Sam Bimbo, Testimonial Penggemar untuk Lagu ‘Tuhan’ dan Obsesi Kehidupan Seniman


Sam Bimbo,

Testimonial Penggemar untuk Lagu ‘Tuhan’ dan Obsesi Kehidupan Seniman

dilaporkan: Setiawan Liu

 

Jakarta, 10 Agustus 2019/Indonesia Media – Pertengahan Maret tahun lalu, saya dan Dokter Ibrahim Irawan mengunjungi “barang antik” di Jalan Kosambi, kota Bandung Jawa Barat, yakni sebuah toko yang pada era tahun 1960 – 1979 sering diserbu pengunjung terutama jelang hari raya Idul Fitri. Toko dengan merek ‘Prabu’ merupakan usaha dagang yang sudah turun temurun selama tiga generasi, khusus menjual peralatan dan perlengkapan Sholat. Ada beberapa testimonial yang menarik dari Ellien Swadipura, generasi ketiga Toko Prabu. Salah satunya, berlangganannya VIP seperti mantan wakil Presiden Try Sutrisno dan musisi asal Bandung, Bimbo pada Toko Prabu.

 

Bimbo berlangganan belanja berbagai perlengkapan sholat termasuk sajadah, peci dan lain sebagainya. Bahkan Bimbo yang terdiri dari tiga bersaudara yakni Sam, Acil, Jaka, sempat datang ketiganya bareng belanja. “Tapi kami nggak kenali wajah mereka waktu pertama-tama belanja. Kedua, ketiga kali kami kenali. Mereka belanja saja, dan kami sebatas melayani. Kami nggak mengistimewakan, seperti biasanya orang dagang terhadap pelanggan, tanpa pembedaan,” kata Ellien pada saat itu.

Bimbo sedang terkenal pada era tahun 1970-an. Selain, kehadiran adik perempuan mereka Iin Parlina, dengan lagu khas yang ‘nyambung’ dengan Prabu. Lagu-lagu Bimbo bukan hanya sekedar cerita tentang cinta, tetapi liriknya juga bicara tentang Tuhan. Pada tahun 1970 – 1980an, lagu ‘Tuhan’ sangat bergema, dan sering disenandungkan mulai kalangan remaja sampai orang tua. Pada waktu Bimbo datang berbelanja, belanja sajadah, peci dan berbagai perlengkapan Sholat, pas ada pelanggan lain. Dia bersenandung lagu ‘Tuhan’ sehingga Ellien yang waktu itu masih remaja sempat terbawa suasana khusyuk Islami. Suasana berserah diri pada Yang Kuasa, kebulatan dan kerendahan hati terefleksi dari lirik lagu ‘Tuhan’ ciptaan Bimbo. “Kami justru baru merasakannya sekarang. Suasana nostalgia mungkin bisa muncul tiba-tiba,” kata Ellien.

Kebetulan tanpa sengaja, saya sempat temu dengan salah satu personil Bimbo pada satu acara di Jakarta, yakni Kang Acil. Saya sempat menceritakan kembali pengalaman Ellien terutama suasana belanja perlengkapan Sholat di Toko Prabu. Dari pertemuan saya dengan Kang Acil, saya sempat ngobrol singkat mengenai kehidupan musisi, antara dahulu dan masa kini. Ia juga merasa sangat senang dengan testimonial beberapa penggemarnya termasuk mengenai lagu ‘Tuhan’. Baginya, lagu tersebut diciptakan bukan untuk menonjolkan suasana Islami, melainkan universalisme. “Judulnya ‘Tuhan’ tanpa disertai, ditambah dengan Hadis. Sehingga lirik lagunya juga universal,” tegas Sam.

Kendatipun ia menilai bahwa lagu ‘Tuhan’ sangat pas dengan suasana Ramadhan. Karena dulu jelang Natal dan Tahun Baru, selalu terdengung lagu-lagu seperti Jingle Bell, Silent Night. “Sekarang, dunia Islam juga punya lagu yang khusyuk. Lagu sebagai sarana Bahasa Agama, sama seperti ibadah yang mengetuk hati umat beragama,” kata Sam.

 

Di sisi lain, Sam mengutarakan obsesinya terhadap kehidupan dan kesejahteraan para musisi, seniman di hari tua. Ada pencipta lagu yang sangat terkenal pada era tahun 1970-an, tapi hanya mendapatkan Rp 500.000 per tahun untuk hak ciptanya. Sementara seorang entertainer pada era YouTube bisa meraih milyaran rupiah. “Karena Jack Ma (pemilik e-commerce terbesar di Asia) sempat memprediksi bahwa toko elektronik akan ditinggal, (konsumen) beralih pada e-commerce. Dampaknya terhadap bisnis hiburan termasuk music, para penggemar sudah tidak beli televise lagi, melainkan memanfaatkan gadget,” kata Sam.

Era YouTube akhirnya mengubah kehidupan para musisi, seniman, entertainer. Era tahun 1970-an, saat Bimbo mengalami booming, industry rekaman masih sangat terbatas. Piringan hitam pada saat itu hanya dimiliki oleh radio dan orang-orang kaya. “Dari seluruh provinsi di Indonesia, (piringan hitam) hanya tersedia kurang dari 1000 (seribu),” kata Sam saat ditemui di gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng Jakarta Pusat.

Setelah itu, era kaset atau tape mengalami booming. Musisi dan penyanyi sebetulnya pada saat itu tidak tahu secara detail mengenai ‘permainan’ industry rekaman di Indonesia. Ketika lagunya meledak, musisi dan penyanyi tidak tahu bagaimana ‘dapur’ produser terutama kaitan dengan hak cipta. “Kami tidak tahu bagaimana sistem pembagian keuntungan. Produser beli hak cipta, (otomatis) seluruh hak musisi pindah (kepada produser). Sementara di luar negeri pada zaman dulu, tidak ada sistem ‘jual beli putus’. Lagu tetap milik pencipta. Produser hanya punya hak edar. Tapi di Indonesia, pada zaman Bimbo, lagu tetap milik produser,” kata Sam.

 

Sehingga ia mengaku sempat berjuang mengatasi pembajakan. Baginya, musisi dan seniman bisa terus berkreasi, bernyanyi sampai uzur tapi tetap punya uang. Musisi sempat terkapar tidak mendapat royalty karena tidak ada kesepakatan dengan produser. “Minimal, musisi dan seniman bisa menikmati royalty 25 tahun ke depan sejak karyanya dijual. Misalkan lagu yang direkam tahun 1980, (royalty) tidak lepas sampai tahun 2005. Sehingga pencipta lagu bisa mewariskan kepada anak cucu,” kata Sam. (SL/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *