MENANG


“Hooraah Singapura Menang! Kemenangan historis bagi Singapura!” Teriakan komentator terdengar berulang-ulang berkumandang di layar TV. Para pemain nampak berjingkrak sambil

May Swan - penulis

saling merangkul gembira diikuti oleh coach mereka dengan wajah bahagia yang tadinya terkesan tegang. Sorotan kamera memperlihatkan air mata berilang mengalir di wajah wajah terharu dengan kemenangan yang baru diraih pertama kalinya bagi sejarah Singapura dalam dalam pertandingan tenis meja di gelanggang internasional.

Scenario tersebut terjadi ketika pemain tenis meja Singapura berhasil menaklukan pemain Tiongkok 3 – 1 dalam pertandingan final Table Tennis World Championship ke 50 di Moscow. Dunia olah raga mengalu ngalukan permainan atelit Singapura yang terbukti sangat tekun, handal dan kuat mental. Pertunjukan yang luar biasa hebat, suatu kemenangan yang membanggakan bagi dunia atelit Singapura, demikian serunya di media berhari-hari. Regu Singapura terdiri dari Feng Tianwei, Wang Yuegu dan Sun Beibei, regu Tiongkok terdiri dari Ding Ning, Liu Shiwen dan Guo Yan. Dengan demikian rubuhlah rakor tenis meja Tiongkok regu wanita yang telah menjagoi dunia selama 20 tahun.

Namun tidak semua rakyat Singapura ikut merasa bangga atas kemenangan yang diraih, bahkan cukup banyak mengutarakan sentimen negatif, baik dalam pembicaraan sehari hari mau pun online. Mereka mengecilkan arti kemenangan tersebut tidak lain sebagai kemenangan sebuah team Tiongkok yang satu dengan team Tiongkok lainnya. Alasan yang dipakai; kedua pihak pemain yang mengambil bagian dalam pertandingan di Moscow tersebut seluruhnya berasal dari Tiongkok, “Jadi, apa yang patut dibanggakan bagi kami di Singapura? Mereka hanya berupa transplanted foreign talent,” antara lain uraiannya.

Pandangan negatif itu tidak sejalan dengan pandangan pemerintah setempat. Berdasarkan sebuah program pemerintah yang disebut Sports Foreign Talent Scheme, dimana para atelit luar negeri yang terbukti berprestasi dalam bidang masing masing, diundang dan diberi latihan demi mewakili regu nasional atas harapan akhirnya menjadi warganegara Singapura dengan diberi segala kemudahan. Program tersebut pada hakekatnya bertujuan meningkatkan prestasi Singapura di dunia sports internasional, dan mendorong perkembangan olah raga dalam negeri berdasarkan sistim meritokrasi, tidak pandang tempat asal kelahiran para pemain. Yang penting keunggulan dalam menjalankan tugas dan ketegasan komitmen.

Sebaliknya apa yang pernah terjadi pada diri Tan Joe Hok yang lahir di Bandung, Jawa Barat dari sepasang orangtua yang juga lahir di Indonesia, lain sekali nasibnya. Tan Joe Hok berupa putra Indonesia pertama yang menjuarai All England dan meraih medali emas Asian Games. Selain itu, ia bersama enam pebulu tangkis Indonesia lainnya pernah merebut piala Thomas Cup untuk pertama kalinya. Pada masanya, Tan Joe Hok mempunyai nama besar sebagai atelit kebanggaan Indonesia karena prestasinya mengharumkan nama bangsa. Namun ia bersama Komunitas Bulutangkis Indonesia (KBI) lainnya pernah mengeluh karena diminta oleh yang berwajib menunjukan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Dalam arti lain, diperlukan memberi bukti bahwa mereka adalah warga negara Indonesia. Bayangkan para atelit yang telah berjuang berhasil mengharumkan nama bangsa bertahun tahun di dunia olah raga internasional, lalu diminta surat bukti SBKRI. Bukankah ini suatu lelucon yang tidak lucu? Perlakuan diskriminasi terhadap minoritas etnik Tionghoa yang sama sekali tidak masuk akal.(IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *