Kisah Nyata : Percintaan Ratna Sari Dewi dengan Mantan Presiden Sukarno Bagian ke-2


Presiden sepakat. Sorenya, ia dan rombongan segera check out dari hotel dan terbang ke Jakarta. Malamnya, di hotel yang baru saja mereka tinggalkan, berdiri kaku seorang gadis muda. Naoko Nemoto, pelayan night club yang baru saja merasakan nikmatnya panah cinta, sangat terkejut karena seluruh kamar tempat presiden dan rombongannya menginap telah sepi penghuninya. Ia merasa sangat terhina dan disia-siakan. Ini pasti membuktikan betapa besarnya kekecewaannya : diambilnya pisau, dan ia melakukan bunuh diri. Untunglah, harakiri itu tidak mengambil nyawanya. Petugas hotel menemukannya, dan segera membawa gadis malang ini untuk mendapatkan pertolongan medis.

Jakarta tampaknya menjadi kota yang terlalu terbuka untuk kabar apapun, termasuk apa yang terjadi di seberang lautan. Berita tentang percobaan bunuh diri yang dilakukan gadis bar Naoko dengan cepat menjalar ke Indonesia, dan tinggal menunggu waktu saja untuk hinggap ke telinga Presiden Sukarno yang supersensitif untuk urusan wanita. Benar saja, entah dari mana asalnya, Presiden tahu tragedi itu. Ia, yang merasa bertanggung jawab karena dicintai wanita yang sampai mencoba bunuh diri, tiba-tiba merasa sangat egois. Tanpa ada yang berani menghalangi sang presiden, ia langsung terbang ke Jepang.

Sekembalinya ke Jakarta, Sukarno rupanya tidak bisa menghilangkan wajah cantik gadis kabaret berusia 19 tahun itu dari pikirannya. Ia pun sempat mengirimkan surat-surat ” bernada mesra ” kepada Naoko melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia yang ada di Tokyo. Naoko juga sempat beberapa kali mengirimkan surat balasan. Sukarno jelas pemikat hati yang ulung. Surat-suratnya memperlihatkan bahwa ia sama berapi-apinya untuk urusan pidato politik dan surat cinta. Naoko tidak malu-malu mengakuinya. Katanya, ” Sebagai wanita biasa, perasaanku jadi berbunga-bunga setiap kali membaca surat-suratnya. Dan aku meski saat itu masih begitu belia, berusaha membalas ungkapan hati Bapak dengan bahasa seadanya, bahasa cinta pula.

Sampai pada 18 Agustus tahun itu juga, datang surat Bapak untuk ke sekian kalinya. Tapi kali ini isinya berupa undangan agar aku mau berkunjung ke negaranya, Indonesia. Tanpa pikir panjang, ajakan itu kuterima. Apalagi aku tak seorang diri pergi ke sana. Kubo, yang mengenalkan aku dengan Bapak, ternyata diundangnya pula. Pada 14 September kami berdua terbang ke Jakarta, dan baru tiba keesokan harinya. Puncak dari hubungan jarak jauh itu, sebagaimana diungkapkan di atas, adalah sebuah surat tertanggal 18 Agustus 1959. Dalam surat yang sekali lagi membuktikan kekerasan kepala Sukarno dalam mendapatkan wanita yang disukainya, Sukarno mengundang Naoko untuk berkunjung ke Indonesia selama dua minggu. Selain mengajak Naoko, Sukarno juga memberitahukan rencananya ini kepada Kubo Masao.

Tak lebih satu bulan sesudah itu, tepatnya tanggal 14 September, Naoko berangkat ke Indonesia. Untuk menghindarkan kecurigaan, ia menyamar sebagai seorang karyawati Perusahaan Dagang Tonichi cabang Jakarta. Bersama Naoko turut pula Kubo Masao. Sehari kemudian mereka sampai di Jakarta. Pada waktu inilah Naoko menyadari bahwa ia telah dimanfaatkan oleh Kubo Masao untuk memperlancar usaha bisnisnya di Indonesia.

Belakangan, tepatnya tahun 1966, Kubo Masao mengelak tuduhan tersebut, meski ia mengakui peran penting Naoko dalam kontrak-kontrak ekonomi yang dia dapatkan sesudah memperkenalkan Naoko dengan Sukarno. Sebagai contoh, antara tahun 1960 dan 1963 Kubo Masao mendapatkan empat kontrak besar di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah pembangunan Samudera Beach Hotel di Jawa Barat dan Hotel Ambarukmo di Yogyakarta. Sejumlah orang mencurigai keberhasilannya ini sebagai hasil dari usahanya mendekatkan Presiden Sukarno dengan Naoko.

Selama di Jakarta, Naoko tinggal menyendiri di asrama Tonichi di Jakarta. Barangkali hal inilah yang kemudian memudahkan Sukarno sewaktu menemuinya. Bahkan, Sukarno dengan nekad mengajak Naoko dalam setiap kunjungannya ke luar negeri. Sewaktu diperkenalkan kepada koleganya, Sukarno menyebut Naoko sebagai salah seorang sekretarisnya. Dalam kesempatan lain, ia menyebut Naoko sebagai istri dari rekannya, Kirishima. Kirishima sendiri adalah seorang pegawai di Perusahaan Dagang Tonichi cabang Jakarta.

Sekitar tahun 1962, hubungan Naoko dengan Kubo Masao memburuk. Naoko tidak senang dikendalikan sedemikian rupa oleh Kubo Masao. Naoko juga punya kepentingannya sendiri, dan dia merasa Kubo Masao tidak berhak mengatur-ngaturnya. Karena itu, Naoko memutuskan untuk melepaskan diri dari pengaruh Masao. Ia lalu mulai mendekat kepada Toyoshima, saingan bisnis Kubo Masao. Keputusannya pas dengan ketidaksukaan Presiden Sukarno atas bisnis-bisnis yang dijalankan Kubo Masao di Indonesia. Bahkan, Sukarno sampai memaksa Kubo Masao untuk menutup kantornya yang ada di Jakarta.

Lewat Toyoshima, Naoko berkenalan dengan Duta Besar Jepang di Indonesia, Oda Takio. Naoko tidak hanya dekat dengan Toyoshima, tetapi juga akrab dengan Perusahaan Dagang Kinoshita. Persahabatannya dengan orang-orang Jepang dari kalangan politik dan bisnis ini semakin memantapkan posisi Naoko di mata orang-orang Jepang yang ada di Indonesia. Dalam tahap selanjutnya, Naoko menjelma sebagai pintu utama yang harus dilewati sebelum  masuk ke lobi-lobi penting dan pihak-pihak yang berkuasa di Indonesia. Tidak hanya itu. Nama Naoko juga semakin santer di kalangan petinggi-petinggi di Negeri Matahari Terbit. Pada bulan Juni 1961, Naoko mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan calon ketua Partai Demokrat, Kawashima Shojiro. Bahkan, dalam sebuah kunjungan ke Jepang setahun berikutnya, Naoko bertemu dengan Takemi Taro, ketua Asosiasi Medis Jepang. Ia juga bersobok dengan direktur utama Perusahaan Konstruksi Kajima, Kaima Morinosuke. Dengan orang yang disebut terakhir ini Naoko mendiskusikan keinginannya untuk mendirikan sebuah rumah sakit di Jakarta.

Sementara itu, setelah menjalani percintaan backstreet sedemikian lama, Presiden Sukarno dan Naoko bosan juga. Menurut pengakuan Naoko, “ Selama tinggal di Jakarta, aku tak boleh tampil terang-terangan. Sedikit banyak, aku harus menyamar. Kubo lantas mengakui kalau aku adalah karyawatinya. Maka selama di Jakarta, aku tinggal di kantor perwakilan Tonichi. Hubungan kami bisa bebas, jika Bapak mengadakan kunjungan ke luar negeri. Selama kunjungan, aku biasanya dikenalkan sebagai staf sekretarisnya. Aku tak keberatan sama sekali. Aku tahu benar resiko yang harus ditanggung Bapak sebagai Presiden RI jika sampai ada yang tahu affair di anatara kami.” Diimbuhkan Naoko, “Tapi, hidup dalam penyamaran dan tak bebas menampilkan jati diri, sungguh membuat batin tersiksa. Apalagi diam-diam Kubo ternyata memanfaatkan diriku untuk meminta banyak fasilitas kepada Bapak. Dan akhirnya, Kubo memang mendapat sejumlah kontrak pekerjaan, di antaranya yang masih kuingat adalah pembangunan Monas, yang saat itu dianggap sebagai projek mercusuar.

Tapi aku tak mau terus dijadikan alatnya. Aku ingin melepaskan diri dengannya. Pada suatu saat Bapak rupanya tak berkenan dengan hasil pekerjaan Kubo. Sejak itu semua projek untuk Kubo dihentikan, sementara kantor perwakilannya ditutup. Dari pada membiarkan telinga menjadi panas karena mendengar isu-isu miring seputar hubungan mereka, Sukarno dan Naoko akhirnya memutuskan menikah secara resmi. “ Hubunganku dengan Bapak,” terang Naoko, “ mencapai puncaknya, ketika suatu hari lewat kurir kepresidenan ia menulis dalam secarik kertas: “Sudilah menjadi sumber kegembiraan saya, kebahagiaan saya, sumber kekuatan saya, sumber ilham saya….” (Bersambung)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *