Selamat Panjang Umur


Sabtu pagi. Seperti biasa, dua miggu sekali, para anggota dari Pilot Club International Singapore Chapter berkumpul di rumah salah seorang anggota Pilot, menunggu kedatangan teman lainnya, sebagian datang dari Johor Bahru yang selalu macet di causeway. Sambil menunggu sebagian duduk santai di ruang tamu, sebagian lagi berada di pekarangan rumah menikmati tanaman kebun yang penuh dengan beraneka warna bunga ditata rapi diantara landscaping yang sangat menarik.

Singapura dimana 85% rakyatnya tinggal di rumah susun HDB setinggi 10 hingga 20 tingkat keatas, jarang sekali ada kesempatan menikmati rumah sendiri yang bertanah, berkebun. Rumah yang dibangun oleh HDB berupa rumah rakyat, dapat dibeli dengan harga jauh lebih murah ketimbang rumah yang dibangun oleh developer real estate swasta, karena besarnya tunjangan subsidi pemerintah yang dari permulaan menjalankan housing program berdasarkan kebijakan: Semua Rakyat Harus Ada Rumah Tinggal.

Lalu, jangan salah, sekalipun namanya rumah rakyat, tapi tetap ada landscaped garden yang luas dan sangat terawat bahkan banyak ditanam pohon buah buahan seperti mangga dan jambu air, tidak kalah indahnya dengan sebagian perumahan private condominium. Sarana olah raga seperti tennis, basketball, juga lapangan main untuk kanak kanak semua cukup tersedia, dan kolam renang selalu dibangun bersebelahan dengan perumahan HDB. Hanya bedanya, semua fasilitas tersebut milik bersama seluruh penghuni, bukan milik perorangan. Sebagai masyarakat kapitalis yang berorientasikan konsumerisme, masing masing bertekad ingin memiliki property yang menjadi hak individunya sendiri, tidak suka berbagi dengan umum. Didorong oleh keinginan memiliki property yang menjadi hak individu, suami istri kerja keras; pergi pagi, pulang malam, anak ditinggal di rumah diberi barang mainan setinggi gunung sebagai pengganti ketidakberadaan orang tua di samping, sedangkan pekerjaan mengasuh anak diserahkan seluruhnya kepada pembantu rumah tangga. Akibatnya banyak anak anak yang tidak terurus, hubungan keluarga terganggu hanya demi memenuhi kepuasan memiliki materi yang berlebihan.

Tidak lama kemudian, para teman yang ditunggu sudah berdatangan. Mereka keluar bersama naik dua mobil menuju kearah hghway PIE, dari situ ke Pasir Ris mengunjungi Apex Harmony Lodge, sebuah rumah jompo bagi pasien yang terserang dementia. Sebagai anggota kumpulan pekerja bakti mereka datang untuk memangkas rambut para peghuni rumah jompo yang termasuk satu dari kegiatan program kerja.

Pasien yang terserang penyakit dementia umumnya diatas 65 tahun, dan umumnya wanita lebih banyak daripada laki laki, tapi ada juga beberapa diantaranya yang berusia di bawah 50. Ketika sekumpulan pekerja bakti Pilot tiba, para pasien sudah menunggu di lobby berbaris duduk di kursi roda didampingi para juru rawat. Ada sekitar 80 pasien dengan keadaan penyakit yang berbeda tingkat parahnya. Mereka yang belum terlalu parah keadaannya, tersenyum lebar memberi salam dengan mata bersinar, paras berseri mereka bertepuk tangan mengelu elukan kedatangan pekerja bakti bagai menerima kedatangan VIPs. Sedangkan yang lain yang sudah parah penyakitnya, duduk lunglai di kursi, kepala senantiasa menunduk, dagu melekat di dada seakan tulang leher telah patah. Ada yang mata melotot, mulut tak terkatup, air liur meleleh. Ada yang matanya tertutup rapat, tangan diikat di atas kedua lengan kursi agar tidak dapat membuka pampers yang dipasang di luar seluar. Adult pampers sengaya dipasang di luar tidak di dalam seluar supaya mudah bagi yang menggantikannya. Ada lagi yang berteriak teriak tidak menentu, memaki orang kiri kanan. Inilah suasana di mana para pekerja bakti menjalankan tugasnya.

Perlu diketahui, bukan semua penghuni rumah jompo itu datang dari keluarga kurang mampu, sebagian bahkan dari keuarga kaya raya, karena terserang dementia, mereka memerlukan perawatan professional, dan keluarganya mengeluarkan bayaran cukup tinggi untuk mereka tinggal dan mendapat perawatan di situ.

Menurut catatan statistik, seitar 10% dari jumlah penduduk terserang penyakit dementia, dan akan meningkat dengan bertambahnya angka penduduk lanjut usia. Ini berupa catatan realitas hidup.

Pada tingkat terparah, pesakit hanya baring tergeletak di ranjang, tidak lagi mengenal sanak saudaranya sendiri, tidak lagi dapat berkomunkasi dengan orang di sekeliling. Dalam keadaan demikian yang paling merasa terpukul jiwanya adalah anggota keluarga yang datang berkunjung, tersayat perasaan menyaksikan sosok yang selama ini dikasihi telah meninghilang tanpa jejak, sekalipun buktinya masih berada di didepan mata, masih bernapas. Menyaksikan semua ini, apa bedanya antara hidup dan mati, apalah artinya harta berkarung sekalipun, dan apa bedanya antara yang kaya dan yang miskin? Kalau ini yang dapat diharap pada akhir perjalanan hidup, apa masih bermakna ucapan “Selamat Panjang Umur” kepada mereka yang merayakan hari ulang tahun?

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *