tahun berjualan jamu menelusuri trotoar Jalan Asia Afrika. “Saya mulai keluar (berjualan) jam 4.30 subuh sampai jam 13.00. Alhamdulillah, walaupun virus corona, pelanggan tetap ada. Penghasilan juga tetap sebelum dan sesudah pandemi, (yakni) Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah) per hari. Jamu saya terdiri dari kunir, beras kencur dan lain-lain,” kata ibu Widji kepada Redaksi.

Ada juga pedagang tradisional Es Potong di trotoar depan Gedung Commissionairs Venduhorders/Gedung Merdeka, yakni Herman (60). Gerobak Es Potong nya juga sudah kelihatan rapuh. Herman asalnya dari Garut, dan berjualan Es Potong sejak tahun 2018. Sebelumnya, ia pernah berjualan roti di daerah Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Tapi alasan tertentu, ia hijrah ke Bandung. “Jualan es potong tidak terpengaruh oleh coronavirus, tapi cuaca. Kalau hujan, saya hanya dapat (keuntungan) Rp 20.000. tapi kalau cuaca panas dengan terik sinar matahari, Es terjual habis dan untung bisa Rp 50.000,” kata Herman.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *