CHENG HO DENGAN MARGA KWEE.


(Memperingati pelayaran pertama Cheng Ho pada tanggal 11 Juli 1405)

Diantara peranakan Tionghoa Indonesia, marga Kwee bukanlah satu marga yang besar,

tetapi merupakan satu-satunya marga yang leluhurnya berkait dekat secara pribadi

dengan Cheng Ho sebagaimana tertulis didalam kumpulan buku silsilah Marga Muslim

Kwee di Baiqi Hokkian yang disusun sejak abad 15 Masehi. Ini merupakan catatan

sejarah yang sangat berharga yang bersangkutan dengan singgahnya Cheng Ho di Teluk

Zaitun yaitu Quanzhou dalam pelayaran ke-5 dan ke-6 ditahun 1417 dan 1422.

Patung Cheng Ho di Museum Maritim Quanzhou.

Misi armada Cheng Ho berlayar 7 kali ke Samudra Barat yaitu lautan dibaratnya

Samudra-Pasai atau Aceh dipermulaan abad 15, bukanlah seperti yang pada umumnya

kita ketahui untuk singgah di Nusantara, tetapi adalah satu misi rahasia atas perintah

cukong Kaisar Yungle untuk ke Timur Tengah atau Persia memburu mantan Kaisar

buronan Jianwen yang dari dia tahtanya direbut secara kudeta 3 tahun sebelum perlayaran

Cheng Ho. Yungle dapat kabar intelijen bahwa Jianwen mungkin telah melarikan diri

dari koloni Persia di Teluk Zaitun Quanzhou Hokkian dengan kapal niaga Persia ke

Hormuz. Maka Yungle terburu-buru memerintahkan Cheng Ho untuk membikin kapal

dan membentuk armada dengan kedok misi damai melintasi Jalur Sutra Maritim untuk

berlayar ke Teluk Persia.

 

 

 

 

 

 

 

Lintas Armada Cheng Ho. (gambar diambil dari Google)

Pada awal pelayaran armada, Cheng Ho terbagi perhatiannya dan singgah ke Nusantara

untuk memberantas perompak diperairan Riau atas permintaan penduduk Tionghoa

yang telah berniaga di Sriwijaya Palembang, kemudian juga untuk bersinggah di Gresik/

Surabaya yaitu benteng yang didirikan oleh pasukan Tartar Mongol Yuan beberapa

puluh tahun sebelumnya pada masa Hayam Wuruk, dan disitu Cheng Ho tersangkut

dalam perang saudara Majapahit yang sedang membara pada saat itu, maka Cheng Ho

mengeluarkan pasukannya untuk membantu membereskannya, sehingga sejauh Cheng

Ho menjangkau hanya sampai Sri Langka dalam tiga pelayaran mulanya.

Dengan demikian berlarut-larut sampai pelayaran keempat kalinya baru berhasil

mencapai Hormuz untuk pertama kalinya, namun sia-sia, semestinya Cheng Ho

mengalami kesulitan untuk memahami wilayah Timur Tengah yang sangat luas dan pula

kesukaran bahasa dalam melaksanakan misi tulennya untuk memburu simantan Kaisar

Jianwen. Untuk itu Cheng Ho bersinggah di Teluk Zaitun Quanzhou pada pelayaran

kelima dan seterusnya.

Mengapa Teluk Zaitun Quanzhou?

Sejak dizaman Dinasti Tang, Quanzhou telah menjadi titik landas Jalur Sutra Maritim

diabad ke-6, dan disitu juga kedatangan dua dari empat Imam Sahabi Hadramaut yang

mendatangkan dan mengajarkan Islam di Tiongkok diabad ke-7, dan untuk para handal

dari Timur Tengah dan India Barat, sutra dan porselin produk Tiongkok adalah tujuan

mutlak untuk mereka berlayar kesana, jauh sebelum mereka meniagakan rempah dari

Nusantara. Pada zaman Song Selatan diabad ke-10, Quanzhou telah merupakan kota

metropolitan yang penuh dengan tanaman pohon berbunga merah yang namanya Zaitun,

dan di Teluk Quanzhou telah merupakan pelabuhan besar dengan ratusan kapal niaga asal

Persia yang berlabuh disitu pada setiap saatnya, malah Marco Polo yang meninggalkan

Tiongkok dua kali dari sana menyebutnya pelabuhan yang terbesar didunia seimbang

Alexandria Mesir pada zaman itu, ratusan ribu bangsa mancanegara dan keturunannya

tinggal disana dengan damai dan makmur bersama, menamakan koloni dan tanah air

kedua mereka ini Teluk Zaitun.

Pada zaman Mongol Yuan diabad 13, Teluk Zaitun mencapai puncak kejayaannya,

karena Mongol mempercayakan Muslim Tionghoa lebih dari pada pribumi Hokkian

disana, maka dalam riwayat singkat Mongol yang cuma berlangsung 90 tahun,

bergubernurkan Muslim Tionghoa yaitu adik kakeknya Cheng Ho sendiri, dan mem-
panglima-kan keturunannya yaitu sepupuhnya Cheng Ho, juga bergubernur urusan

keturunan orang asing dan shahbandar Muslim Tionghoa leluhur marga Kwee. Diteluk

ini penuh dengan penduduk asal Persia dan Arab dan keturunan mereka yang menjadikan

Muslim Tionghoa seperti sebagian Sunan Wali Songo dan leluhur Gus Dur, dan sejak

waktu itu Teluk Zaitun telah menjadi pusat Islam di Asia Timur.

Cheng Ho dan awak kapalnya kebanyakan adalah Muslim Tionghoa keturunan Turkistan

Timur yang datang di Tiongkok melalui Jalur Sutra Utara, mereka pada umumnya

berbahasa Sogdhiana yang merupakan bahasa international disepanjang jalur sutra

asal Bakhtar dan sekarang merupakan Uzbekistani, sedangkan disepanjang Jalur Sutra

Maritim berbahasa Urdu yaitu Farsi yang dibawa oleh pasukan Persia-Arab-Turki

sewaktu menduduki Persia Timur dan India Barat atau Gujarat dan sekarang merupakan

bahasa Pakistani, maka dipercaya bahasa Urdu inilah yang dibicarakan dalam komunikasi

diantara para Sunan Wali Songo disamping dialek Hokkian bagi mereka yang berasal

dari Teluk Zaitun, dan juru bahasa Urdu inilah yang juga diperlukan Cheng Ho untuk

mengantarnya ke Hormuz. Maka dari segi persiapan yang diperlukan Cheng Ho untuk

menuju Hormuz bisa dipenuhi di Quanzhou.

Sewaktu singgah di Quanzhou (Zaitun), tentunya Cheng Ho sebagai utusan Kaisar

sibuk menerima sambutan-sambutan dari para pembesar pimpinan daerah, konglomerat

perdagangan maupun kaum Muslim setempat, namun juga tidak lupa untuk bersiarah di

Makam Kramat Dua Sahabi. Atas perintah Nabi Mohammed SAW, ‘Utlub il ‘ilma wa

law fis-Sin ( Mencarilah ilmu walau sejauh China ), Sahabi Sa’d bin Abi Waqqas dari

Medina datang untuk kedua kalinya atas utusan Kalifat Uthman sebagai duta besar untuk

meninjau dan menyebarkan ajaran Islam di Tiongkok pada abad ke-7, beliau disertai

dengan 3 Sahabi lainnya tiba di Guangzhou pada tahun 651 (72H), beliau kemudian

dimakamkan di Guangzhou, Sahabi ke-2 Imam Urwah bin Abi Uththan melanjutkan

misinya ke Yangzhou dan dimakamkan disitu, Sahabi ke-3 Imam Abi Waqqas bin al-
Harith dan ke-4 Imam Waqqas bin Hudhafah menjadi pengajar Islam di Teluk Zaitun

dan konon dikebumikan di Makam Kramat Lingshan Quanzhou tersebut. Disana Cheng

Ho meletakkan batu prasasti atas kunjungannya yang ditegakkan oleh Walikota Muslim

Quanzhou Fu He-re/Po Ho Djiet, yang kemudian juga ikut Cheng Ho pada pelayaran ke-

5 ini.

 

 

 

 

 

 

 

Makam Kramat Lingshan Quanzhou. (gambar diambil dari Google)

Sebagai Muslim yang taat, Cheng Ho beribadah di Masjid Ashab di Quanzhou.

Masjid tersebut merupakan masjid yang tertua yang masih tertinggal sampai hari ini

di Quanzhou, semula didirikan oleh kaum Muslim Teluk Zaitun berdasarkan corak

Damascus untuk memperingati para Sahabi pada zaman Song ditahun 1009 (430H),

dan diperluas oleh Imam Ibn Muhammed al-Quds dari Shiraz Iran pada zaman Mongol

Yuan ditahun 1310 (731H), kemudian terjadi kerusakan besar gara bencana gempa

bumi tahun 1607 pada zaman Qing yang terus dibiarkan , tetapi masih berfungsi sebagai

tempat ibadah kaum Muslim dari seluruh Tiongkok dan dunia sampai saat ini. Mantan

Presiden Almarhum Abdurrahman Wahid dan Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri

beserta Bapak Taufiq Kiemas juga pernah berkunjung di Masjid tersebut. Dalam rangka

peringatan ke 1000 tahun berdirinya, pada tahun 2009 (1430H), dibangunlah sebuah

masjid baru disampingnya yang berdasarkan corak yang semula atas sumbangan dari

Kerajaan Oman.

 

 

 

 

 

 

 

Masjid Tua Ashab Quanzhou. (gambar diambil dari Google)

Setelah selesai beribadah Jum’at, Cheng Ho disertai oleh Hasan juru bahasanya untuk

menemui sang kiayi masjid dan mengutarakan maksudnya untuk mencari ahli bahasa

untuk menyertainya ke Teluk Persia, disanalah diperkenalkannya dengan Bapak Guo

Zhong-yuan (Kwee Tiong Gwan) dan anak-anaknya dari Kecamatan Muslim Baiqi

diseberang Teluk Zaitun yang juga sedang beribadah. Kwee Tiong Gwan adalah cucu

dari Ibn Quds Daqqaq Nam, yang mana Quds Daqqaq pernah menjabat gubernur urusan

Semu (serba bangsa asing) dan shahbandar di Teluk Zaitun pada zaman Mongol Yuan

diabad sebelumnya, yang diberi nama Tionghoa: Guo Te-guang /Kwee Tek Gong.

Dengan perkenalan ini menjadilah persahabatan antara Cheng Ho dan keluarga besar

Kwee di Baiqi. Cheng Ho datang di Baiqi atas undangan Kwee dan disambut oleh

seluruh warga di Pendapa Batu yang dibangun didepan desa, bangunan batu tersebut

masih berdiri sampai sekarang. Setelah bersinggah di Baiqi, beliau mengetahui keadaan

penghidupan didaerah tersebut sangat sulit, Kwee hanya berternak bebek untuk mata

pencahariannya dan pula desa Baiqi (dari nama Makam keluarga Nabi Muhammad SAW,

Janattul Baqi/Kebun Bunga Surga) terisolasi oleh perairan teluk yang mengelilinginya,

maka Cheng Ho mengeluarkan 500 pasukannya untuk membangun dua bendungan air

sehingga memungkinkan memberi tanah pertanian di Baiqi yang juga masih ada disana

sampai hari ini.

Cheng Ho kembali lagi di Baiqi pada tolak balik pelayaran ke-6 dalam tahun 1422,

beliau bermain catur di Pendapa Batu dan merundingkan menata perkawinan antara anak

bungsu Kwee ke-5 Guo Shi-zhao/Kwee Sie Tiauw dengan putri kesayangan panglima

Quanzhou yang semulanya mengalami rintangan dari pihak mempelai prempuan,

halangan inipun dibereskan oleh Cheng Ho. Itu merupakan pertemuan yang terachir

antara Cheng Ho dan Kwee, karena sekembalinya Cheng Ho dari pelayaran kali ini,

cukong Yungle meninggal dunia dan armada segera dibubarkan oleh Kaisar baru

yang selalu menentangnya, juga Kwee Tiong Gwan pun meninggal dunia pada tahun

pertemuan terachir itu.

Pendapa Batu Cheng Ho di Baiqi Teluk Quanzhou. (foto Anthony Tjio)

Dari marga Kwee Baiqi ini Cheng Ho mendapatkan juru bahasa Haji Guo Chong-li/

Kwee Tjiong Lie yang diperlukan. Anggauta warga lainnya Guo Wen/Kwee Boen juga

diutus untuk ke Siam, dan mungkin banyak lagi anggauta marga Kwee yang mengikuti

pelayaran diarmadanya.

Ibn Quds Daqqaq Nam dan cucunya, Guo Zhong-yuan/Kwee Tiong Gwan merupakan

leluhur dari kebanyakan marga Kwee di Taiwan, Malaysia, Thailand, Filipina, dan juga

di Jawa yang sekarang pun telah tersebar diseluruh dunia, sebagai Guo, Kwee, Kwik,

Kwok, Kok, Keh, Kuo, Quok, Quack, Quay, Que dan sebagainya berasal al-Quds, asal

kata kudus.

Referensi:

1. Anthony Hocktong Tjio (2013): Peran Mahmud Cheng Ho dalam Kedatangan

Muslim Tionghoa di Tanah Jawa. (Korespondensi Esai-Opini-Sejarah).

2. Anthony Hocktong Tjio (2013): Membincang Nama Masjid Haji Muhammad

Cheng Ho Surabaya. (Indonesia Media Mid January 2013)

3. Anthony Hocktong Tjio (2013): Silsilah dan Nama Cheng Ho. (Korespondensi).

4. Buku Silsilah Marga Muslim Kwee Baiqi (edisi 2000). (Bahasa Tionghoa)

5. Jacob D’Ancona terjemahan David Selbourne (1997). The City of Light.

6. Chen Da Sheng (2008). Zheng He and the Southeast Asian Muslims. (Chinese

edition)

7. Huang Qiu Run (2004). Quanzhou Islam Qingjing Mosque. (Bahasa Tionghoa)

Anthony Hocktong Tjio, Diaspora Indonesia kelahiran Surabaya di Los Angeles,

keturunan Tionghoa Quanzhou Hokkian, menantu marga Kwee Pasuruan.

p.s.: Untuk lebih mengerti Marga Kwee, silahkan menghubungi hock_tong@juno.com

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *