Peti Jenazah Digotong Puluhan Orang


DENGAN menebar kertas-kertas emas orang berharap bahwa arwah-arwah iseng itu, yang tentunya mengira lembaran-lembaran kertas tadi adalah uang, mengurungkan segala niatnya mengganggu.

Setelah bendera dan panji-panji perkumpulan dan teman dekat berlalu, muncul pula orang membawa beberapa bendera putih. Mereka diikuti oleh orang-orang yang membawa
dua lampion besar penuh ditempeli benda-benda yang melambangkan duka dan penghormatan dari kerabat dekat, anak, cucu, kakak dan adik orang yang meninggal.

Bendera-bendera putih dan lampion-lampion ini diikuti lagi oleh bendera-bendera berwarna biru yang melambangkan duka dan penghormatan terakhir saudara-saudara sepupu, kemenakan dan kerabat lainnya.

Dua orang kerabat lelaki berpakaian jubah panjang berwarna putih dengan topi tinggi berwarna putih pula menggotong kio (tandu) dengan hio (kemenyan) ; yang menyebarkan asap berbau wangi. Empat orang berlalu membawa dua kio berwarna biru dan dua kio lagi berwarna putih; masing-masing dengan kemenyan berasap di atasnya.

Dalam kio terakhir terdapat patung orang yang meninggal. Patung itu dibuat dari bambu, karton dan kertas. Hoensin, julukan patung itu, diberi pakaian Cina dengan selubung yang menutupi wajahnya. Patung hoensin itu dibawa ke pekuburan dan dibawa kembali ke rumah duka dengan wajah yang selalu tertutup. Sesampai di rumah, barulah selubung wajah itu dibuka.

Selain patung hoensin, di dalam kio itu juga terdapat sintjoe, yaitu papan bertuliskan nama-nama ahli waris orang yang meninggal itu. Papan itu disimpan selamanya oleh keluarga yang berduka sebagai kenang-kenangan setelah orang memerciki kuburan dengan darah dari seekor
ayam berwarna putih.

Peti jenazah baru muncul setelah iring-iringan itu berlalu. Entahlah berapa banyak orang yang menggotongnya. Begitu banyak, sepertinya seratus orang, atau bahkan lebih. Tetapi pastilah tidak sebanyak itu.

Di belakang peti jenazah dan puluhan, kalau bukan ratusan orang yang mengusungnya, berjalan perlahan para pelayat yang kesemuanya berpakaian putih. Walaupun semua orang berpakaian sewarna, bahan pakaian mereka berlainan. Ada yang mengenakan pakaian putih dari bahan katun halus; ada lagi dari katun biasa yang murahan; ada pula yang mengenakan pakaian putih
dari bahan karung.

Kaum wanita menutupi : kepala mereka dengan kain-kain berwarna putih pula. Alangkah banyak mobil dan kereta kuda penuh pelayat yang mengiringi pawai itu. (Frieda Amran anggota Asosiasi Antropologi Indonesia)


Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *