Sekoteng, Pengki, Kuaci, dan Juhi


Pada abad ke-16 dan ke-17 terjadi eksodus besar-besaran orang Tionghoa ke selatan, yaitu ke wilayah Asia Tenggara termasuk Nusantara. Kejadian itu disebabkan adanya perang saudara dan kemarau berkepanjangan di sana.

Pada saat bersamaan, VOC berkuasa di Batavia. Untuk memperlancar pembangunan, mereka memerlukan banyak tenaga kerja. Karena itu mereka mengambil tenaga kerja asal China yang dinilai ulet dan rajin.

Sejak itu kebudayaan China banyak bercampur dengan kebudayaan Betawi, dan masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya bahasa, nama tempat, arsitektur, kesenian, dan kuliner. Bisa dimaklumi kalau Batavia menjadi kota yang multietnis.

Selain sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, kota Batavia awalnya berada di sekitaran pelabuhan Sunda Kalapa. Banyak orang dari berbagai suku dan ras datang untuk berdagang, termasuk orang-orang dari daratan China.

Dalam kosa kata sehari-hari banyak istilah China yang sudah dianggap punyanya orang Betawi. Sebut saja cepek (seratus), engkong (kakek), gua (saya), lu (kamu), cabo (pelacur), centeng (penjaga malam), toko (tempat bertransaksi), sekoteng (minuman sejenis wedang jahe), cincau (minuman ringan dari sari daun), dan bakiak (sandal dari kayu). Sejak lama rupanya orang-orang Betawi dan China sudah bersosialisasi, baik sebagai sahabat, relasi bisnis maupun hubungan pembantu-majikan.

Busana tradisional Betawi juga berakulturasi dengan busana China. Baju koko atau tikim berasal dari dialek Tionghoa tuikim. Begitu pula dengan kebaya encim karena dalam dialek Hokkian encim adalah tante. Aksesori sanggul sering kali berujud burung hong, yang merupakan hewan mitologi dalam kebudayaan China.

Bidang lain yang mendapat pengaruh China adalah kesenian, terlihat jelas pada gambang kromong, cokek, dan lenong. Petasan dan kembang api yang tadinya dibakar menjelang Tahun Baru Imlek, menjadi pelengkap setiap hajatan masyarakat Betawi.

Di bidang arsitektur, pengaruh Tionghoa juga cukup kuat. Bagian depan rumah Betawi diberi hiasan pembatas berupa langkan. Lalu agar tampak indah dan tidak kusam, pintu dan jendela harus dicat (chat). Istilah ubin, lonceng, pangkeng (kamar tidur), kongkow, teh, kuaci, tapang (bermakna balai-balai), langseng, anglo, topo, kemoceng, dan pengki, juga berasal dari dialek Hokkian.

Di bidang kuliner ada kecap, mi, bihun, tahu, toge, tauco, kucai, lokio, juhi, ebi, dan tepung hunkue. Inilah bukti sejarah yang tidak akan hilang oleh waktu. (Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)


Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *