Batavia Kekurangan Kendaraan


MELIHAT keadaan Jakarta saat ini yang selalu macet dimana-mana, karena jumlah kendaraan bermotor  melebihi kapasitas jalan yang ada, pasti tak ada yang menyangka jika kota ini pernah kekurangan kendaraan. Tidak percaya? Nyatanya hal itu pernah terjadi di Jakarta pada tahun 1920.

Sampai akhir abad ke-19, kereta kuda boleh disebut sebagai raja jalanan di Batavia karena ia merupakan sarana utama dari angkutan umum di Ibu Kota Hindia Belanda saat itu. Di setiap jalan yang terlihat hanyalah kereta (ditarik) kuda.

Adit SH, seorang sejarawan dan pengamat sosial dalam tulisan berjudul Sado yang dimuat dalam kolom: Betawi Seabad Silam, menceritakan beberapa jenis kereta kuda. Yang mungkin paling kuno adalah kahar, kereta beroda dua yang ditarik seekor kuda. Untuk perjalanan jauh baru kahar ditarik paling sedikit dua ekor kuda.

Kahar yang semula dimiliki oleh orang kaya atau para ambtenaar itu belakangan dikomersialkan sebagai wahana angkutan umum. Siapa yang mau membayar boleh menaikinya.

Selain kahar, kereta kuda yang memiliki roda dua adalah dos-a-dos, yang menurut lidah orang Betawi disebut sado. Sesuai namanya, dos-a-dos (beradu punggung), kereta ini dapat menampung empat penumpang (termasuk kusir) yang duduk beradu punggung,dua di depan dan dua di belakang.

Ada lagi kereta kuda yang disebut delman, sesuai nama penemunya tuan Deelman. Inilah kereta kuda yang dimodifikasi agar lebih praktis, ringan, dan cepat. Kereta kuda yang agak mewah dengan tenda sebagai penutup disebut ebro, atau dalam sebutan penduduk embro. Kereta kuda ini dimiliki oleh EBRO (Eerste Bataviasche Rijtug Onderneming), perusahaan penyewaan kereta.

Memasuki abad 20 tampaknya kejayaan kereta kuda, terutama sado dan delman mulai pudar. Bahkan Koran Sin Popada tanggal 7 April 1920, menurunkan berita dengan judul: Betawi Kekurangan Kendaraan.

Diceritakan bahwa sudah beberapa hari, terutama di waktu pagi, susah sekali orang-orang di Betawi mendapatkan sado atau delman tambangan (sewaan). Padahal kendaraan yang ditarik kuda itu sangat mempermudah orang-orang yang tidak kuat berjalan kaki untuk menempuh perjalanan yang sedikit jauh.

Penyelidikan di lapangan dan wawancara dengan beberapa tukang sado yang dilakukan oleh wartawan Sin Pomenjawab masalah tersebut. Ternyata berkurangnya kendaraan di Betawi saat itu akibat beberapa masalah. Masalah utama adalah mahalnya harga sado, harga kuda, juga mahalnya ongkos merawat kuda, dan berkurangnya pembuat sado.

Sebelumnya dengan 120 gulden bisa didapat sado baru, dan dengan 80 gulden dapat satu kuda bagu. Namun di tahun 1920, dengan uang kurang dari 300 gulden jangan harap dapat sado baru yang kuat buatannya dan satu kuda bagus. Satu kuda bagus saja berharga lebih dari  200 gulden. Untuk medapatkan satu sado dan dua kuda yang agak lumayan (bukan yang bagus) untuk bekerja dibutuhkan uang kira-kira 700 gulden. “Jumlah sebegini tentu bukan sembarang orang bisa keluarkan. Mau utang sama orang pun susah sekali.”

Gaba (dedak) yang bagus betul dan pakan rumput juga sekarang susah didapat. Kalau pun ada harganya mahal sekali, sudah 3 kali lipat lebih mahal dari sebelumnya. Karena itu banyak kuda yang dipakai menarik setiap hari jadi kurang tenaga karena makanan tidak cukup diberikan.

Kalau sado dapat kerusakan, ongkos reparasi bukan main mahalnya. Sado tua yang dulu ada banyak sekarang kebanyakan sudah rusak, dan pemiliknya tidak mampu untuk memperbaikinya. Maka perlahan-lahan sado jadi kurang yang keluar menambang.

Hal lain yang juga membuat kusir sado atau delman malas menambang adalah penjagaan polisi semakin ketat. Sado-sado tidak boleh berhenti sembarangan di pinggir jalan buat menunggu penumpang. Di waktu malam, jika lentera kurang terang saja maka sado akan ditahan polisi.

Namun, dalam berita itu juga diceritakan kalau berkurangnya kendaraan sado dan delman ternyata memberi keuntungan pada yang lain. Lengkapnya berita itu mengatakan;

Ini juga rupa-rupanya menjadi salah satu lantaran, sehingga stoom-tram dan tram listrik di Betawi punya pendapatan selalu bertambah. Dalam bulan Mart yang baru lalu, sebagaimana hari Sabtu kita tulis, pendapatan stoom-tram ada 81.426 gulden, sedang beberapa bulan dipermulaan tahun 1919 rata-rata satu hari tram pungut 2000 gulden atawa 60.000 gulden dalam satu bulan. Jika kendaraan kuda yang menambangin ada cukup banyaknya, pastilah tram punya pendapatan tiada begitu besar.
Tapi bertambahnya auto sewaan tidak banyak menolong pada keperluan kendaraan pengangkut di ini kota, lantaran kendaraan ini memegang tarif yang melewatkan kemampuannya kaum kuli tengah, apa pula sekarang ini ongkos penghidupan telah naik tinggi sekali.” (Sin Po, 1920).

Pada akhirnya sado dan delman memang tak mampu lagi bersaing dengan kendaraan-kendaraan lain yang lebih modern. Namun jangan takut, saat ini Anda masih bisa menikmati naik sado dan delman yang ada di sekitar Monas untuk sekedar bernostalgia

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *